Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Special] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Cinta, Aku Harus Bagaimana?

21 Desember 2017   05:56 Diperbarui: 21 Desember 2017   06:13 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kujaga hati ini

Untukmu sampai nanti

Kurelakan jiwaku merindu terlalu

Kautinggalkan aku rasa

Merindu begitu perihnya

Merentang malam meredup

Aku masih dicinta

Menanti bersama

Ku merasakan sepi di keramaian dunia ini

Walaupun waktu menjauh

Kupeluk cintaku yang utuh

Walau ku tak sampai padamu

Biarlah aku menanggung semua ini

Walau sedih menyiksa hati ini

Kupatuhi semua suratan ini

Walaupun ku jauh dari sempurna

Aku tetap menanti sepasang mata

Matamu yang menatap penuh cinta (Krisdayanti-Ayat-Ayat Cinta 2).

**     

"Silvi...Silvi."

Sepotong nama itu. Ya, hanya nama itu yang disebutkan Calvin di antara kesakitan luar biasa yang dirasakannya. Organ-organ krusial yang digerogoti kanker, ginjal yang nyaris berhenti berfungsi, sakit luar biasa itu, tak sebanding dengan kepedihan yang menyiksa hati Calvin.

Hati Calvin merindu. Rindu Silvi, wanita belahan jiwanya. Sakit di tubuhnya belum apa-apa dibanding sakit di jiwanya lantaran lama menahan rindu. Terlebih, Silvi sama sekali tak tahu kondisi suami super tampannya. Kidney Cancer, dan sisa waktu yang tidak lama lagi. Pedih, tragis, ironis, dan gloomy.

Derap langkah sepatu terdengar berulang kali. Elektrokardiograf berpacu tanpa henti. Bisik-bisik terus terdengar di sana-sini. Ramai, suatu keramaian menegangkan berbalut menyakitkan di paviliun rumah sakit yang sangat mewah itu.

Meski begitu, Calvin merasakan sepi. Sepi di tengah keramaian. Sepi sendiri dengan menahankan rasa sakit yang hanya dirasakannya sendiri.

Harapan hidupnya mungkin takkan lama lagi. Calvin Wan kini tak sesempurna dulu. Tak lagi sempurna. Jika Silvi tahu, masihkah sepasang mata birunya akan menatap Calvin penuh cinta? Tidakkah Silvi menyesal mencintai Calvin?

Memikirkan hal ini, hati Calvin hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Dirinya tak lagi sempurna. Mungkin sudah tak layak lagi dicinta.

Darah mengalir, bisik-bisik bernada kecemasan kian jelas. Wajah-wajah panik. Jarum vistula besar. Isak tangis.

"Sepsis...atau blood poisoning. Keracunan darah." bisik Dokter Rustian.

"Apa? Calvin keracunan darah?" ulang Adica, panik dan frustrasi.

Syifa menangis tertahan. Tuan Halim dan Nyonya Roselina kembali meneteskan air mata.

Seseorang membungkuk, memeluknya erat. Membasahi ujung rambutnya dengan air mata. Cantik, namun parasnya sendu berurai air mata. Silvi, diakah Silvi? Ternyata bukan. Dia bukan Silvi, melainkan Syifa.

Pedih yang menyiksa hati tak hilang juga.

**    

Sepertiga malam, waktu yang dipilih untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menulis. Menulis apa saja. Entah itu menulis produk kreatif dan inovasi dari sebuah perusahaan yang telah berdiri sejak 44 tahun, atau menulis catatan hati seorang penderita kanker.

Tubuh boleh saja digerogoti ganasnya kanker. Namun keinginan berbagi tetap kuat. Memaksakan diri demi melawan penyakitnya, Calvin Wan menunjukkan konsistensinya. Memperkuat komitmen menulis untuk terapi penyembuhan.

"Cinta, aku harus bagaimana?"

Itulah kalimat pertama yang ia tulis di catatannya. Wajah Silvi terlintas di pelupuk mata. Akankah wajah cantik itu masih dihiasi senyuman tulus dan lembut saat rahasia itu terungkap? Masihkah sepasang mata itu akan menatapnya penuh cinta ketika Calvin sudah tak sempurna lagi?

"Bagaimana harus kuberi tahu soal rahasia ini padamu, Cinta?"

Bukan takut diselingkuhi, bukan pula takut berpisah. Namun Calvin khawatir jika Silvi akan berhenti mencintainya. Sementara Calvin selalu mencintai Silvi, dalam suka dan duka.

"Kamu wanita cantik...lebih dari sekadar cantik. Kamu istimewa di mataku. Bukan denganku kau akan bahagia, Cinta. Tapi dengan pria lain...yang lebih sempurna, yang lebih sehat dariku."

Gerakan tangan Calvin semakin lambat. Setetes darah terjatuh di atas kertas putih. Noda merah terlihat jelas, kontras sekali saat berpadu dengan warna putih. Lembaran kertas putih itu menjadi kotor seketika.

"Aku mencintaimu...sangat mencintaimu. Sampai kapan pun, rasaku takkan berubah. Meski kelak kau takkan lagi mencintaiku. Kau wanita cantik dan istimewa. Akan kupastikan kau mendapatkan pengganti yang istimewa pula. Sudah kupilihkan mata pengganti untukmu, Cinta."

Kali ini Calvin teringat Revan. Rencana harus dipercepat. Demi Silvi, demi cinta terakhirnya. Sepasang mata pengganti telah dipilihkannya untuk Silvi.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=5jOrDMfRbiI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun