"Silvi, jangan terlalu khawatir. Aku akan baik-baik saja." Calvin berkata lembut. Membelai kedua tangan gadis itu, lalu menggenggamnya hangat.
"Aku mengkhawatirkanmu, Calvin. Sangat..." desah Silvi, air mata siap berhamburan dari kedua mata birunya.
Rumah besar bergaya Mediterania itu begitu sepi. Meski ada empat jiwa dan empat raga yang tinggal di dalamnya selama beberapa jam terakhir.
"You know I love you, Calvin..."
"Masihkah kamu mencintaiku setelah mengetahui semuanya? Kakakmu ini banyak kekurangan, Silvi."
"I still love you."
Hati Silvi terasa berat saat mengatakannya. Bisa saja ia mencintai Calvin. Namun, bukankah Calvin hanya mencintai Clara?
Calvin sedang sakit. Ia membutuhkan support dari orang-orang yang mencintainya. Silvi terlalu sibuk memberikan waktu luang dan perhatiannya untuk ayah angkat Aurora itu sampai-sampai melupakan dirinya sendiri. Sakit di lambung dan kelelahannya ia abaikan. Mungkin
Mungkin Calvin tak pernah peduli padanya. Mungkin Calvin tak pernah mencintainya. Itu lain cerita. Yang penting, Silvi sudah berusaha memberikan waktu untuk orang yang spesial di hatinya.
Menghela nafas dalam dan menggigit bibirnya menahan sakit, Silvi berusaha tenang. Agar Calvin tidak perlu khawatir. Bukan hanya lambungnya yang sakit, tetapi hatinya juga.
Mencintai dalam kehampaan, itulah yang Silvi rasakan. Saat cinta terasa begitu hampa. Saat sudah tak mampu lagi berkata-kata untuk mengungkapkan cinta. Saat cinta tak tersampaikan dalam kata. Perih, itulah klimaksnya.