Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Psikolove, Akhirnya Ku Menemukanmu (10)

15 Desember 2017   05:50 Diperbarui: 15 Desember 2017   05:58 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak kusadari kau yang dipilih

Bagi diriku

Jalani hidup

Jagakan cinta

Walau pahit terkadang

Kau yang kucinta selalu setia bersahaja

Saat cinta hampa

Tak lagi berkata

Dapatkan kita bertahan terus bersama

Menggapai harapan

Fajar yang kan datang

Bertahanlah kasih tuk selalu mencinta

Dalam hidup ini tak selalu mudah

Kadang kelabu sesakkan kalbu

Namun hadirmu membuat aku percaya

Kan menapak hari depan nanti dengan tawa

Saat cinta hampa

Tak lagi berkata

Dapatkah kita bertahan terus bersama

Menggapai harapan

Fajar yang kan datang

Bertahanlah kasih

Tuk selalu mencinta

Saat cinta hampa

Tak lagi berkata

Dapatkah kita bertahan terus bersama

Menggapai harapan

Fajar yang kan datang

Bertahanlah kasih

Tuk selalu mencinta

Saat cinta hampa

Tak lagi berkata

Dapatkah kita bertahan terus bersama

Menggapai harapan

Fajar yang kan datang

Bertahanlah kasih

Tuk selalu mencinta

Bertahanlah kasih

Tuk selalu mencinta (Agatha Suci-Saat Cinta Hampa).

**     

"Sel tumor aktif...di sini." Calvin menunjuk titik tertentu di lembaran hasil copy scenen itu.

Mata Silvi melebar ketakutan. Ia takut, sungguh takut. Itulah penyebab adanya darah yang ia lihat saat dinner dengan Calvin tempo hari. Ironis, sungguh ironis.

"Calvin, kamu harus sembuh. Aku tak ingin kehilanganmu...kamu masih punya banyak orang yang menyayangimu. Papamu, Adica, Clara, dan...aku."

Perlahan diletakkannya lembaran kertas pembawa vonis itu. Silvi benar. Ia harus sembuh. Masih banyak orang yang mencintai dan membutuhkan dirinya.

"Silvi, jangan terlalu khawatir. Aku akan baik-baik saja." Calvin berkata lembut. Membelai kedua tangan gadis itu, lalu menggenggamnya hangat.

"Aku mengkhawatirkanmu, Calvin. Sangat..." desah Silvi, air mata siap berhamburan dari kedua mata birunya.

Rumah besar bergaya Mediterania itu begitu sepi. Meski ada empat jiwa dan empat raga yang tinggal di dalamnya selama beberapa jam terakhir.

"You know I love you, Calvin..."

"Masihkah kamu mencintaiku setelah mengetahui semuanya? Kakakmu ini banyak kekurangan, Silvi."

"I still love you."

Hati Silvi terasa berat saat mengatakannya. Bisa saja ia mencintai Calvin. Namun, bukankah Calvin hanya mencintai Clara?

Calvin sedang sakit. Ia membutuhkan support dari orang-orang yang mencintainya. Silvi terlalu sibuk memberikan waktu luang dan perhatiannya untuk ayah angkat Aurora itu sampai-sampai melupakan dirinya sendiri. Sakit di lambung dan kelelahannya ia abaikan. Mungkin

Mungkin Calvin tak pernah peduli padanya. Mungkin Calvin tak pernah mencintainya. Itu lain cerita. Yang penting, Silvi sudah berusaha memberikan waktu untuk orang yang spesial di hatinya.

Menghela nafas dalam dan menggigit bibirnya menahan sakit, Silvi berusaha tenang. Agar Calvin tidak perlu khawatir. Bukan hanya lambungnya yang sakit, tetapi hatinya juga.

Mencintai dalam kehampaan, itulah yang Silvi rasakan. Saat cinta terasa begitu hampa. Saat sudah tak mampu lagi berkata-kata untuk mengungkapkan cinta. Saat cinta tak tersampaikan dalam kata. Perih, itulah klimaksnya.

Sementara Calvin sibuk dengan Aurora dan artikel terbarunya: dukungan terhadap jaringan internet yang netral. Dia tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi Silvi. Yang dipahaminya, ada dua wanita yang dekat dan menempati ruang luas di hatinya: Clara dan Silvi. Calvin tak tahu dan tak pernah mau tahu. Baik Silvi maupun Clara tengah mencintai dalam kehampaan.

**    

Bicara tentang Clara, wanita Aries itu pun tengah merasakan kehampaan. Relasi cintanya dengan Adica terasa begitu hampa. Tak aada artinya. Mungkin lantaran terlalu lama tanpa kemajuan. Mungkin pula karena hadirnya orang ketiga. Hati Clara telah mencinta yang lain.

Di taman belakang, Clara dan Adica berdiri bersebelahan. Saling tatap. Jemari Clara terlepas dari rengkuhan tangan Adica.

"Adica, bagaimana jika kita akhiri saja? Aku...aku tak bisa bertahan lagi." Tetiba saja, Clara melontarkan vonis mati untuk hubungan mereka.

Adica terperangah. Begitu mendadak, begitu cepat.

"Why? Mengapa tiba-tiba kamu ingin mengakhirinya, Clara?" Adica setengah memaksa, menatap lurus-lurus mata kekasihnya.

"Aku sudah tidak tahan...aku tidak bisa lagi berpura-pura." desis Clara, menunduk menatap rumput.

"Apa yang membuatmu tak tahan?"

Clara berpaling, menghindari pandangan Adica. Raut wajahnya dingin tanpa ekspresi.

"Sudahlah. Aku merasa, tak ada gunanya lagi kita pertahankan ini semua. Bye, Adica."

Setelah berkata begitu, Clara berjalan pergi. Meninggalkan Adica dalam ketidakrelaan dan tanda tanya.

Berjalan cepat kembali ke dalam rumah, Clara menghampiri Calvin dan Silvi. Duduk di antara mereka. Ekspresi wajahnya tetaplah dingin seperti semula.

"One day one article ya?" tebak Clara, melirik laptop di samping kanannya.

"Yups. As you see." balas Calvin singkat.

"That's good. Boleh aku baca?" Clara menggeser posisi tubuhnya, lebih dekat pada Calvin.

Kini bukan bibir yang digigit Silvi. Tapi bagian dalam pipinya. Sakit, sungguh sakit melihat Clara berdekatan dengan Calvin. Pria tampan itu pun tak keberatan atau jengah dengan adanya Clara di sampingnya. Mereka duduk begitu dekat, begitu dekat, begitu dekat. Berkali-kali, dalam gerakan impulsif yang cantik, Clara dan Calvin berpegangan tangan. Elegan sekali, seolah tak sengaja. Namun ada kesan yang terlihat jelas di baliknya.

Silvi menahan air matanya. Sementara sakit di lambungnya makin terasa. Wajah cantiknya memucat, hampir sama pucatnya dengan wajah Calvin. Sakit di lambungnya belum apa-apa dibandingkan sakit di hatinya.

Gadis itu menundukkan wajah, berdoa dalam hati. Minta dikuatkan Illahi. Perlahan ia beranjak bangkit. Calvin dan Clara terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kepergian seorang gadis kesepian pasti akan luput dari perhatian. Baiklah, saatnya pergi.

Melangkah pelan mengitari rumah besar itu menuju pintu depan, air mata Silvi berjatuhan. Calvin benar-benar tidak bisa memahami. Sudah jelas. Pria itu tak pernah tulus padanya, tak pernah menganggap keberadaan dirinya, tak pernah menginginkan kehadirannya. Air mata Silvi jatuh lagi. Membasahi pipinya, mengalir ke wajahnya. Silvi yang cantik hanya mampu mengeluarkan air matanya sendirian.

Tinggal beberapa meter lagi dari pintu utama. Tangan Silvi terulur. Siap membuka pintu besar berpernis mengilap itu. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, sampai akhirnya terdengar derap langkah berlari di belakangnya.

**      

Manakala hati menggeliat mengusik renungan

Mengulang kenangan

Saat cinta menemui cinta

Suara sang malam dan siang seakan berlaku

Dapat aku dengar

Rindumu memanggil namaku

Saat aku tak lagi di sisimu

Kutunggu kau di keabadian

Aku tak pernah pergi

Selalu ada di dalam hatimu

Kau tak pernah jauh

Selalu ada di dalam hatiku

Sukmaku berteriak

Menegaskan ku cinta padamu (Bunga Citra Lestari-Cinta Sejati).

**    

"Silvi...tunggu! Aku baru saja mau bilang padamu, kalau aku..."

Calvin menangkap pergelangan tangannya. Memutar lembut tubuh gadis itu menghadap ke arahnya, menatap mata birunya lekat.

"Kamu mau bilang apa, Calvin?" tanya Silvi, senang bercampur ragu. Tak menyangka Calvin akan mengejarnya dan berniat mengatakan sesuatu.

"Aku akan berusaha menjodohkanmu dengan teman baikku. Kamu kenal juga kok. Dia seorang pengusaha sukses yang cukup baik. Well...kamu masih ingat...Mas Cinta? Kamu tertarik?"

Silvi terperangah. Ia ingat pria itu. Pria pilihan Calvin. Umurnya hampir sama dengan Calvin. Namun sifat mereka sangat jauh berbeda.

Sewaktu jalan-jalan di Orchard Road, Silvi sempat bertanya sesuatu tentang perjodohan dan cinta yang tepat. Dia ingin tahu seberapa tulus Calvin Wan. Sengaja dimintanya Calvin membuktikannya dengan memperkenalkan Silvi pada orang yang bisa membuatnya jatuh hati dan melupakan kepedihan cintanya di masa lalu. Calvin bersedia memenuhi permintaan Silvi jika dirinya menemukan orang yang tepat.

"Mas Cinta?" ulang Silvi tak percaya.

"Iya. Kamu ingat kan? Dia cukup baik. Kalau tertarik, aku akan usaha. Tapi aku tidak janji." ujar Calvin lembut.

Lagi-lagi Silvi menggigiti bagian dalam pipinya. Menatap Calvin sendu, wajahnya sedikit tertunduk. Terkadang, sekali saja, sebentar saja, Silvi ingin memikirkan dirinya sendiri. Memperhatikan dirinya sendiri sebelum memperhatikan orang lain. Terdengar jahat dan egois sekali, namun Silvi ingin merasakan manisnya dicintai seperti gadis-gadis normal lainnya.

Kesedihan menyeruak tanpa permisi. Sedih yang tak terkatakan. Calvin tidak pernah mendengar suara hati Silvi. Selalu ada nama Calvin dalam rindu yang mencabik jiwa. Sungguh, Calvin tak pernah tahu betapa jiwa Silvi berteriak menegaskan perasaan cintanya pada Calvin. Calvin Wan, si penyembuh luka hati. Kini hati Silvi justru jatuh padanya. Sayang sekali, Calvin tidak pernah tahu. Atau tidak mau tahu.

"Aku tertarik, Calvin. Silakan saja berusaha. Aku tak butuh janji."

Pedih hati Silvi saat mengatakannya. Mana mungkin ia mengatakan yang sesungguhnya? Ia sama sekali tak tertarik pada pria pilihan Calvin itu. Satu-satunya pria yang benar-benar dekat dan mau mengerti dirinya hanyalah Calvin. Calvinlah pria yang dekat secara emosional dan sesuai rasnya dengan hati Silvi. Pria tampan dan konsisten yang mau direpotkan untuk menolongnya, mau menyesuaikan pola komunikasi dengannya via surat elektronik, dan mau berusaha memahaminya. Sayang sekali, Calvin sepertinya tak sejalan dengan isi hati Silvi.

Silvi yang cantik dan kesepian, akan tetap kesepian dan tak pernah dicintai sebagai wanita untuk pria. Sampai kapan pun, Calvin takkan pernah mengerti. Calvin terlalu sibuk dengan Clara, Aurora, dan usahanya untuk menyatukan Silvi dengan pria lain. Sudah jelas, Silvi tak pantas untuk Calvin. Mungkin saja Calvin terlalu sempurna dan terlalu baik untuk Silvi. Wajar bila pria oriental itu mencintai wanita yang jauh lebih baik. Pastinya, wanita itu bukan Silvi Mauriska. Gloomy.

**     

Paris van Java, 15 Desember 2017

Tulisan cantik dari keresahan hati Young Lady.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=99AGTFIkJWE

https://www.youtube.com/watch?v=Bgt9g1q-xj0

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun