Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

[Bukan Blog Competition] 9 Tahun Kompasiana, Menulis dengan Cantik dan Tebar Pesona

26 Oktober 2017   06:24 Diperbarui: 26 Oktober 2017   08:14 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan

Mata Pengganti, Pembuka Hati (9) https://www.kompasiana.com/latifahmaurintawigati/59ed278e48693230485d2732/mata-pengganti-pembuka-hati-9

Intinya, saya mendapatkan kesan yang sangat indah di Kompasianival 2017. Walau saya hanya melewatkan acara itu bersama satu Kompasianer.

Kompasianer, tahukah kalian jika saya menuliskan bagian ini ditemani lagu Nostalgia dari Calvin Jeremy? Sambil menuliskan tentang Kompasianival dan Kompasianer yang menemani saya selama beberapa bulan terakhir, saya menikmati alunan suara merdu Calvin Jeremy dalam single terbarunya. Nah, bicara soal lagu, unsur satu itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tulisan-tulisan saya. Saya terbiasa menulis dengan cantik sambil menyelipkan unsur musikal di dalamnya. Lagu seakan telah menjadi nafas dalam tulisan-tulisan saya. Oksigen yang membuat tulisan saya menjadi hidup dan lebih indah.

Tiap kali menulis fiksi, saya coba tambahkan link video musiknya. Semua itu bukannya tanpa alasan. Saya melakukan itu semata agar Kompasianer yang membaca tulisan saya ikut mendengarkan lagu-lagu yang ada di tulisan itu. Saya tak hanya berbagi lirik lagunya, tapi berbagi keindahan lagu itu sendiri. Bukan hanya saya yang mendengarkan dan menikmati keindahan lagu-lagu itu, Kompasianer pun bisa ikut menikmatinya. Keindahan tak hanya dinikmati sendiri. Keindahan dapat dibagi pada orang lain. Saya akan senang bila Kompasianer ikut mendengarkan lagu yang saya tambahkan sambil membaca kisahnya.

Kisah-kisah yang saya tulis pun bukan kisah biasa. Saya terinspirasi dari kehidupan orang lain dan menuangkannya dalam tulisan yang cantik. Saya suka mendengarkan kisah hidup orang lain, terinspirasi, lalu menuliskannya dengan cantik mengikuti style saya. Tokoh-tokoh dalam kisah yang saya tulis pun terinspirasi dari tokoh nyata yang saya jumpai dalam kehidupan. Sosok-sosok yang saya anggap benar-benar inspiratif dan mengagumkan, langsung saja saya angkat dalam kisah fiksi. Namun saya selektif. Sebelum menjadikan seseorang yang inspiratif sebagai tokoh, saya check dulu track record dan kepribadiannya. Saya selidiki dulu sifatnya dengan cara yang saya miliki. Tidak hanya dalam dunia nyata saya suka menjodohkan orang, menjadi perantara bagi datangnya jodoh bagi orang lain, di dunia fiksi pun saya senang menjodohkan tokoh-tokohnya. Meski terkadang couple yang saya jodohkan terasa lucu dan aneh bila benar-benar disandingkan di dunia nyata. Misalnya tokoh Calvin Wan bersanding dengan Clara Carolina, Albert dan Renna, Chika dan Aga, Ronny dan Dinda, etc. Biasanya, mereka yang sosoknya saya jadikan tokoh fiksi akan tertawa atau protes sewaktu membaca siapa pasangan mereka dalam kisah fiksi yang saya tulis. Penyebab saya memasangkan mereka lantaran kecocokan karakter. Saya menikmatinya.

Di Kompasiana, saya menulis apa yang ingin saya tulis. Tidak peduli ada trending topic terhangat, isu politik paling hot, atau apa pun yang sedang disukai, saya menulis sesukanya saja mengikuti kata hati. Menulis dengan cantik sesuai kata hati, menurut saya anti mainstream. Saya tidak suka sesuatu yang biasa, saya ingin hal yang tidak biasa. Bahkan sering kali saya jadikan Kompasiana sebagai ajang tebar pesona. Sudah sifat bawaan saya untuk tebar pesona dan cari perhatian di luar rumah, tak terkecuali di Kompasiana. Bagaimana cara tebar pesona di Kompasiana? Caranya, menulis dengan cantik. Bukan hanya tulisannya yang cantik. Penulisnya pun harus dalam keadaan cantik saat menulis. Oh ya, itu benar. Sebelum menulis, tampil cantik, fresh, dan wangi dulu. Barulah duduk di depan laptop dan membuat tulisan cantik.

Mengingat saya berusaha menghadirkan tulisan yang cantik, tak heran bila tokoh-tokoh dalam kisah fiksi saya kebanyakan berwajah rupawan. Jarang sekali ada tokoh yang saya deskripsikan sebagai tokoh yang berwajah...maaf, jelek atau semacamnya. Kebanyakan tokoh pria begitu tampan dan charming, sementara tokoh wanita dilukiskan cantik jelita dan anggun memesona. Dan pada kenyataannya, mereka memang tampan serta cantik. Saya sangat pemilih dalam menentukan sosok nyata yang inspiratif sebagai tokoh-tokoh utama. Kalau pun ada yang tidak begitu tampan/cantik dari luar, namun mereka memiliki inner beauty. Ketampanan dan kecantikan mereka tersimpan dari dalam hati. Sekali lagi, saya sangat selektif dalam memilih karakter yang benar-benar tampan dan cantik untuk diangkat sebagai tokoh. Namun biasanya, tokoh-tokoh utama yang saya pilih kebanyakan benar-benar tampan dan cantik luar-dalam di dunia nyata. Penggambaran tokoh seperti itu merupakan bagian dari tradisi menulis dengan cantik versi Young Lady Latifah Maurinta Wigati.

Bicara soal tokoh, di Kompasiana ini saya suka membranding tokoh pria tertentu. Saya senang melakukan proses personal branding pada tokoh utama pria yang saya sukai sekaligus yang paling sering saya sakiti dalam cerita. Misalnya, sekarang ini saya sedang melakukan personal branding pada tokoh Calvin Wan. Saya membangun karakternya perlahan-lahan. Beginilah reputasi dan personal branding tokoh Calvin Wan yang saya hadirkan di panggung Kompasiana beberapa bulan terakhir: Calvin Wan, si blogger tampan berwajah oriental yang konsisten one day one article. Hot daddy. Ayah yang punya sisi lembut bagi anak perempuan. Penyendiri, introvert, senang menikmati kesepian, namun baik hati dan super tampan. Charming, brilian, sukses, dan kaya-raya. Selain pintar menulis, mahir bermain piano. Pria Desember yang konsisten, setia, sabar, dan lebih memilih menyimpan lukanya sendiri.

Makanya jangan heran ketika tokoh utama pria dalam beberapa kisah saya tidak berubah. Hal itu saya lakukan dengan sengaja. Demi personal branding dan membangun karakter yang benar-benar kuat dan menawan sebagai tokoh idola di panggung Kompasiana. Unsur fiksi musikal dan personal branding, itulah style yang coba saya bangun di Kompasiana.

Hanya saja, penyakit nakal saya belum sembuh juga. Jangan kira menulis dengan cantik tidak boleh nakal. Bahkan saya sering dibilang bandel dan keras kepala oleh kakak laki-laki saya. Ya, itu benar. Saya mau mengakui kenakalan saya sebagai Kompasianer: tidak pernah menamatkan cerita yang ditulis. Selalu saja ceritanya saya hentikan di tengah jalan atau ketika cerita hampir mendekati ending. Ketika kisah sedang seru-serunya, saya berganti ke cerita lain. Sebenarnya, ending ceritanya saya buat. Namun saya simpan sendiri. Atau jika saya mau, akan saya tunjukkan, tapi tidak ditunjukkan ke semua orang. Saya suka mempermainkan perasaan orang lain, termasuk para Kompasianer. Saya senang bermain-main dengan perasaan dan kesedihan. Salah satu cara bermain-main dengan kesedihan adalah dengan menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun