Pria berjas hitam mewah itu menggandeng lengan Silvi melintasi virgin road. Hati wanita langsing itu berdebar. Bukan karena pria yang berperan sebagai walinya itu, melainkan karena pria tampan lain yang telah menanti di ujung sana. Silvi beradu pandang dengan pria rupawan di ujung sana. Debaran di hatinya makin cepat. Ia menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Sehambar apa pun perasaan Silvi pada Calvin, tetap saja hatinya meleleh. Meleleh karena pesona Calvin.
Alunan piano terdengar. Langkah demi langkah mereka makin dekat ke altar. Pria pemeran ayah itu mengangguk penuh pengertian, tersenyum kebapakan. Ah, andai saja Silvi benar-benar memiliki ayah sebaik itu. Sejak kecil hingga dewasa, Silvi tak punya figur ayah yang baik. Papanya pilih kasih. Hanya cinta kakak-kakaknya. Silvi yang tak sempurna dan dibekali mata hati itu, sama sekali tak merasakan kasih sayang Papanya. Ia bahkan lebih dekat dengan mantan kekasih Mamanya dibandingkan dengan Papanya sendiri.
Sudahlah. Tak perlu mengingatnya lagi. Mengingat-ingat kenangan buruk di masa lalu hanya akan membuat hatinya pedih. Toh sekarang ini Silvi punya Calvin. Calvin yang tampan, konsisten, tulus, penyabar, dan setia. Sayangnya, Calvin membuat perasaannya hambar kali ini.
Selangkah demi selangkah, Silvi mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Dua gadis kecil bergaun putih dan dua anak lelaki berjas putih menaburkan kuntum-kuntum mawar di sepanjang virgin road. Mars pernikahan mengalun merdu. Seorang wanita bergaun hijau toska yang berperan sebagai ibu mempelai wanita mengusap air mata palsu dengan tissue. Air mata palsu itu sebenarnya obat tetes mata biasa. Pria yang berperan sebagai bestman, Silvi mengenalinya. Tak lain Elby, salah satu sahabat Calvin. Ia juga seorang model. Beberapa tahun lalu, Silvi pernah menjalani pemotretan bersamanya.
Di ujung sana, Calvin berdiri tenang. Sangat terbiasa berada di depan kamera. Tangannya terulur hendak meraih tangan Silvi. Matanya memancarkan secara tersirat, mengatakan tanpa kata lewat tatapan mata. Meminta sang 'ayah' mengikhlaskan 'putri cantiknya' ke tangan Calvin Wan.
Gugup mengaliri hati Silvi saat menerima uluran tangan Calvin. Tangannya gemetar. Kenangan pernikahannya dengan Calvin bertahun-tahun silam kembali muncul ke permukaan. Detailnya sama sekali tidak mirip dengan video pernikahan ini, namun kesan di hatinya sama. Seakan baru terjadi kemarin. Pernikahan, sebuah momen sakral yang menyatukan dua jiwa.
Dengan lembut, Calvin menuntun Silvi. Layaknya menuntun seorang putri cantik bersepatu kaca ke altar. Di altar, telah berdiri seorang pria yang berperan sebagai pendeta. Bibir si pemeran pendeta menggumamkan ikrar suci pernikahan. Menikahkan sepasang mempelai itu.
Desiran di hati Silvi bertambah kuat. Calvin nampak tenang, walau tak ada yang benar-benar tahu bagaimana perasaannya. Kini mereka berdiri berdampingan. Cantiknya Silvi bersanding dengan pria setampan Calvin.
Para pemeran pembantu tak dapat menahan pujian mereka. Calvin dan Silvi memang pasangan serasi. Silvi yang cantik, Calvin yang tampan. Ironisnya, di balik kecantikan dan ketampanan mereka, masih tersimpan berjuta rahasia. Berjuta rasa yang menjadikan hubungan keduanya begitu hambar. Kecewa dan pedih menodai indahnya cinta mereka. Di balik cantiknya Silvi dan senyum menawan Calvin, terbentang sebuah realita.
 Realita bahwa waktu yang dimiliki seorang penderita kanker ginjal seperti Calvin takkan punya waktu lama. Umurnya mungkin tinggal sebentar lagi. Sisa waktu itu digunakan Calvin untuk mencintai Silvi. Membahagiakannya, mencintainya, dan mencarikannya mata pengganti. Calvin hanya ingin diberi kesempatan lebih lama lagi untuk mencintai Silvi.
Setujukah bahwa Calvin dan Silvi pasangan yang serasi?