Silvi tenggelam dalam kenangan. Menatap Clara di sampingnya. Biar bagaimana pun, pengalaman masa kecil Clara dan Calvin hampir sama. Mereka punya kesamaan masa lalu. Clara yang tertutup itu, enggan membahas masa lalunya di depan semua orang. Termasuk keluarganya sendiri.
"Kamu mirip Calvin..." desah Silvi.
Clara mengangkat satu alisnya. "Aku? Mirip Calvin? Why?"
Silvi tak menjawab. Enggan membahas topik masa lalu yang membuat Clara marah. Ia ingin menjaga perasaan wanita Aries itu.
Sisa perjalanan itu terlewati dalam hening. Clara berkonsentrasi pada ruas-ruas jalan yang dilewatinya. Pikiran Silvi bercabang ke arah Riza. Bukannya menyesal menolak tawaran Ta'arufnya, melainkan tak habis pikir dengan sikapnya. Riza yang tampan, kaya-raya, dan saleh, ternyata menyimpan bibit culas.
** Â Â Â
"Aku mengkhawatirkanmu, Silvi. Sekarang aku sudah tak bisa lagi di sisimu selama 24 jam. Tak seperti dua tahun lalu..." Clara lembut mengingatkan.
Silvi menggigit bibirnya masygul. Lalu mengapa? Toh ia bisa menjaga diri sendiri. Ia tak butuh diperhatikan lagi. Biar saja dia hidup sendiri. Jauh lebih enak begini. Mungkin hidupnya lebih tenang, meski berbalut sepi.
"Andai saja aku bisa menjagamu lagi...menemanimu kemana pun kamu pergi...aku takkan sekhawatir ini, Sayang." desah Clara.
Di kantor, Clara tegas dan berwibawa. Di Biro Psikologi, ia profesional. Di kalangan teman-temannya, ia galak. Namun di antara orang-orang yang dicintainya, Clara begitu sabar dan halus.
"Kamu hati-hati ya, Princess. Ok fine, Calvin itu baik. Tapi...dia sakit, Silvi. Dia takkan bisa menjagamu." Clara melanjutkan, nada suaranya kian lembut.