Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Special] Mata Pengganti, Pembuka Hati, Suami Paling Sempurna

16 Desember 2017   05:59 Diperbarui: 16 Desember 2017   10:10 4329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melangkah keluar dari lorong garbarata, Calvin mengaktifkan kembali smartphonenya. Langsung saja puluhan notifikasi masuk. Chat grup, japri, dan e-mail. Calvin membalas semuanya dengan sabar.

Supir pribadi menyambutnya di pelataran bandara. Tersenyum sopan, lalu mengambil koper kecil dari tangan tuan mudanya. Alphard silver itu telah menanti.

"Tuan Muda, mau langsung ke rumah Tuan Besar atau ke villa dulu?" tanya sang supir seraya menyalakan mesin mobil.

"Langsung ke rumah Papa. Saya sudah rindu Papa, Mama, dan adik-adik saya." jawab Calvin ramah. Meski status sosialnya lebih tinggi, Calvin tetap ramah pada orang yang status sosialnya lebih rendah. Ramah, sopan, dan rendah hati. Sifat natural yang membuat Calvin dekat dengan siapa saja. Tak terkecuali dengan supir, asisten rumah tangga, dan staf-stafnya di kantor.

Mobil meluncur mulus. Terbebas dari keharusan menyetir, Calvin mulai membuka media jurnalisme warga kesayangannya. Ia sempatkan untuk menulis artikel. One day one article seperti biasa. Hari ini, Calvin menulis tentang uang dingin dalam investasi. Topik yang sangat khas Calvin Wan.

Sesaat setelah diposting, artikel itu langsung dilabeli headline. Dibanjiri puluhan vote dan komentar dari blogger lainnya. Setiap komentar dibalasnya dengan ramah dan rendah hati. Ia sabar merespon tiap komentar dan pertanyaan kritis.

Sibuk menulis dan blogwalking, tak terasa Alphard yang dinaikinya tiba di depan sebuah rumah besar bertingkat tiga dan bergaya Victoria. Tak banyak berubah, pikir Calvin. Tersenyum senang memandangi rumah bercat putih yang telah ditempatinya sejak kecil. Enam bulan Calvin meninggalkannya, rumah mewah ini tak berubah.

"Kak Calvin! I miss you!"

Syifa berlari dengan lengan terentang. Ia melempar diri ke pelukan Calvin. Mencium pipi kakaknya, memeluknya erat-erat hingga Calvin sulit bernafas. Rindu yang dipendam lama, akhirnya tumpah juga.

"Syifa Sayang...miss you too." ujar Calvin, membalas pelukan Syifa.

"Kak Adica, Mama, dan Papa sudah menunggu. Ayo, Kak." ajak Syifa setelah melepas pelukannya.

Mereka bergandengan tangan memasuki rumah. Pigura-pigura berisi foto keluarga, permadani mahal, meja marmer, sofa, pajangan kristal, dan lukisan-lukisan. Semuanya masih sama.

Tuan Halim dan Nyonya Roselina menyambutnya hangat. Adica nampak dingin seperti biasa. Namun sebenarnya ia senang Calvin sudah kembali. Belum lama tiba di rumah, Tuan Halim sudah menanyai Calvin tentang cabang perusahaan mereka di Singapura.

"Ya ampun Halim...kamu ini gimana sih? Anak kita baru sampai lho. Nantilah ngobrolnya...di kantor saja." cegah Nyonya Roselina.

"Iya nih, Papa nggak bisa santai." kritik Syifa.

Mendengar pembelaan Mama dan adik perempuannya, Calvin menatap mereka penuh terima kasih. Mereka memang pengertian. Tahu bahwa dirinya masih lelah dan ingin bersantai sejenak.

**    

Pukul enam pagi. Waktunya sarapan sambil membaca koran. Roti berlapis selai, apel granny, dan susu low fat menjadi menu sarapan pilihannya. Ditemani berita aktual dan terhangat. Dikelilingi empat anggota keluarga yang menyayanginya. Lengkap sudah semuanya.

Sepotong berita yang dibacanya menyentuh hati Calvin dengan rasa empati: ditemukan seorang bayi perempuan berlumur darah lengkap dengan tali pusat di sebuah masjid. Bayi itu masih hidup, namun kondisinya sangat lemah. Refleks Calvin meletakkan korannya. Wajahnya didominasi gurat kesedihan dan kecemasan.

"Calvin, are you ok?" tanya Adica, kali ini tak bisa berpura-pura cuek lagi.

"I'm ok. Aku harus melakukan sesuatu." sahut Calvin lirih.

Sejurus kemudian ia menelepon salah satu stafnya. Menyuruhnya melacak bayi perempuan itu. Entah mengapa, walaupun belum pernah bertemu, Calvin merasakan ikatan batin yang kuat dengan bayi merah berlumur darah itu.

"Buat apa kamu cari info tentang bayi perempuan yang tidak jelas itu?" selidik Adica.

"Hatiku tergerak untuk menolongnya."

"Jangan bilang Kakak mau adopsi dia. Kak Calvin ingin punya anak ya?" timpal Syifa.

Pertanyaan Syifa sukses membangkitkan niat lain di hati Calvin. Pria tampan yang lahir di bulan dua belas itu mulai berpikir. Tak ada salahnya, sungguh tak ada salahnya.

"Kalau kamu ingin punya anak, mengapa tidak menikah saja?" sergah Tuan Halim.

"Aku tidak ingin menikah, Pa. Lagi pula, siapa yang mau menikah denganku?"

"Lho, jangan salah. Banyak yang suka padamu, Sayang. Nanti Mama kenalkan dengan putri-putri jet set dan konglomerat ternama. Kamu pasti takkan menyesal."

Tawaran Nyonya Roselina sama sekali tidak menarik baginya. Calvin fokus untuk menolong bayi perempuan itu. Apa pun caranya.

Setengah jam kemudian, stafnya memberi kabar. Bayi perempuan itu telah dibawa ke rumah sakit. Lokasi rumah sakit pun dikirimkan. Tanpa membuang waktu lagi, Calvin bergegas ke rumah sakit.

**     

Keheningan koridor rumah sakit pagi itu dipecahkan oleh bunyi langkah sepatu. Terlihat seorang gadis cantik bergaun merah marun dengan high heels setinggi sembilan senti melangkah setengah berlari menuju ruangan paling ujung. Ada sosok lain yang berjalan jauh lebih cepat. Pria tinggi semampai berkulit putih dan berwajah oriental itu telah berada jauh di depan. Tujuannya sama.

Si gadis mempercepat langkah. Tak mudah berjalan cepat dengan memakai sepatu berhak tinggi. Baiklah, harus ada jalan keluar. Gadis mata biru itu berhenti sebentar, lalu melepas sepatunya. Lalu ia berlari tanpa mengenakan alas kaki. Adu cepat dengan pria Tionghoa yang telah mendahuluinya itu.

Hasilnya, mereka bertabrakan di depan pintu. Si gadis berteriak panik karena telah menabrak seseorang.

"Waaah...takut! Aku menabrak siapaaa?"

Tak sadar dirinya jika tempat ini adalah rumah sakit. Dilarang membuat keributan di tempat perawatan orang-orang sakit.

"Kamu?" Pria berwajah oriental itu tak kalah kagetnya. Menatap gadis yang menabraknya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Siapa kamu? Orang jahat ya? Penculik ya? Anggota sindikat penjualan organ dan perdagangan manusia ya? Kamu pasti mau culik bayi terlantar di ruangan inkubator itu kan?" Si gadis berbicara tanpa henti, malah seenaknya melontarkan prasangka negatif.

Mendengar itu, si pria berkemeja dark blue tertawa. "Memangnya muka saya seram ya? Sampai-sampai saya dikira penjahat?"

Gadis bergaun merah marun mengentakkan kakinya kesal. Melipat tangan di depan dada.

"Jawab dulu, kamu siapa!"

"Saya Calvin. Kamu Silvi, kan? Kita pernah ketemu di acara gathering para blogger dan malam grand final pemilihan Koko Cici DKI Jakarta."

Refleks si gadis menepuk dahinya. Lalu ia teringat sesuatu.

"Calvin Wan? Oh my God...sorry sorry, aku lupa!"

"No problem. Kamu mau lihat bayi perempuan yang ada di berita itu? Ayo masuk."

Mereka berdua memasuki ruangan di ujung koridor. Dissambut dua orang suster.

Keadaan bayi perempuan itu masih sangat lemah. Dia harus masuk inkubator karena lahir prematur. Calvin dan Silvi trenyuh melihatnya. Hati mereka membisikkan satu niat.

"Suster," Calvin dan Silvi memanggil suster yang menjaga bayi perempuan itu bersamaan. Keduanya bertukar pandang, lalu tertawa.

"Ya?" Suster bertubuh mungil dan berwajah manis itu menoleh. Tersenyum memandangi dua peragawan-peragawati cantik dan tampan itu.

"Saya ingin adopsi bayi itu."

Lagi-lagi Calvin dan Silvi mengungkapkannya bersamaan. Mereka kembali tertawa, suster pun ikut tertawa.

"Wah, kalian jodoh ya?" komentarnya.

"Oh bukan, bukan. Cuma kebetulan." ralat Silvi.

"Dari kebetulan kan bisa jadi jodoh."

Ucapan suster disertai senyum nakalnya benar-benar membuat hati gemas. Calvin dan Silvi menjauh. Kini mereka berdiri dipisahkan jarak empat meter. Seperti dua orang yang sedang bermusuhan saja.

**      

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hatiku (Calvin Jeremy-Pemilik Hatiku).

**     

"Kini pemilik hatiku adalah kamu, Sayang. Pemilik hatinya Ayah Calvin." Calvin berujar tulus. Menciumi kedua pipi cantik nan mulus itu.

Setahun telah berlalu. Bayi perempuan itu telah berhasil diadopsi Calvin. Sembilan bulan lamanya Calvin harus menjalani sidang untuk mendapatkan hak asuhnya. Belum lagi, ia harus melawan Silvi di pengadilan.

Pada akhirnya, Calvinlah yang memenangkan hak asuh atas anak perempuan itu. Anak angkatnya diberi nama Nikita. Begitu Nikita sah menjadi anaknya secara hukum, langsung saja Calvin membawanya pergi umrah bersamanya. Bentuk ungkapan rasa syukur padanya.

"Saya janji, akan merawat Nikita dan menyayanginya sepenuh hati. Saya akan anggap dia seperti anak kandung saya sendiri." Begitulah janji Calvin pada dokter yang merawat Nikita.

Bukan Calvin Wan namanya jika tidak konsisten. Dia menepati janji. Dirawatnya Nikita dengan tangannya sendiri. Dua puluh empat jam bersama Nikita, mulai dari bangun tidur hingga akan tidur lagi. Dibawanya Nikita ke kantor. Ya, seorang petinggi perusahaan membawa anak ke kantor. Malu? Tidak. Calvin tak pernah malu memperkenalkan putrinya di depan publik. Justru dia menjadi contoh dan inspirasi bagi pegawai-pegawainya. Bukan hanya petinggi perusahaan yang baik, melainkan sosok ayah ideal dan calon suami idaman.

Beruntung Nikita cukup kuat. Ia mampu mengikuti padatnya aktivitas ayahnya. Calvin tak pernah merasa repot mengurus Nikita sendirian. Mantan runner up Koko Cici DKI Jakarta itu malah menikmati perannya sebagai single parent.

Dengan sabar, ia mengajari Nikita berjalan. Menyuapi, memandikan, memakaikannya baju, dan mendongeng untuknya sebelum tidur. Benar-benar tipe hot daddy.

"Hot daddy..." desah Silvi kagum.

Sore ini ia mengikuti Calvin dari jauh. Mengawasi Calvin saat mengajak Nikita jalan-jalan di taman. Memperkenalkannya berbagai macam warna. Belajar membedakan mana rumput dan mana bunga.

Hati Silvi meleleh dibuatnya. Pada anak-anak saja Calvin begitu lembut dan penyayang, bagaimana pada istrinya? Calvin berpotensi besar menjadi suami idaman sempurna dambaan para wanita.

"Kelak wanita yang akan dinikahi Calvin beruntung sekali." desah Silvi.

"Yang jelas wanita itu bukan aku. Pria mana yang mau menikahi wanita sepertiku? Melihat saja tak bisa...tidak ada gunanya."

Air mata membasahi pipi Silvi. Ia berdiri di sana, terpaku dalam keresahan sekaligus kekaguman. Gadis berdarah campuran itu susah payah menata kembali hatinya yang hancur. Itulah sebabnya Silvi ingin mengadopsi anak: mengatasi rasa kesepian. Mengasuh anak dapat mengusir rasa kesepian karena hidup sendiri tanpa menikah.

Sayangnya, Silvi tak berdaya melawan Calvin di pengadilan. Padahal Silvi mempunyai motivasi yang sama kuatnya dengan Calvin untuk mengadopsi Nikita. Biarlah, mungkin anak itu bukan rezeki Silvi. Melainkan rezeki Calvin.

"Nikita Sayang...selamat ya Nak, kamu sudah dirawat orang yang tepat. Ayah Calvin pasti sayang banget sama kamu." Silvi bergumam lirih, satu tangannya menyapu air mata.

Nama terkenal, prestasi, dan investasi yang menjamin masa depan tak menjamin Silvi bahagia. Kesepian masih menggerogoti jiwanya. Melihat kehangatan Calvin dan Nikita, dia hanya bisa memendam kekaguman. Ia mengagumi Calvin dari jauh. Calvin Wan, pria tampan luar-dalam yang layak menjadi suami paling sempurna.

Dalam pikirannya, Silvi membayangkan kebersamaan Calvin dan Nikita. Begitu hangat, begitu mesra. Layaknya ayah dan anak kandung. Calvin yang terbiasa tidur lebih awal dan bangun di sepertiga malam untuk Tahajud, akan mengajak putri cantiknya beribadah bersamanya pula. 

Setelah Tahajud, mereka akan menghabiskan waktu berdua menjelang Subuh. Hanya berdua. Subuh tiba, lalu mereka shalat bersama lagi. Sesudah itu Calvin dan Nikita akan berjalan-jalan mengitari taman. Bergandengan tangan, selalu bersama. Calvin mengajak Nikita menikmati keindahan pagi. Mensyukuri karunia Illahi. Tiap akhir pekan Calvin membawa Nikita ke villanya, atau berjalan-jalan ke tempat lain. Dua-tiga kali setahun, ayah dan anak itu traveling ke berbagai tempat. Mulai dari Bali hingga Malaysia, mulai dari Macao hingga Paris. 

Calvin berbagi keindahan tempat-tempat di berbagai belahan dunia pada putri semata wayangnya. Indah, sangat indah. Apa lagi bila Calvin telah mendapatkan ibu untuk Nikita. Mereka takkan lagi hanya berdua, melainkan bertiga. Jauh lebih indah dari sebelumnya. Lama Silvi tenggelam dalam imajinasinya. Bayangan indah tentang Calvin, sosok pria yang dikaguminya. Sesuaikah dengan kenyataannya?

Puas berjalan-jalan di taman, Calvin membawa Nikita ke mall. Tersenyum mengamati kelucuan Nikita saat memilih handuk dan botol minuman. Dari kejauhan, Silvi tersenyum pula. Nikita sudah berada di tangan yang tepat.

"Nikita mau yang mana? Yang putih, merah, atau..."

Tangan kanan Nikita menunjuk botol minuman berwarna merah, lalu memegangnya kuat. Lucu sekali ekspresinya.

"Ok Sayang...kita ambil yang itu ya?"

Tak puas-puasnya Silvi mengintip Calvin dan Nikita. Andai Calvin suamiku, dia akan jadi suami paling sempurna. Hati kecil Silvi berbisik, merasakan desiran kekaguman.

Memiliki anak perempuan adalah keinginan terbesar Calvin sejak lama. Dalam Islam, membesarkan anak perempuan berpahala besar. Surga jaminannya. Sebaliknya, bila menyia-nyiakan anak perempuan, neraka hukumannya. Islam sangat memuliakan anak perempuan.

Calvin tulus menyayangi Nikita. Ia ingin Nikita menjadi dokter. Sudah disiapkannya masa depan untuk Nikita berupa asuransi pendidikan dan berbagai fasilitas terbaik lainnya. Saat mengadakan pesta ulang tahun Nikita yang ke1, Calvin mengutarakan keinginan besarnya agar Nikita menjadi dokter. 

Kalau perlu, Nikita bisa terjun pula ke bidang lain. Misalnya, ikut ajang pemilihan duta wisata dan duta budaya seperti ayahnya.

"Kalau dia interest, insya Allah aku akan ikutkan dia di Abang None Jakarta, Koko Cici DKI Jakarta, atau Putri Indonesia." ungkap Calvin pada Adica, Syifa, dan teman-temannya sesama alumni duta budaya Tionghoa.

Like father, like daughter. Calvin menginginkan Nikita menjadi duta, menjadi seorang putri yang berprestasi dan berkontribusi untuk negara dan agamanya. Niat mulia.

**      

Silvi mengenang, terus mengenang. Air matanya tumpah. Kini yang dikenang telah pergi. Calvin Wan suami paling sempurna. Namun, suami paling sempurna itu tak lagi di sisinya.

Pria lain yang ada di sampingnya kini. Silvi menatap hampa wajah Revan. Sebaik dan setampan apa pun, Revan takkan mampu menggantikan Calvin.

"Aku bukan Calvin dan tidak sesempurna dirinya...tapi cintaku sebesar cinta Calvin padamu. Percayalah, Silvi." Revan memegang erat tangan Silvi, mengecupnya.

**     

Paris van Java, 16 Desember 2017

Tulisan cantik dari Young Lady cantik dalam keresahan.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=keJMpdfEPUw

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun