Dibukanya pintu kamar tamu. Barang-barang Silvi tak ada. Sudah jelas. Silvi pergi dari rumah.
Hatinya resah. Menyesali kenekatan Silvi. Bagaimana bila terjadi sesuatu pada gadis itu? Calvin takkan memaafkan dirinya sendiri bila sesuatu yang buruk menimpa Silvi.
Detik-detik berlalu menegangkan. Keheningan di rumah besar itu sangat mencekam. Sesuatu terlintas di benaknya. Hari ini, ada acara semi formal di rumah Silvi. Acara yang melibatkan Sarah, kakak perempuan Silvi, bersama laki-laki berdarah Jawa-Melayu-India yang notabene calon suaminya. Silvi masih belum bisa menerima laki-laki itu sepenuhnya sebagai ipar. Ini berbahaya. Calvin tahu bagaimana Silvi dalam urusan ini.
Ah, seharusnya Calvin tak perlu sekeras itu pada Silvi. Ini bukan hari yang pantas untuk berdebat. Calvin yang tampan, lembut, dan penyabar mengapa bisa sedingin dan sekeras itu? Sikapnya tak tepat. Ia justru menjadi sangat dingin ketika Silvi membutuhkannya.
Silvi membutuhkannya. Ya, sebab hanya Calvin yang tahu persis bagaimana situasi Silvi dengan calon saudara iparnya itu.
Tes
Setetes darah segar jatuh ke karpet. Epistaksis lagi. Mengusap darah dari hidungnya, Calvin cepat-cepat keluar kamar. Menuruni tangga, lalu berjalan meninggalkan rumah. Tak ada waktu lagi untuk mengambil mobil. Jarak rumahnya dengan rumah Silvi hanya terpisah beberapa blok.
Acaranya pasti sudah mulai. Terbayang wajah Silvi di pelupuk mata. Calvin berlari menuju rumah Silvi. Ia harus sampai secepatnya, harus.
Rasa sakit dan mual tak ia hiraukan. Prioritasnya adalah Silvi. Punggung dan perut bagian bawahnya sakit sekali. Di blok kedua, Calvin terjatuh. Buru-buru ia bangkit dan mempercepat larinya. Beberapa kali Calvin terjatuh. Kali ketiga terjatuh, lututnya berdarah. Menambah rasa sakit saja. Namun ia tak menyerah.
Calvin jatuh, bangkit. Jatuh lagi, bangkit lagi. Sakit di tubuhnya bukan halangan untuknya berlari menjumpai Silvi. Entah bagaimana akhirnya, entah apa yang harus dilakukannya di sana saat mendampingi Silvi. Mungkin ia perlu menghibur gadis itu, menenangkannya, menggenggam tangannya, menyediakan lengan dan tubuhnya saat Silvi menangis, atau membacakan Ayat-Ayat Cinta 2 untuknya lagi. Tak masalah, apa pun itu, ia melakukannya. Asalkan ia bisa bertemu Silvi sekarang juga.
Untuk kesekian kalinya, Calvin terjatuh. Saat ia jatuh, ia bangkit lagi. Begitu seterusnya sampai tiba di tujuan nanti. Jatuh, bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi. Terjatuh dan bangkit lagi, itulah esensi perjuangan yang sebenarnya.