Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Pengganti, Pembuka Hati (17)

25 November 2017   05:53 Diperbarui: 25 November 2017   06:07 3238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersamamu kulewati

Lebih dari seribu malam

Bersamamu yang kumau

Namun kenyataannya tak sejalan

Tuhan bila masih ku diberi kesempatan

Izinkan aku untuk mencintainya

Namun bila waktuku telah habis dengannya

Biar cinta hidup sekali ini saja

Bersamamu kulewati

Lebih dari seribu malam

Bersamamu yang kumau

Namun kenyataannya tak sejalan

Tuhan bila masih ku diberi kesempatan

Izinkan aku untuk mencintainya

Namun bila waktuku telah habis dengannya

Biar cinta hidup sekali ini saja

Tak sanggup bila harus jujur

Hidup tanpa hembusan nafasnya

Tuhan bila waktu dapat kuputar kembali

Sekali lagi untuk mencintainya

Namun bila waktuku telah habis dengannya

Biarkan cinta ini

Biarkan cinta ini

Hidup untuk sekali ini saja (Glenn Fredly-Sekali Ini Saja).

**     

"Sudah siap, Young Lady?"

Silvi tersenyum. Mengangkat sedikit ekor gaunnya. Putih, warna favoritnya. Busana yang ia kenakan dan peragakan hari ini. Di mata Silvi, putih adalah warna terindah. Putih lambang kesucian, lambang kemurnian. Kertas putih masih terlihat begitu polos dan asli tanpa coretan atau guratan warna lain. Pakaian putih selalu nampak bersih dan enak dipandang mata. Kulit putih membuat seseorang lebih rupawan.

Halaman belakang butik telah dimodifikasi. Meja-meja bertaplak putih dengan empat kursi putih di sekelilingnya berjajar rapi. Di atas meja, terdapat vas kaca kecil berisi bunga lily putih. Lily, bunga kesukaan Silvi. Terhampar karpet merah bertaburan kuntum-kuntum mawar putih. Pepohonan hijau yang meneduhi halaman telah ditempeli serbuk putih dan kristal es imitasi. Sebuah areal luas di tengah halaman sengaja dikosongkan untuk dance floor. Areal kosong ini ditutupi tenda berwarna ungu pucat. Setting pernikahan out door yang memukau sekaligus tak biasa.

Sempurna, pikir Silvi. Terpesona memandangi dekorasi itu. Sampai-sampai ia lupa pada beratnya gaun pengantin yang ia pakai. Gaun ini terbuat dari satin bridal. Beratnya luar biasa. Hampir sama beratnya dengan karpet.

Mengeluh? Kalau urusan modeling, Silvi takkan pernah mengeluh. Ini bagian dari pekerjaan yang paling disukainya. Selain menulis dan menyanyi tentunya.

Gaun pengantin dari satin bridal ini belum seberapa. Sepatu cantik berhak tinggi yang melekat di kedua kakinya membuat siapa pun yang belum terbiasa takkan tahan memakainya lama-lama. Silvi sudah terbiasa. High heels dengan variasi ketinggian yang berbeda-beda, bukan barang baru bagi model cantik blasteran Sunda-Inggris itu.

Ini bukan pemotretan biasa. Lebih tepat disebut pembuatan video promosi. Tujuannya mempromosikan busana pengantin karya seorang desainer ternama. Kebetulan desainer itu telah lama bekerjasama dengan Silvi dan Calvin. Sang desainer menginginkan Silvi dan Calvin sebagai modelnya.

Pada akhirnya, Calvin dan Silvi menerima tawaran itu. Dan...di sinilah kini mereka berada. Halaman butik yang diperindah dengan bunga-bunga putih. Sepasang suami-istri yang sama-sama menekuni dunia modeling. Akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya, terlibat dalam project pemotretan yang sama. Berpasangan membawakan busana pengantin yang sangat indah karya desainer ternama.

"Tak sabar ingin menjalani pemotretan ini denganmu, My Lovely Silvi." ujar Calvin lembut.

"Iya. Calvin Sayang, sebaiknya simpan dulu tabmu itu. Sebentar lagi kita mulai." Silvi mengingatkan.

Calvin tersenyum kecil. Sadar masih tergenggam iPad di tangannya. Ia baru saja menayangkan artikel di media citizen journalism kesayangannya. Sebelum pemotretan, posting dulu. One day one article yes, modeling yes. Tak ingin menulis yang berat-berat, hari ini Calvin cukup menulis artikel tentang "Frugal Inovation". Calvin Wan, model sekaligus blogger super tampan yang sangat produktif.

Sejurus kemudian Calvin menuntun Silvi ke dance floor. Menautkan tangan ke pinggang istrinya, membimbing Silvi dalam gerakan slow dance yang memikat.

Kaki melangkah ke kanan ke kiri, lembut dan memikat gerakan mereka. Bridal dress Silvi dan tuxedo hitam Calvin membuat mereka layaknya sepasang mempelai yang sedang melakukan first dance. Calvin membimbing Silvi dalam gerakan dansa yang sempurna. Menatap wajah wanitanya yang kian memikat. Hatinya begitu dalam jatuh dan mencinta. Ya Allah, sampai kapankah ia bisa bersama Silvi? Apakah waktunya akan segera habis? Bila waktunya telah habis, izinkan sekali saja untuk mencintai wanita cantik ini.

Berdansa dengan Calvin tak memperbaiki suasana hati Silvi. Seminggu berlalu sejak Calvin kembali. Komunikasi terjalin intens, cinta mengalir hangat, kasih sayang dan rindu terwujud dalam hangatnya cinta. Syahrena telah kembali ke rumah. Semuanya seakan telah sempurna. Namun, Silvi tetap merasakan kehampaan. Merasakan hubungannya dengan Calvin mulai hambar.

Hambar? Kata itu bagai anomali. Hambar tentunya berbeda dengan jenuh. Mungkin rasa ini timbul karena Silvi masih memendam kecewa terhadap Calvin. Suami super tampannya itu merahasiakan sesuatu darinya. Tentang darah, rasa sakit, dan pancaran kesakitan. Silvi sama sekali tak tahu apa yang telah menimpa suaminya.

Sementara ini, mereka menari tanpa musik. Calvin mengeratkan pelukannya di pinggang Silvi. Dua tubuh proporsional itu merapat, merapat dalam gerakan slow dance nan memikat. Calvin yang tinggi semampai bersanding dengan Silvi yang cantik dan langsing. Calvin dan Silvi memang pasangan serasi.

"Kamu cantik, Silvi. Cantik dan baik." puji Calvin tulus.

Melangkah beriringan dalam gerakan anggun, Silvi bertatapan dengan suami super tampannya. Sepasang mata biru bertemu sepasang mata sipit. Oriental bertemu Mongoloid-Kaukasoid. Tionghoa bertemu Sunda-Inggris. Ketampanan bertemu kecantikan. Kelembutan bertemu ketulusan. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas bertemu wangi Escada The Moon Sparkel. Calvin Wan bertemu Silvi Mauriska.

Hati mereka berdesir. Tetapi, mengapa masih saja terasa hampa bagi Silvi? Seharusnya dia bahagia. Bahagia ini tertutupi dengan perasaan dan persepsi bahwa hubungannya dan Calvin terasa hambar. Bukan karena komunikasi yang terlalu intens, cinta yang mengalir terlalu hangat, tapi karena rasa kecewa yang dipendam. Kecewa atas apa yang telah dilakukan Calvin.

"Kamu masih marah denganku?" tanya Calvin, seolah bisa membaca pikirannya.

Silvi tergeragap. Menggigit bagian dalam pipinya. Calvin membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Silvi. "Tidak apa-apa. Katakan saja. Kamu terlihat gelisah, tak bergairah, dan marah padaku. Aku memang salah. Tidak apa-apa, Silvi. Sungguh...tidak apa-apa."

"Calvin, maaf. Seharusnya akulah yang menghiburmu. Aku tahu, kamu masih terpukul gegara kasus nikah siri yang dilakukan Papa Halim." Silvi meminta maaf.

"Sudahlah, santai saja. Ini belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang kamu alami selama ini. Bagaimana Mama-Papamu?"

"Mereka? Yah...begitulah. Papaku melakukan kesalahan yang sama berulang kali. Membuatku muak. Tapi aku tak ingin memikirkannya."

Ya, Silvi sudah berhenti memikirkannya. Keluarga Silvi tak lebih baik dari keluarga Calvin. Keadaan mereka hampir sama. Kini yang ada di pikirannya hanyalah perasaan hambar dan hampa itu. Hambar yang berpadu dengan rasa kecewa mendalam pada Calvin. Calvin yang tertutup, misterius, sulit ditebak, suka berahasia, dan lone wulf. 

Mengapa perasaannya sehampa ini? Jika dekat serasa hambar, jika jauh terasa rindu. Silvi pun bingung dengan perasaannya sendiri. Mengambil jarak dengan Calvin dan sengaja tidak berkomunikasi dengannya malah membuat hatinya diserang virus rindu tingkat akut. Akan tetapi bila telah dekat dan menjalin komunikasi, batinnya malah dirasuki perasaan hambar, hampa, bercampur kecewa. Meski hatinya diliputi kesuraman dan kehampaan, rasa cinta Silvi untuk Calvin tak luntur. Silvi masih mencintai Calvin.

Para pemeran pembantu berdatangan. Mereka mengenakan gaun-gaun mewah dan riasan make up natural. Seorang pria berjas hitam mewah yang akan berperan sebagai wali dari mempelai wanita telah tiba. Refleks Calvin melepaskan pelukannya. Menuntun Silvi kembali ke karpet merah.

"Sudah hampir mulai, Love."

Silvi mengangguk kaku. Berdiri membeku saat Calvin meninggalkannya.

"Camera rolling...action."

Pria berjas hitam mewah itu menggandeng lengan Silvi melintasi virgin road. Hati wanita langsing itu berdebar. Bukan karena pria yang berperan sebagai walinya itu, melainkan karena pria tampan lain yang telah menanti di ujung sana. Silvi beradu pandang dengan pria rupawan di ujung sana. Debaran di hatinya makin cepat. Ia menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Sehambar apa pun perasaan Silvi pada Calvin, tetap saja hatinya meleleh. Meleleh karena pesona Calvin.

Alunan piano terdengar. Langkah demi langkah mereka makin dekat ke altar. Pria pemeran ayah itu mengangguk penuh pengertian, tersenyum kebapakan. Ah, andai saja Silvi benar-benar memiliki ayah sebaik itu. Sejak kecil hingga dewasa, Silvi tak punya figur ayah yang baik. Papanya pilih kasih. Hanya cinta kakak-kakaknya. Silvi yang tak sempurna dan dibekali mata hati itu, sama sekali tak merasakan kasih sayang Papanya. Ia bahkan lebih dekat dengan mantan kekasih Mamanya dibandingkan dengan Papanya sendiri.

Sudahlah. Tak perlu mengingatnya lagi. Mengingat-ingat kenangan buruk di masa lalu hanya akan membuat hatinya pedih. Toh sekarang ini Silvi punya Calvin. Calvin yang tampan, konsisten, tulus, penyabar, dan setia. Sayangnya, Calvin membuat perasaannya hambar kali ini.

Selangkah demi selangkah, Silvi mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Dua gadis kecil bergaun putih dan dua anak lelaki berjas putih menaburkan kuntum-kuntum mawar di sepanjang virgin road. Mars pernikahan mengalun merdu. Seorang wanita bergaun hijau toska yang berperan sebagai ibu mempelai wanita mengusap air mata palsu dengan tissue. Air mata palsu itu sebenarnya obat tetes mata biasa. Pria yang berperan sebagai bestman, Silvi mengenalinya. Tak lain Elby, salah satu sahabat Calvin. Ia juga seorang model. Beberapa tahun lalu, Silvi pernah menjalani pemotretan bersamanya.

Di ujung sana, Calvin berdiri tenang. Sangat terbiasa berada di depan kamera. Tangannya terulur hendak meraih tangan Silvi. Matanya memancarkan secara tersirat, mengatakan tanpa kata lewat tatapan mata. Meminta sang 'ayah' mengikhlaskan 'putri cantiknya' ke tangan Calvin Wan.

Gugup mengaliri hati Silvi saat menerima uluran tangan Calvin. Tangannya gemetar. Kenangan pernikahannya dengan Calvin bertahun-tahun silam kembali muncul ke permukaan. Detailnya sama sekali tidak mirip dengan video pernikahan ini, namun kesan di hatinya sama. Seakan baru terjadi kemarin. Pernikahan, sebuah momen sakral yang menyatukan dua jiwa.

Dengan lembut, Calvin menuntun Silvi. Layaknya menuntun seorang putri cantik bersepatu kaca ke altar. Di altar, telah berdiri seorang pria yang berperan sebagai pendeta. Bibir si pemeran pendeta menggumamkan ikrar suci pernikahan. Menikahkan sepasang mempelai itu.

Desiran di hati Silvi bertambah kuat. Calvin nampak tenang, walau tak ada yang benar-benar tahu bagaimana perasaannya. Kini mereka berdiri berdampingan. Cantiknya Silvi bersanding dengan pria setampan Calvin.

Para pemeran pembantu tak dapat menahan pujian mereka. Calvin dan Silvi memang pasangan serasi. Silvi yang cantik, Calvin yang tampan. Ironisnya, di balik kecantikan dan ketampanan mereka, masih tersimpan berjuta rahasia. Berjuta rasa yang menjadikan hubungan keduanya begitu hambar. Kecewa dan pedih menodai indahnya cinta mereka. Di balik cantiknya Silvi dan senyum menawan Calvin, terbentang sebuah realita.

 Realita bahwa waktu yang dimiliki seorang penderita kanker ginjal seperti Calvin takkan punya waktu lama. Umurnya mungkin tinggal sebentar lagi. Sisa waktu itu digunakan Calvin untuk mencintai Silvi. Membahagiakannya, mencintainya, dan mencarikannya mata pengganti. Calvin hanya ingin diberi kesempatan lebih lama lagi untuk mencintai Silvi.

Setujukah bahwa Calvin dan Silvi pasangan yang serasi?

**    


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun