Derap langkah sepatu terdengar berulang kali. Elektrokardiograf berpacu tanpa henti. Bisik-bisik terus terdengar di sana-sini. Ramai, suatu keramaian menegangkan berbalut menyakitkan di paviliun rumah sakit yang sangat mewah itu.
Meski begitu, Calvin merasakan sepi. Sepi di tengah keramaian. Sepi sendiri dengan menahankan rasa sakit yang hanya dirasakannya sendiri.
Harapan hidupnya mungkin takkan lama lagi. Calvin Wan kini tak sesempurna dulu. Tak lagi sempurna. Jika Silvi tahu, masihkah sepasang mata birunya akan menatap Calvin penuh cinta? Tidakkah Silvi menyesal mencintai Calvin?
Memikirkan hal ini, hati Calvin hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Dirinya tak lagi sempurna. Mungkin sudah tak layak lagi dicinta.
Darah mengalir, bisik-bisik bernada kecemasan kian jelas. Wajah-wajah panik. Jarum vistula besar. Isak tangis.
"Sepsis...atau blood poisoning. Keracunan darah." bisik Dokter Rustian.
"Apa? Calvin keracunan darah?" ulang Adica, panik dan frustrasi.
Syifa menangis tertahan. Tuan Halim dan Nyonya Roselina kembali meneteskan air mata.
Seseorang membungkuk, memeluknya erat. Membasahi ujung rambutnya dengan air mata. Cantik, namun parasnya sendu berurai air mata. Silvi, diakah Silvi? Ternyata bukan. Dia bukan Silvi, melainkan Syifa.
Pedih yang menyiksa hati tak hilang juga.
** Â Â