Sepertiga malam, waktu yang dipilih untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menulis. Menulis apa saja. Entah itu menulis produk kreatif dan inovasi dari sebuah perusahaan yang telah berdiri sejak 44 tahun, atau menulis catatan hati seorang penderita kanker.
Tubuh boleh saja digerogoti ganasnya kanker. Namun keinginan berbagi tetap kuat. Memaksakan diri demi melawan penyakitnya, Calvin Wan menunjukkan konsistensinya. Memperkuat komitmen menulis untuk terapi penyembuhan.
"Cinta, aku harus bagaimana?"
Itulah kalimat pertama yang ia tulis di catatannya. Wajah Silvi terlintas di pelupuk mata. Akankah wajah cantik itu masih dihiasi senyuman tulus dan lembut saat rahasia itu terungkap? Masihkah sepasang mata itu akan menatapnya penuh cinta ketika Calvin sudah tak sempurna lagi?
"Bagaimana harus kuberi tahu soal rahasia ini padamu, Cinta?"
Bukan takut diselingkuhi, bukan pula takut berpisah. Namun Calvin khawatir jika Silvi akan berhenti mencintainya. Sementara Calvin selalu mencintai Silvi, dalam suka dan duka.
"Kamu wanita cantik...lebih dari sekadar cantik. Kamu istimewa di mataku. Bukan denganku kau akan bahagia, Cinta. Tapi dengan pria lain...yang lebih sempurna, yang lebih sehat dariku."
Gerakan tangan Calvin semakin lambat. Setetes darah terjatuh di atas kertas putih. Noda merah terlihat jelas, kontras sekali saat berpadu dengan warna putih. Lembaran kertas putih itu menjadi kotor seketika.
"Aku mencintaimu...sangat mencintaimu. Sampai kapan pun, rasaku takkan berubah. Meski kelak kau takkan lagi mencintaiku. Kau wanita cantik dan istimewa. Akan kupastikan kau mendapatkan pengganti yang istimewa pula. Sudah kupilihkan mata pengganti untukmu, Cinta."
Kali ini Calvin teringat Revan. Rencana harus dipercepat. Demi Silvi, demi cinta terakhirnya. Sepasang mata pengganti telah dipilihkannya untuk Silvi.
** Â Â Â