Kondisi Calvin kritis. Sejak saat itulah ia menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Tim dokter terbaik, peralatan medis tercanggih, dan berbagai langkah medis tak mampu membantu Calvin melewati masa kritisnya. Membawanya ke luar negeri untuk menjalani pengobatan pun tak mungkin.
Tuan Halim pasrah dan berserah diri. Meski hatinya hancur, meski jiwanya pedih tak terkira membayangkan kehilangan besar yang akan dialaminya bila putra tunggalnya pergi menyusul istrinya. Maka, Tuan Halim menyiapkan diri. Menguatkan hati. Menata jiwa, membangun ketegaran. Mempersiapkan apa pun permintaan terakhir Calvin.
Bila Tuan Halim sudah pasrah, Calisa justru masih menyimpan harapan. Ia berharap Calvin akan sembuh. Selama menemani dan merawat Calvin, ia melakukan banyak perenungan. Memperbaiki diri, memeriksa kedalaman hatinya. Benarkah ia benar-benar mencintai Calvin Wan seutuhnya? Bukan mencintainya sebagai Arif Albert? Kejam sekali bila Calisa mencintai Calvin sebagai orang lain, bukan sebagai dirinya sendiri.
Perenungan itu membawa Calisa pada titik nadir dalam hidupnya: cinta. Cinta yang sebenar-benarnya. Ya, Calisa mencintai Calvin Wan seutuhnya. Ia tak lagi mencintai Calvin sebagai Albert. Ia telah mampu menerima dan mencintai diri Calvin setulus-tulusnya.
Sampai akhirnya, di sinilah kini dia berdiri. Di ruang ICU dengan elektrokardiograf yang terus berpacu pelan. Peralatan kedokteran lainnya hadir sebagai alat penunjang kehidupan. Berjam-jam lamanya Calisa di sini. Berkeras mendampingi Calvin, apa pun yang terjadi. Dia menolak dengan halus saat Tuan Halim ingin menggantikannya.
Calisa bertekad menjadi seseorang yang selalu ada di sisi Calvin. Bahkan bila kemungkinan terburuk itu terjadi, Calisa ingin menjadi orang pertama dan terakhir yang dilihat Calvin sebelum ia menutup mata untuk selamanya. Tekad Calisa teramat kuat.
"Calvin...kuharap aku belum terlambat. Masih bisakah aku mencintaimu?" Calisa terisak. Menggenggam tangan Calvin. Betapa dingin tangan itu, betapa rapuh jemarinya.
Calvin menatap Calisa lembut. Ada pancaran keikhlasan di sana. Keikhlasan yang berpadu dengan kelembutan. Detik berikutnya, Calisa tersadar. Dalam kondisi sakit sekali pun, Calvin tetaplah tampan. Seraut wajah pucat itu tak berkurang ketampanannya.
"Aku ikhlas," lirih Calvin.
"Aku terima keadaanku. Mungkin kamu ingin mencintaiku sebagai Arif Albert, bukan sebagai Calvin Wan. Mungkin aku hanya kamu anggap sebagai pengganti Albert. Apa pun itu, aku ikhlas asalkan membuatmu bahagia."
Air mata Calisa berjatuhan. "Tidak Calvin, tidak. Percayalah, aku sudah melakukan banyak perenungan selama beberapa bulan terakhir. Kini aku sadar. Aku menyayangimu seutuhnya, aku mencintaimu sepenuh hatiku. Aku cinta Calvin Wan."