"Maaf aku harus meninggalkanmu sebentar, Silvi. Sebentar saja..." bisik Calvin. Menatapi wajah damai istrinya yang masih tertidur pulas.
Hari beranjak pagi. Silvi belum angun juga. Mungkin ia lelah selepas shooting kemarin. Calvin mengerti, maka ia tak membangunkan Silvi.
"Bukannya aku keras kepala, bukannya aku tak mendengar kata-katamu. Hanya saja, ada beberapa hal yang harus kubereskan. Begitu semuanya selesai, aku segera kembali."
Seolah Silvi mendengarnya, seolah Silvi mengerti ucapannya. Sejurus kemudian, Calvin mencium kening Silvi. Memandang wajah teduh istrinya sekali lagi. Berbalik, lalu berjalan pelan keluar kamar.
Koridor di lantai dua terasa sunyi. Sunyi, dingin, suram. Pagi ini, seluruh kota diguyur hujan. Meski demikian, hujan tak menyurutkan niat awal Calvin. Ia harus ke kantor pagi ini. Sementara ini menganggap sambil lalu larangan Silvi dan Dokter Rustian. Mereka melarangnya ke kantor. Memintanya beristirahat total di rumah. Semalam Dokter Rustian menawarinya dirawat di rumah sakit saja. Tawaran dokter baik hati itu ditolaknya. Pria tampan itu masih ingin hidup normal.
"Ingat, Calvin. Kankermu sudah menyebar ke paru-paru dan saluran getah bening. Hati-hati..." Begitu kata Dokter Rustian di telepon.
Tak bergeming, Calvin mengabaikan saja tawaran dokter pribadinya. Menjalani perawatan di rumah lebih baik.
Pagi ini, Calvin nekat. Datang ke kantor dan memimpin rapat. Silvi pasti akan marah sekali bila tahu kenekatan suami super tampannya. Biarlah, biar nanti ia tebus kemarahan Silvi dengan sesuatu yang manis.
Alphard silver itu meluncur mulus meninggalkan halaman rumah. Pria berwajah oriental dan bermata sipit duduk di balik kemudi. Menyetir mobil sehati-hati mungkin. Ponselnya ia matikan. Hanya terdengar samar alunan lagu dari radio mobil. Calvin sengaja berangkat lebih awal agar tidak terlambat. On time, begitulah Calvin Wan. Ia lebih rela libur menulis satu hari satu artikel di media citizen journalism itu dari pada terlambat ke kantor. Nanti bisa-bisa ia mengecewakan klien dan stafnya.
Mobil melaju melintasi ruas jalan raya yang licin tergenang hujan. Calvin pria hebat dan kuat. Penyakit kanker tidak menghalanginya untuk beraktivitas normal. Tak terkecuali menyetir mobil. Walaupun pada akhirnya ia selalu merasa sangat kelelahan setelah menyetir. Namun Calvin kuat, ia tak pernah mengeluh.
Tanpa terasa, Calvin tiba di kantor. Adica, Syifa, dan staf-stafnya dibuat kaget dengan kehadirannya. Begitu menginjakkan kaki di pelataran gedung, Syifa berlari ke pelukannya. Mengalungkan lengan ke leher Calvin.
"Kak Calvin...nekat banget sih! Harusnya Kakak istirahat aja!" Syifa memprotes, memukul-mukul pelan lengan kakak sulungnya.
Mendengar protes si bungsu, Calvin tertawa kecil. Mengelus rambut adiknya. Di belakang mereka, Adica bertelekan pingggang dengan gaya angkuhnya. Mendelik marah, jengkel setengah mati dengan Calvin.
"Bisa nggak sih...sehari aja, kamu jangan bandel?" geram Adica.
"Maaf Adica...tapi meeting hari ini sangat penting."
"Kan ada aku dan Syifa. Kami bisa handel semuanya. Kamu istirahat saja di rumah. Minum obat teratur, jangan tidur terlalu malam, nulis, manjakan Silvi, atau apalah. Jangan ke kantor dulu. Lihat hasil kemo kemarin, kan?"
Syifa melepas pelukannya. Bergeser sedikit, lalu menginjak kaki Adica dengan high heelsnya. Refleks si anak tengah berteriak kesakitan.
"Syifa, kamu apa-apaan sih!" Adica membentak Syifa.
Seringai kecil bermain di bibir Syifa. "Biar Kakak diam. Jangan rusak suasana dong. Kak Calvin kan pekerja keras. Pengusaha sukses dan keren. Nggak kayak Kakak...bisnisnya setengah-setengah."
"Syifa Ann, awas kamu ya!"
Seperti biasa. Selalu saja begini. Calvin tersenyum-senyum saja, sementara Syifa berlindung di pelukannya lagi, takut Adica akan membalasnya.
** Â Â Â
Tak sia-sia kenekatannya hari ini. Semua berjalan lancar. Presentasi yang mengesankan. Beberapa klien terkagum-kagum. Calvin memimpin rapat dengan baik, dipadu performa Adica dan Syifa yang tak kalah hebatnya.
"Calvin, aku ingin bicara denganmu."
Langkah Calvin terhenti. Menatapi gadis semampai berambut keriting spiral yang baru saja bangkit dari kursinya. Nanda, putri tunggal Dokter Rustian. Gadis yang telah lama menyimpan cinta untuknya.
"Ok. Kita ke cafetaria ya. Di sana lebih nyaman."
Nanda mengangguk. Berjalan menjajari Calvin. Sukses menuai tatapan heran dari para klien, staf, Adica, dan Syifa. Gurat keletihan mendominasi wajah Nanda. Matanya sembap. Lingkaran hitam terlukis di matanya. Sepertinya semalaman ia tak tidur. Sekali tatap saja, Calvin merasakan ada yang tidak beres dengan teman baiknya ini.
Sampai di cafetaria, mereka memilih meja dekat jendela. Dua gelas jus strawberry menemani, namun pembicaraan tak juga dimulai. Nanda mengaduk-aduk minumannya, membenamkan gundah di balik kesegaran jus. Calvin memandanginya, menunggunya bicara dengan sabar.
"Calvin?"
"Ya?"
"Aku dilamar presdir. Sudah lama atasanku di kantor itu menyukaiku. Dia memberiku perhatian lebih, menjemputku ke apartemen tiap hari, mengajakku dinner  tiga kali seminggu, menawariku ikut dengannya ke luar negeri untuk perjalanan bisnis, memberiku banyak hadiah mahal...sampai akhirnya, dia melamarku semalam. Dia melamarku secara serius. Di depanku, juga di depan Papa." ungkap Nanda panjang lebar.
"Wow, that's good. So, why are you so sad? Bukannya dilamar pria yang tulus mencintaimu itu sebuah anugerah?" sambut Calvin senang.
"Anugerah bila pria itu belum beristri. Calvin...aku dilamar sebagai istri kedua."
Mendengar itu, Calvin terbelalak. Pantas saja Nanda sedih. Wanita mana yang ikhlas dan rela menjadi istri kedua?
"Astaghfirullah al-azhim...I feel sorry." kata Calvin bersimpati.
"Iya, makanya itu...aku bingung harus bagaimana. Di satu sisi, dia sangat baik. Dia sangat mencintaiku. Di sisi lain, dia sudah beristri. Walau istri pertamanya sudah mengizinkan, tapi..."
"Kalau aku jadi kamu, aku akan menolaknya." sela Calvin cepat.
Calvin pria tampan yang saleh dan religius. Tapi ia sangat anti poligami. Hanya punya satu istri sepanjang hidupnya, itu harga mati. Sampai kapan pun, Calvin takkan berpoligami. Bagaimana pun keadaan Silvi.
"Iya, Calvin. Aku juga ingin menolak. Tapi, bagaimana caranya?"
** Â Â Â
Mengemudikan mobilnya pelan-pelan menyusuri areal perkebunan teh, Calvin terkenang masa lalu. Waktu kecil, ia sering menghabiskan waktu di sini. Bermain sepuasnya. Main gundu dan main sepeda, itulah aktivitas favoritnya. Calvin terus mengenang, terus bernostalgia.
Anak konglomerat tak membuat Calvin sombong. Dia tak segan bermain dengan anak-anak para pekerja kebun teh. Anak-anak itu pun tak keberatan Calvin ikut bermain dengan mereka. Di tengah kumpulan anak-anak itu, Calvinlah yang paling tampan dan paling putih kulitnya. Paling bagus pakaiannya, paling pintar, paling lembut, dan paling baik. Senang berbagi dengan teman-temannya. Berbagi pakaian bagus dan makanan enak sudah biasa. Pernah suatu kali Adica dan Syifa komplain gegara Calvin membiarkan teman-temannya menghabiskan tiga kotak pizza yang dibawanya. Langsung saja makanan lezat itu habis tak bersisa. Bahkan Calvin tidak kebagian sama sekali. Akan tetapi, Calvin tetap senang. Tak keberatan semua temannya menghabiskan pizza yang dibawanya.
Bila diingat-ingat, rasanya sudah lama berlalu. Mendadak terlintas sebuah ide di benaknya. Calvin menaikkan kecepatan mobilnya. Di dekat areal kebun teh, terdapat sebuah restoran. Menunya cukup lezat. Calvin pergi ke restoran itu, membeli sejumlah porsi makanan dan minuman, lalu kembali ke kebun teh. Dibagi-bagikannya makanan dan minuman itu kepada para pekerja kebun teh. Terlihat mereka kelelahan tapi masih semangat bekerja. Calvin salut pada mereka. Gurat kelelahan di wajah terurai saat Calvin memberikan makanan dan minuman. Di antara mereka, justru Calvin paling bahagia. Bahagia lantaran bisa berbagi. Berkali lipat kebahagiaannya.
Di perjalanan pulang, Calvin terus mendoakan para pekerja kebun teh itu. Mendoakan kesehatan, kebahagiaan, dan kemurahan rezeki. Terpandang olehnya bungkusan putih yang tergeletak manis di tempat duduk sebelahnya. Refleks Calvin menepuk dahinya. Ternyata masih tersisa satu porsi makanan. Ia berikan pada siapa ya?
Sambil menyetir, sepintas Calvin memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di tepi jalan. Dari penampilannya, tak ada yang cukup pantas untuk mendapatkan makanan. Sepertinya mereka bukan orang yang tidak berpunya. Bisa-bisa ia salah sasaran dalam berbagi. Kebaikan itu, saat kita berbuat baik pada orang yang takkan mampu membalasnya. Itulah esensi kebaikan yang sebenar-benarnya.
Sebuah vihara yang ia lewati menarik perhatiannya. Bukan viharanya, tapi penjaga vihara yang membuatnya tertarik. Pria bertubuh gemuk dan berpakaian sangat sederhana. Penampilannya bersahaja, tenang, dan mengundang simpati. Seorang penjaga tempat ibadah, profesi mulia. Dalam hati, Calvin menebak-nebak. Belum tentu penjaga vihara itu beragama Buddha. Bisa saja ia beragama Islam, Katolik, Protestan, atau Kong Hu Cu. Bila ia umat non-Buddha namun sudi menjaga tempat ibadah ini, berarti dia sangat toleran. Baiklah, ini orang yang tepat.
Dihentikannya mobil tepat di depan vihara. Mengambil porsi makanan dan minuman, lalu berjalan menghampiri si penjaga. Penjaga vihara itu menyambutnya ramah. Menatap blogger super tampan mantan duta budaya Tionghoa itu penuh perhatian.
"Mau kebaktian, Pak?" tanyanya ramah.
"Oh, bukan..." Calvin tersenyum, pelan menunjukkan tasbih mungil yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Tionghoa Muslim? Subhanallah...Allahu Akbar. Sikap si penjaga vihara berubah makin hangat.
Selalu saja begini. Tiap kali Calvin ke klenteng, gereja, dan vihara, ia dikira salah satu umat. Sebaliknya, bila datang ke masjid, Calvin disangka mualaf. Aneh-aneh saja.
Setelah memberikan makanan, Calvin berbincang sebentar dengan si penjaga vihara. Laki-laki tua bertubuh tambun, berkacamata, berkepala botak, dan berpakaian sederhana berdiri bersisian dengan pria tinggi semampai, berpostur tegap proporsional, dan berwajah luar biasa tampan. Dua sosok yang kontradiktif, tapi bisa mengobrol akrab.
Si penjaga vihara tak henti-hentinya menatap kagum pada Calvin. Menatap wajah lembutnya, senyumnya, dan tubuh idealnya yang dibalut setelan top eksekutif yang sangat mahal. Calvin Wan, figur inspiratif yang layak dikagumi dan dicintai.
** Â Â Â
"Kamu dari mana saja, Calvin Sayang?"
Silvi menghambur ke arahnya, memeluknya, dan terisak-isak. Seperti efek kejut listrik. Calvin balas memeluk Silvi, masih menutupi sisa-sisa keterkejutannya.
"Maaf, Silvi. Ada rapat penting di kantor. Maaf ya? Tapi sekarang aku sudah kembali...seluruh waktuku, untukmu lagi." ucap Calvin lembut.
"Kamu membuatku cemas!" seru Silvi, mengentakkan kakinya ke lantai.
"Maaf...aku salah lagi ya?"
Sepertinya Calvin belum terbebas dari guilty feeling. Kini ia terlihat sedih. Hati Silvi tersentuh. Ia tak tega.
Satu jam kemudian, Calvin dan Silvi duduk bersisian di taman belakang. Duduk mesra di ayunan sambil menikmati sore yang indah. Bukan sekadar menikmati rupanya. Calvin tengah membacakan Ayat-Ayat Cinta 2 untuk istrinya. Silvi mendengarkan dengan seksama. Ia senang sekali mendengarkan suaminya bercerita. Suara bass Calvin begitu khas. Ambitusnya paling rendah, lebih rendah dari tenor dan bariton. Namun tetap tak kehilangan kekhasannya.
Calvin tipe suami saleh dan tampan luar-dalam. Ia mau duduk di sini, menghabiskan waktunya  di sini, hanya membacakan buku untuk Silvi. Terlebih Calvin bukan penyuka novel romance. Demi Silvi, ia mau membacakan buku itu dan menikmatinya. Entah, Calvin pun tak mengerti mengapa bisa begini. Seperti tergerak saja. Seakan ada yang menggerakkan hatinya untuk terus mencintai dan menyayangi Silvi. Membacakan buku itu salah satu bentuk cinta Calvin.
Sementara Silvi terus mendengarkan. Mata birunya tertuju pada wajah tampan suaminya. Hatinya trenyuh. Kesejukan mengalir di jiwa, berbaur dengan tanda tanya. Calvin selalu ada, menemaninya seharian, mencurahinya perhatian, membacakannya buku, dan bersikap sangat lembut. Calvin suami luar biasa. Kesediaannya menikahi wanita macam Silvi saja sudah menjadikan dirinya pria istimewa. Lain dari pada yang lain. Calvin bersabar dalam menghadapi dan menyayangi Silvi. Ia jaga, dampingi, dan cintai Silvi setulus hati. Takkan ia bagi cinta itu pada wanita lain. Satu kata yang biasa Silvi gunakan untuk memuji Calvin: adorable.
Di mata Silvi, Calvin adalah story teller yang baik. Ini pengalaman pertama Calvin membacakan buku dan bercerita untuk orang lain. Pengalaman pertama sudah cukup bagus.
Ada sedikit yang ganjil hari ini. Kata-kata indah yang dibacakannya tetap berkali lipat lebih indah. Namun, beberapa kali Calvin terhenti di tengah bacaannya. Calvin berhenti untuk menarik nafas. Sekali-dua kali ia menundukkan wajah, terlihat letih dan menahan rasa sakit. Menutupinya sebaik mungkin, Calvin tak ingin sang istri mengetahui kelemahannya. Terlihat kuat dan tegar di depan Silvi, itulah yang Calvin inginkan.
"Innalillah...itu adalah Brenda."
Calvin mengakhiri bacaannya, menutup buku. Wajahnya bertambah pucat. Kedua tangannya terasa dingin. Bibirnya pun mulai memutih. Nampaknya kondisi Calvin benar-benar drop.
"Wow, kamu pintar banget sih bikin orang penasaran! Cool!" puji Silvi antusias.
"Iya. Biar istriku yang cantik ini penasaran."
Ginjalnya terasa sakit. Sakit sekali. Calvin tak tahan lagi. Sejurus kemudian ia beranjak bangkit dari ayunan.
"Hei, where are you going?" tanya Silvi.
"Aku mau istirahat. Bye, My Lovely Silvi."
Dengan kata-kata itu, Calvin melangkah meninggalkan Silvi. Ingin sekali Silvi mengejarnya, memeluknya dari belakang. Bertanya ada apa, namun tak bisa. Ingin menyusul ke kamar tidur, sama tak mungkinnya. Kamar Calvin adalah privasi, sangat tertutup untuk istrinya sekalipun. Menikah bukan berarti mereka tidur satu kamar. Seperti kesepakatan di awal, Calvin tidak akan "menyentuh" Silvi. Aneh dan sulit diterima orang lain, tapi begitulah janji pra pernikahan mereka.
Memainkan ayunannya dengan gelisah, Silvi merasakan kebahagiaan bercampur kekhawatiran. Khawatir Calvin kenapa-napa. Calvin selalu mengatakan dirinya baik-baik saja, tapi Silvi tak pernah yakin. Pastilah ada sesuatu yang disembunyikan.
Mungkinkah ini hanya dalih saja? Jangan-jangan Calvin diam-diam lebih suka menghabiskan waktu dengan teman wanitanya di luar sana dari pada bersama Silvi. Apakah Calvin benar-benar beristirahat atau sibuk merajut perselingkuhan terlarang? Jika benar-benar ingin beristirahat, mengapa jauh lebih awal dari biasanya? Apakah Calvin sakit lagi? Apakah sel-sel Hipernefroma berulah lagi hingga membuatnya tak kuat berlama-lama membacakan buku dan menemani Silvi? Sungguh, Silvi ingin sekali tahu apa yang sebenarnya terjadi. Calvin suaminya, satu-satunya pria yang begitu dekat dengannya selama setengah tahun terakhir. Sejak setengah tahun yang lalu, Silvi tak pernah dekat dengan pria mana pun lagi selain Calvin. Entah Calvin dekat dengan wanita lain atau tidak. Silvi terlalu takut mengetahui kenyataannya, sebab Silvi sangat pencemburu.
Hati Silvi resah. Dipegangnya tiang ayunan erat-erat, berbagai tanda tanya berkejaran di benaknya. Satu pertanyaan terbesar: mengapa Calvin begitu baik padanya? Mengapa Calvin sebaik itu padanya? Pernah Silvi tanyakan, Calvin malah tak tahu jawabannya.
"Aku juga tidak tahu, Silvi. Seperti ada yang menggerakkan hatiku untuk melakukannya...itu saja."
Jawaban Calvin terekam jelas di benaknya. Air mata Silvi jatuh. Ia tak mengerti, sungguh tak mengerti. Calvin pun tak paham dengan ini semua. Hatinya seperti tergerak untuk mencintai dan menyayangi Silvi, itu saja. No reason. Cinta yang tulus itu, justru tidak ada alasannya. Mencintai tanpa alasan, mencintai tanpa syarat. Sepertinya, begitulah cara Calvin mencintai Silvi.
** Â Â Â
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).
** Â Â Â
Calvin bersandar ke kepala ranjangnya, bernafas berat. Sakit ini sungguh menyiksa. Begitu beratnya sampai-sampai ia terpaksa harus meninggalkan Silvi. Kenekatannya tadi pagi harus dibayar mahal.
"Laa illaha illa anta, subhanaka inni kuntu minnadzalimin." Calvin bergumam lirih. Sejak terkena kanker, dia lebih sering mengucap doa itu. Doa yang sangat direkomendasikan Rasulullah saat mengalami kesusahan.
Berbaring di ranjang, mengistirahatkan tubuhnya. Tak sedikit pun mengurangi sakitnya. Calvin kesakitan, teramat kesakitan.
"Maafkan aku, Silvi..." lirih Calvin.
Kini Calvin sudah ikhlas. Ikhlas menerima kenyataan atas penurunan fungsi ginjalnya. Calvin sudah ikhlas dengan penyakitnya. Sakit ginjal yang bermula dari infeksi ginjal, lalu terdeteksi munculnya sel kanker. Lama-kelamaan fungsi ginjalnya terus menurun. Calvin Wan, blogger super tampan itu, sudah ikhlas. Sungguh ikhlas.
Sekali lagi, Calvin menarik nafas. Sulit sekali untuk bernafas. Calvin bukan hanya nekat, tapi bandel juga. Keras kepala. Selidik punya selidik, sudah empat kali mantan model ini bolos cuci darah. Akibatnya fatal. Terdapat penumpukan air dalam tubuhnya. Tersebar di bagian perut, punggung, dan kakinya. Kadar racun ureum di tubuhnya sudah mencapai 200.
Menyesal? Tentu saja. Tubuh yang menampung air dan racun begitu banyak membuatnya harus membayar mahal: dalam sehari, hanya boleh minum sebanyak satu liter. Bahkan minum setelah makan pun harus diatur. Baru boleh minum setengah jam setelah makan.
Calvin meraih gelas dan sendok kecil dari atas meja. Ia menyuapkan sesendok kecil air putih, beginilah caranya bila ingin minum di luar waktu makan. Harga yang harus dibayar atas kenekatan dan kebandelannya.
Betapa mahalnya kesehatan. Calvin merasakan kesedihan mengisi hatinya. Sedih lantaran dirinya tak cukup sehat untuk mendampingi Silvi. Mengapa Silvi mau saja dinikahi pria yang punya penyakit berat seperti dia? Karena cinta? Mungkin saja. Ada cinta yang sejati, ada sayang yang abadi. Seperti itukah kasih dan cinta Calvin-Silvi?
** Â Â
Paris van Java, 7 Januari 2018
Tulisan cantik Young Lady.
Terima kasih untuk kata-kata indah yang kaubacakan.
Terima kasih pada pria pertama yang mau membacakan buku untuk Young Lady.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H