Setelah berkata begitu, Clara berjalan pergi. Meninggalkan Adica dalam ketidakrelaan dan tanda tanya.
Berjalan cepat kembali ke dalam rumah, Clara menghampiri Calvin dan Silvi. Duduk di antara mereka. Ekspresi wajahnya tetaplah dingin seperti semula.
"One day one article ya?" tebak Clara, melirik laptop di samping kanannya.
"Yups. As you see." balas Calvin singkat.
"That's good. Boleh aku baca?" Clara menggeser posisi tubuhnya, lebih dekat pada Calvin.
Kini bukan bibir yang digigit Silvi. Tapi bagian dalam pipinya. Sakit, sungguh sakit melihat Clara berdekatan dengan Calvin. Pria tampan itu pun tak keberatan atau jengah dengan adanya Clara di sampingnya. Mereka duduk begitu dekat, begitu dekat, begitu dekat. Berkali-kali, dalam gerakan impulsif yang cantik, Clara dan Calvin berpegangan tangan. Elegan sekali, seolah tak sengaja. Namun ada kesan yang terlihat jelas di baliknya.
Silvi menahan air matanya. Sementara sakit di lambungnya makin terasa. Wajah cantiknya memucat, hampir sama pucatnya dengan wajah Calvin. Sakit di lambungnya belum apa-apa dibandingkan sakit di hatinya.
Gadis itu menundukkan wajah, berdoa dalam hati. Minta dikuatkan Illahi. Perlahan ia beranjak bangkit. Calvin dan Clara terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kepergian seorang gadis kesepian pasti akan luput dari perhatian. Baiklah, saatnya pergi.
Melangkah pelan mengitari rumah besar itu menuju pintu depan, air mata Silvi berjatuhan. Calvin benar-benar tidak bisa memahami. Sudah jelas. Pria itu tak pernah tulus padanya, tak pernah menganggap keberadaan dirinya, tak pernah menginginkan kehadirannya. Air mata Silvi jatuh lagi. Membasahi pipinya, mengalir ke wajahnya. Silvi yang cantik hanya mampu mengeluarkan air matanya sendirian.
Tinggal beberapa meter lagi dari pintu utama. Tangan Silvi terulur. Siap membuka pintu besar berpernis mengilap itu. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, sampai akhirnya terdengar derap langkah berlari di belakangnya.
** Â Â Â