"Silvi...kamu sering bicara tentang kelembutan. Tapi, kamu sendiri memarahiku dengan kasar. Inkonsisten."
Inkonsisten, satu kata itu berputar-putar di benak Silvi. Refleks dipeluknya kucingnya erat-erat. Sakit, rasanya sakit sekali mendengar Calvin berkata begitu. Calvin tak tahu, sungguh tak tahu apa-apa tentang dirinya.
"Terserah kamu mau menganggapku inkonsisten atau apa. Yang jelas, aku sama sekali tidak bermaksud memakimu dengan kasar. Kelembutan tetaplah kelembutan. Sekalipun sesuatu terdengar kasar, sesungguhnya masih ada sisi kelembutan yang dominan. Hanya saja, mata hatimu tak bisa melihatnya." ujar Silvi, suaranya sedikit bergetar.
Calvin terpaku mendengarnya. Kilatan di mata biru Silvi meredup. Raut wajahnya berubah keruh. Entah apa yang ada di pikirannya. Demi Allah, Calvin tak tega menatapnya.
Tak tahan, Calvin berbalik. Pria Tionghoa yang lahir di bulan terakhir itu membalikkan tubuh. Berjalan meninggalkan Silvi. Di ambang pintu, ia berhenti sebentar.
"Time to go. Have a nice day."
Hanya begitu, sungguh hanya begitu. Tanpa panggilan khusus mereka. Tak tahu harus senang atau sedih. Kini Silvi sudah tahu sejauh mana batas kesabaran Calvin. Terlihat jelas dari sikap dingin dan kata-katanya. Namun, hatinya masih terasa sakit dengan kata 'inkonsisten' yang dilontarkan Calvin. Inkonsisten? Kelembutan semu dan inkonsisten. Begitukah maksudnya?
Silvi memeluk kucingnya erat-erat. Sakit hatinya. Calvin ternyata masih belum mengerti juga. Lama mengenal Silvi tak membuat dirinya mengenal sikap dan pembawaan Silvi seutuhnya.
Semenit. Tiga menit. Lima menit, Silvi naik ke lantai atas. Mengemasi barang-barangnya. Time to go? Ok fine.
** Â Â Â Â
Di kantor, perasaan Calvin tak enak. Terbayang olehnya wajah keruh dan pucat milik Silvi. Apakah ia telah mengatakan sesuatu yang kelewatan? Apakah kata inkonsisten itu mengacak-acak image kepribadian seorang Silvi?