"Kuharap darah ini tidak mengalir lagi di tanganmu."
Clara mengecup tangan Calvin. Matanya memerah, habis menangis. Sisa air mata membekas di wajahnya yang cantik.
Sedetik kemudian, Calvin menggenggam tangan Clara. Membelainya lembut. Mata teduhnya menatapi mata bening wanita itu.
"Clara, terima kasih. Terima kasih sudah menyelamatkanku." bisik Calvin.
"Sama-sama." Clara tersenyum kecil, menarik kursi ke dekat tempat tidur. Lalu mengenyakkan tubuh di atasnya.
"Aku kaget sekali ketika melihatmu mencoba bunuh diri. Darah berceceran dimana-mana...pisau di tanganmu... dan rona pucat di wajahmu. Aku khawatir padamu, Calvin. Sungguh."
Hening sesaat. Paviliun rumah sakit dengan fasilitas lengkap dan mewah itu diliputi keheningan berbalut cinta. Cinta yang sesungguhnya terlarang. Asmara terlarang antara psikolog dan kliennya. Mengapa terlarang? Sesungguhnya sang psikolog cantik sudah ada yang punya.
"Kamu mengkhawatirkanku?" ulang Calvin setengah tak percaya.
"Iya. Aku takut nyawamu tak tertolong. Aku takut sudah terlambat menyelamatkanmu."
Ada yang mengkhawatirkannya. Ada yang peduli padanya. Hati Calvin trenyuh.
"Clara, boleh aku minta tolong padamu?" tanya Calvin.