"Cinta pada siapa? Cinta pada Clara atau pada anak itu?"
Ini pertanyaan menjebak. Sangat sulit. Tak boleh gegabah.
"Aku tidak menaruh ekspektasi apa-apa. Hanya saja, aku sedih karena dia bukan anakku."
Sindroma Hughes dan vonis mandul itu, mengubah segalanya.
"I see. Akankah kamu tetap mencintai dan merawat anak itu sepenuh hati? Seperti janjimu?" Silvi bertanya lembut.
"Iya. Aku sudah berjanji. Akan kulakukan." ujar Calvin yakin.
Tatapan lembut itu, wajah tulus itu, menggugah hati Silvi. Hatinya sakit. Andai saja Calvin belahan jiwanya, tentu ia akan merasa sangat bersyukur. Sayangnya, Calvin tidak ditakdirkan untuknya. Pria ini begitu baik, begitu sabar, begitu istimewa. Clara beruntung memilikinya. Silvi hanya bisa mendoakan kebahagiaan mereka. Seraya memendam rasa sakit dan serpihan hati yang telah hancur.
"Silvi, are you allright? Apa ada yang salah?" Calvin mengulurkan tangan, berusaha menyentuh bahu adik iparnya.
"Nothing. Aku mau kembali ke kamar Clara." jawab Silvi lirih, menghindari pandangan Calvin.
Sejurus kemudian, Silvi berjalan cepat meninggalkan Calvin. Jangan sampai ada yang melihat kristal bening terjatuh dari pelupuk matanya.
** Â Â Â