"Kalau begitu, bolehkah sekarang aku belajar banyak darimu?" bisik Calvin lembut.
"Sure..." jawab Clara sambil tersenyum. Membelai kedua tangan Calvin.
Entah dia tersenyum tulus pada suami super tampannya. Atau tersenyum geli karena masih teringat rekaman audio book yang dibacakan Calvin untuk Silvi. Setelah mendengarkannya satu per satu, langsung saja Clara mengomentari dan mengoreksi. Ia tidak seperti Silvi yang kelewat pandai menahan respon dan koreksinya. Silvi lebih banyak memuji, walau itu dilakukannya untuk menyenangkan hati Calvin dan menghargainya saja. Sementara Clara sama sekali tidak memuji. Hanya mengomentari dan membetulkan mana yang salah.
"Hmm...Silvi, Silvi. Kalau sama suami super tampanku, jangan terlalu lembut." desah Clara, menjentikkan jarinya. Lalu mematikan laptop.
"Well, adikmu itu baik. Paling tidak, dia tahu cara menghargai orang lain." Calvin menimpali. Lekat memperhatikan istri cantiknya dari manik matanya.
Menyimpan laptopnya di dalam softcase, Clara kembali berbaring. "Whateverlah. Yang jelas, jangan samakan aku dengan Silvi."
Belum sempat Calvin menanggapi, sesuatu terjadi. Clara mengerang kesakitan. Wajah cantiknya berubah pucat. Satu tangannya tanpa sadar mengelus perutnya yang kian membesar.
"Clara, are you ok? Kontraksi lagi ya, Sayang?" Calvin bertanya cemas.
"No...no, sepertinya bukan kontraksi lagi. Tapi..."
Darah segar mengalir di kaki Clara. Tidak, ini tidak benar. Calvin menggendong Clara, meraih kunci mobilnya, lalu bergegas menuju garasi. Tak sempat lagi membangunkan supir dan asisten rumah tangga. Keadaan sudah mendesak.
** Â Â