Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Psikolove, Akhirnya Ku Menemukanmu (8)

7 Desember 2017   05:57 Diperbarui: 7 Desember 2017   05:58 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terserah kamu," jawab Silvi datar.

Sesaat Clara menghentikan mobilnya di tepi jalan. Mengambil iPhonenya, lalu berkutat dengan ponsel pintar berlogo apel tergigit itu.

"Arion atau Kelapa Gading?" tanya Clara tetiba.

Silvi menahan napas. Persis sama, benar-benar sama seperti pertanyaan Calvin padanya tempo hari. Dialog ringan ini layaknya deja vu.

"Kelapa Gading," Silvi menyahut tenang.

Clara mengangguk, lalu melajukan kembali Yarrisnya. Tubuh Silvi serasa membeku. Mengapa Clara dan Calvin begitu mirip? Cara bicaranya, sikapnya, cara menyetirnya, senyumnya, dan tatapan matanya. Menatap wajah Clara membuat Silvi teringat pria pujaan hatinya. Tiap kali melihat Clara, yang diingatnya justru Calvin.

Ada aura Calvin Wan dalam diri Clara. Mereka berdua punya banyak kesamaan. Sama-sama dingin, tegar, tertutup, dan cerdas. Pengalaman masa kecil mereka pun hampir sama. Silvi masih ingat, betapa cantiknya Clara waktu kecil. Di masa dewasanya pun Clara masih cantik. Hanya saja, Clara kecil dan Clara dewasa jauh berbeda. Clara di masa kecilnya adalah gadis cantik berambut panjang dengan kulit putih, paras oriental, dan penampilan anggun. Sama seperti Silvi, Clara kecil dan Clara remaja senang memakai dress. Sejak kecil, ia sudah menekuni dunia modeling. Ikut fashion show dimana-mana, membawakan busana dari beberapa brand lokal, dan berbagai kegiatan modeling lainnya dia ikuti. Hanya saja, ada yang mengganggunya waktu itu. Banyak orang suka memberinya julukan aneh padanya. Clara selalu dipanggil "China" tiap kali berpapasan dengan banyak orang dalam perjalanan menuju sekolahnya. Di sekolahnya pun begitu. Entah mengapa. Padahal tak ada darah Tionghoa sama sekali dalam diri Clara. Ia justru berdarah Sunda-Inggris. Namun gen Kaukasoid dari almarhumah nenek buyutnya tidak menurun padanya. Silvilah yang mendapatkannya. Wajah dan penampilan Chinesse, salah siapa?

Clara tidak salah. Orang-orang hanya salah duga. Di sisi lain, sahabat-sahabat dekatnya memuji kecantikannya. Amoy, begitu kata pemuda Tionghoa yang bersahabat dekat dengannya sewaktu Clara beranjak remaja. Mengarah pada arti gadis belia, bukan bermaksud negatif. Clara pun tersenyum rileks saja dijuluki begitu.

Lama-kelamaan ia tak tahan juga di-bully banyak orang. Dipanggil-panggil seperti itu tiap kali ia lewat. Pernah suatu kali Clara meneriaki mereka.

"Jangan panggil aku China!"

Masalah rasisme terlanjur mengakar kuat. Setahun kemudian, Clara berhenti menjadi model. Ia mengubah total penampilannya. Rambutnya tak lagi. Kini rambutnya menjadi pendek dan ia tak mau memanjangkannya lagi. Gaya berpakaiannya pun berubah. Clara membuang gaun-gaunnya. Terlanjur kesal hatinya dipanggil dengan sebutan itu. Pengalaman dan masa lalu Clara, hanya Silvi yang paling tahu. Jangan pernah ungkit masalah itu di depan Clara. Ia takkan pernah menyukainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun