"Happy birthday to you, happy birthday to you...happy birthday, happy birthday. Happy birthday to you."
Kompasianer, ada yang berulang tahun. Siapa coba? Siapa lagi kalau bukan Kompasiana, media citizen journalism kesayangan kita semua. Kompasiana berulang tahun yang ke9. Sembilan, angka favorit saya. Angka yang cantik menurut saya. Mudah-mudahan secantik Kompasianer yang menulis artikel ini. Ups...
Bagi saya, Kompasiana tak ubahnya rumah kedua. Rumah identik dengan tempat untuk pulang. Tempat berkumpulnya orang-orang yang dicintai. Seperti itu pulalah Kompasiana di mata saya.
Ketika terbangun di pagi hari, setelah melakukan ibadah tertentu, hal pertama yang saya lakukan adalah membuka Kompasiana. Mengecek artikel dan membalas komentar terakhir yang belum sempat terbalas di hari sebelumnya. Pukul enam pagi saya jadikan waktu pilihan untuk posting. Kecuali bila situasi mendesak, saya tidak akan memposting artikel sepagi itu. Tapi selebihnya, saya tetap memilih waktu pagi untuk publish tulisan di Kompasiana.
Setiap tindakan harus disertai alasan. Alasan saya posting artikel di pagi hari karena saya menganggap waktu pagi sebagai waktu semangat dan gairah beraktivitas sedang tinggi-tingginya. Bukankah waktu pagi hari sering digunakan untuk mulai beraktivitas? So, saya menghadirkan artikel di saat semangat beraktivitas sedang berada di puncak dan pikiran masih fresh.
Well, sampai sekarang saya tidak pernah tertarik mengikuti event, blog competition, atau content afiliation di Kompasiana. Entah, mungkin ke depannya saya berubah pikiran. Yang jelas, saya pernah berjanji pada diri sendiri bahwa saya tidak akan mengikuti blog competition dan content afiliation di Kompasiana. Silakan saja saya mau dinilai idealis atau apa, I don't care. Bahkan tulisan ini tidak saya maksudkan untuk diikutkan di 9th Kompasiana. Kalau pun saya masukkan ke label 9th Kompasiana, niatnya murni sebagai tulisan cantik ucapan selamat ulang tahun untuk Kompasiana, bukan untuk blog competition. Saya pun tidak mengizinkan tulisan ini diikutkan dalam 9th Kompasiana. Lihat saja nanti. Alasannya sederhana saja: saya tidak mencari profit di Kompasiana. Tujuan saya menulis di Kompasiana semata karena hobi, melampiaskan perasaan, ajang mencari kepuasan pribadi, dan charity. Di Kompasiana, saya bisa berbagi. Berbagi apa saja yang saya suka. Entah itu lirik lagu, pengetahuan tentang dunia medis, dunia modeling, broadcasting, psikologi, hypnotherapy, nilai-nilai kehidupan, dan kisah-kisah romance. Dua rubrik yang menjadi fokus saya di Kompasiana adalah fiksi dan humaniora. Bukannya saya tak mau mengisi rubrik lain. Tapi hanya dua rubrik itulah yang paling saya sukai. Ingat, yang disukai bukan yang dikuasai. Saya tidak expert di bidang fiksi, tidak juga humaniora. Hanya sekadar membagikan pemikiran yang terlintas di hati. Bila pun tulisan saya di-highlight atau headline, itu hanya bonus. Bukan tujuan utama. Label pilihan dan headline adalah hak prerogatif admin.
Actually, saya bahagia di Kompasiana. Saya betah dan ingin tetap di sini selagi masih bisa. Banyak hal yang saya dapatkan dari Kompasiana. Ilmu yang bermanfaat, perkembangan berita terbaru, teman, keluarga, kakak, bahkan cinta. Ingat ya, cinta banyak jenisnya. Ruang lingkupnya luas. Ada cinta di Kompasiana. Saya yakin, pasti Kompasianer yang lain pernah merasakan hal yang sama.
Meski demikian, bukan berarti saya bisa senang terus di Kompasiana. Beberapa bulan lalu, ada dua kejadian yang menyebabkan saya ingin angkat kaki dari rumah kedua ini. Pertama, saya kehilangan potongan hati saya. Ada seseorang yang melarikannya dengan keterlaluan dan tak mau mengembalikannya pada saya. Intinya, pria tampan itu membawa lari potongan hati saya dengan cara yang tidak cantik dan tidak elegan. Nah lho...apa ini? Saya nulis apa sebenarnya? Ok, back to focus. Kedua, bergantinya versi Kompasiana lama ke Kompasiana baru yang tidak support dengan program screen reader yang saya pakai. Hal ini membuat saya kesulitan menggunakan Kompasiana.
Frustasi dan patah hati, saya memutuskan untuk mundur dari Kompasiana. Beruntung ada seorang Kompasianer charming dan baik hati dengan kekhasannya one day one article, meski baru sembilan bulan bergabung tapi sangat produktif, yang mengulurkan tangannya. Dengan lembut, dia memotivasi saya untuk kembali ke Kompasiana. Sampai-sampai dia menulis artikel tekno yang sangat humanis tentang screen reader. Kompasianer yang satu itu bahkan membantu saya mencarikan program screen reader yang support dengan Kompasiana versi baru. Itu menunjukkan bahwa dia benar-benar peduli dan menginginkan saya kembali. Bukan sekadar melempar kata-kata penyemangat di grup atau komentar artikel yang buat saya tak ada gunanya. Melihat apa yang dilakukannya, saya salut. Hati saya tersentuh. Terlebih dia selalu ada ketika saya terluka. Karena dialah saya bangkit dan mau kembali lagi ke Kompasiana. Hati saya melembut dan luluh karena dirinya. Bukan hanya karena usahanya, melainkan karena ketulusan dan kepeduliannya. Terus terang saja, saya lebih menghargai orang yang konsisten dan tulus dibandingkan dengan orang yang tidak konsisten dan tidak tulus. Itulah sebabnya saya sulit mempercayai orang lain. Prinsip saya, lebih baik sedikit teman tapi tulus dibandingkan banyak teman tapi tidak tulus.
Soal kepercayaan dan keterbukaan ini pun saya rasakan sendiri saat menghadiri Kompasianival 2017 di Lipo Mall, Kemang. Saya hanya bersalaman dan berkenalan singkat dengan beberapa Kompasianer di sana. Setelah itu, apa yang saya lakukan? Memfokuskan perhatian dengan satu Kompasianer saja. Menutup diri dari Kompasianer yang lain. Hanya membuka diri pada satu orang. Karena apa? Karena saya tidak suka terbuka pada banyak Kompasianer lainnya. Saya pun tidak mempercayai mereka. Cukup satu Kompasianer saja yang saya percayai di ajang Kompasianival itu. Maaf bila kejujuran saya tidak dapat diterima. Saya hanya ingin mengungkapkan pendapat dan perasaan saya. Tentang apa yang terjadi di Kompasianival 2017, saya sudah ceritakan di
Mata Pengganti, Pembuka Hati (8) https://www.kompasiana.com/latifahmaurintawigati/59ebd17a28d54e3f285ed892/mata-pengganti-pembuka-hati-8
Dan
Mata Pengganti, Pembuka Hati (9) https://www.kompasiana.com/latifahmaurintawigati/59ed278e48693230485d2732/mata-pengganti-pembuka-hati-9
Intinya, saya mendapatkan kesan yang sangat indah di Kompasianival 2017. Walau saya hanya melewatkan acara itu bersama satu Kompasianer.
Kompasianer, tahukah kalian jika saya menuliskan bagian ini ditemani lagu Nostalgia dari Calvin Jeremy? Sambil menuliskan tentang Kompasianival dan Kompasianer yang menemani saya selama beberapa bulan terakhir, saya menikmati alunan suara merdu Calvin Jeremy dalam single terbarunya. Nah, bicara soal lagu, unsur satu itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tulisan-tulisan saya. Saya terbiasa menulis dengan cantik sambil menyelipkan unsur musikal di dalamnya. Lagu seakan telah menjadi nafas dalam tulisan-tulisan saya. Oksigen yang membuat tulisan saya menjadi hidup dan lebih indah.
Tiap kali menulis fiksi, saya coba tambahkan link video musiknya. Semua itu bukannya tanpa alasan. Saya melakukan itu semata agar Kompasianer yang membaca tulisan saya ikut mendengarkan lagu-lagu yang ada di tulisan itu. Saya tak hanya berbagi lirik lagunya, tapi berbagi keindahan lagu itu sendiri. Bukan hanya saya yang mendengarkan dan menikmati keindahan lagu-lagu itu, Kompasianer pun bisa ikut menikmatinya. Keindahan tak hanya dinikmati sendiri. Keindahan dapat dibagi pada orang lain. Saya akan senang bila Kompasianer ikut mendengarkan lagu yang saya tambahkan sambil membaca kisahnya.
Kisah-kisah yang saya tulis pun bukan kisah biasa. Saya terinspirasi dari kehidupan orang lain dan menuangkannya dalam tulisan yang cantik. Saya suka mendengarkan kisah hidup orang lain, terinspirasi, lalu menuliskannya dengan cantik mengikuti style saya. Tokoh-tokoh dalam kisah yang saya tulis pun terinspirasi dari tokoh nyata yang saya jumpai dalam kehidupan. Sosok-sosok yang saya anggap benar-benar inspiratif dan mengagumkan, langsung saja saya angkat dalam kisah fiksi. Namun saya selektif. Sebelum menjadikan seseorang yang inspiratif sebagai tokoh, saya check dulu track record dan kepribadiannya. Saya selidiki dulu sifatnya dengan cara yang saya miliki. Tidak hanya dalam dunia nyata saya suka menjodohkan orang, menjadi perantara bagi datangnya jodoh bagi orang lain, di dunia fiksi pun saya senang menjodohkan tokoh-tokohnya. Meski terkadang couple yang saya jodohkan terasa lucu dan aneh bila benar-benar disandingkan di dunia nyata. Misalnya tokoh Calvin Wan bersanding dengan Clara Carolina, Albert dan Renna, Chika dan Aga, Ronny dan Dinda, etc. Biasanya, mereka yang sosoknya saya jadikan tokoh fiksi akan tertawa atau protes sewaktu membaca siapa pasangan mereka dalam kisah fiksi yang saya tulis. Penyebab saya memasangkan mereka lantaran kecocokan karakter. Saya menikmatinya.
Di Kompasiana, saya menulis apa yang ingin saya tulis. Tidak peduli ada trending topic terhangat, isu politik paling hot, atau apa pun yang sedang disukai, saya menulis sesukanya saja mengikuti kata hati. Menulis dengan cantik sesuai kata hati, menurut saya anti mainstream. Saya tidak suka sesuatu yang biasa, saya ingin hal yang tidak biasa. Bahkan sering kali saya jadikan Kompasiana sebagai ajang tebar pesona. Sudah sifat bawaan saya untuk tebar pesona dan cari perhatian di luar rumah, tak terkecuali di Kompasiana. Bagaimana cara tebar pesona di Kompasiana? Caranya, menulis dengan cantik. Bukan hanya tulisannya yang cantik. Penulisnya pun harus dalam keadaan cantik saat menulis. Oh ya, itu benar. Sebelum menulis, tampil cantik, fresh, dan wangi dulu. Barulah duduk di depan laptop dan membuat tulisan cantik.
Mengingat saya berusaha menghadirkan tulisan yang cantik, tak heran bila tokoh-tokoh dalam kisah fiksi saya kebanyakan berwajah rupawan. Jarang sekali ada tokoh yang saya deskripsikan sebagai tokoh yang berwajah...maaf, jelek atau semacamnya. Kebanyakan tokoh pria begitu tampan dan charming, sementara tokoh wanita dilukiskan cantik jelita dan anggun memesona. Dan pada kenyataannya, mereka memang tampan serta cantik. Saya sangat pemilih dalam menentukan sosok nyata yang inspiratif sebagai tokoh-tokoh utama. Kalau pun ada yang tidak begitu tampan/cantik dari luar, namun mereka memiliki inner beauty. Ketampanan dan kecantikan mereka tersimpan dari dalam hati. Sekali lagi, saya sangat selektif dalam memilih karakter yang benar-benar tampan dan cantik untuk diangkat sebagai tokoh. Namun biasanya, tokoh-tokoh utama yang saya pilih kebanyakan benar-benar tampan dan cantik luar-dalam di dunia nyata. Penggambaran tokoh seperti itu merupakan bagian dari tradisi menulis dengan cantik versi Young Lady Latifah Maurinta Wigati.
Bicara soal tokoh, di Kompasiana ini saya suka membranding tokoh pria tertentu. Saya senang melakukan proses personal branding pada tokoh utama pria yang saya sukai sekaligus yang paling sering saya sakiti dalam cerita. Misalnya, sekarang ini saya sedang melakukan personal branding pada tokoh Calvin Wan. Saya membangun karakternya perlahan-lahan. Beginilah reputasi dan personal branding tokoh Calvin Wan yang saya hadirkan di panggung Kompasiana beberapa bulan terakhir: Calvin Wan, si blogger tampan berwajah oriental yang konsisten one day one article. Hot daddy. Ayah yang punya sisi lembut bagi anak perempuan. Penyendiri, introvert, senang menikmati kesepian, namun baik hati dan super tampan. Charming, brilian, sukses, dan kaya-raya. Selain pintar menulis, mahir bermain piano. Pria Desember yang konsisten, setia, sabar, dan lebih memilih menyimpan lukanya sendiri.
Makanya jangan heran ketika tokoh utama pria dalam beberapa kisah saya tidak berubah. Hal itu saya lakukan dengan sengaja. Demi personal branding dan membangun karakter yang benar-benar kuat dan menawan sebagai tokoh idola di panggung Kompasiana. Unsur fiksi musikal dan personal branding, itulah style yang coba saya bangun di Kompasiana.
Hanya saja, penyakit nakal saya belum sembuh juga. Jangan kira menulis dengan cantik tidak boleh nakal. Bahkan saya sering dibilang bandel dan keras kepala oleh kakak laki-laki saya. Ya, itu benar. Saya mau mengakui kenakalan saya sebagai Kompasianer: tidak pernah menamatkan cerita yang ditulis. Selalu saja ceritanya saya hentikan di tengah jalan atau ketika cerita hampir mendekati ending. Ketika kisah sedang seru-serunya, saya berganti ke cerita lain. Sebenarnya, ending ceritanya saya buat. Namun saya simpan sendiri. Atau jika saya mau, akan saya tunjukkan, tapi tidak ditunjukkan ke semua orang. Saya suka mempermainkan perasaan orang lain, termasuk para Kompasianer. Saya senang bermain-main dengan perasaan dan kesedihan. Salah satu cara bermain-main dengan kesedihan adalah dengan menulis.
Menulis di Kompasiana menjadi media katarsis untuk saya. Meski tidak selamanya manjur, namun paling tidak saya pernah merasakan manfaat positifnya. Terkadang, saya merasa tulisan-tulisan saya tidak berguna. Hanya sebatas curahan hati gadis kecil yang kesepian (memang kenyataannya saya kesepian, makanya curhat dan nulis kan). Tulisan-tulisan saya terkesan "sinetron banget" atau ala metropop gitu. Lihat saja, banyak adegan menangis dan menumpahkan air mata dalam kisah-kisah fiksi saya. Parah kan melankolisnya? Tapi saya tak peduli. Yang penting, saya selalu berbagi hal positif, dan saya tidak pernah menulis artikel provokatif yang menyinggung SARA atau hal negatif lainnya. Saya juga tidak suka menyentuh ranah politik yang notabenenya topik sensitif di Kompasiana.
Soal rubrik politik ini menjadi tanda tanya besar di hati saya. Mengapa artikel-artikel politik mudah sekali masuk jajaran terpopuler dan nilai tertinggi di Kompasiana? Mengapa artikel politik selalu mengundang banyak komentar? Apakah sebegitu rumitnya politik sampai tak ada habisnya untuk diulas? Entahlah, jawabannya ada di penulis dan pembaca artikel politik. Saya pribadi tidak suka politik. Sekadar menyimak artikelnya saja. Dari pada politik, lebih baik saya mengulas dunia musik, medis, psikologi, dan modeling. Lebih menarik dan mengasyikkan. Dibanding harus bertengkar hanya gegara politik yang tidak pernah ada habisnya. Lebih baik saya jadi diri sendiri dan tetap tebar pesona dengan cara sendiri.
Satu lagi pertanyaan tentang Kompasiana yang menggelitik hati saya. Seperti halnya di dalam dunia kerja, sekolah/kampus, organisasi, dan komunitas tertentu, ada saja yang namanya cinta lokasi. Apakah di Kompasiana ini pernah ada cinta lokasi? Pernahkah ada Kompasianer yang saling jatuh cinta, menikah, atau membangun jenis hubungan tertentu? Saya pikir, jatuh cinta pada seseorang lewat tulisannya bukan hal mustahil di zaman sekarang ini. Lantas, pernahkah ada couple-couple di Kompasiana atau semacamnya itu? Misalnya, ada pasangan Kompasianer cantik dan Kompasianer tampan? Maafkan bila pertanyaan saya aneh. Hanya intermezo dan selintas pikiran out of the box di kepala saya. Ada cinta di Kompasiana, saya rasa itu hal menarik dan tak biasa. Mengingat saya belum lama bergabung di Kompasiana, saya belum tahu persis bagaimana liku-liku kisah-kasih di Kompasiana. Itu pun bila ada dan pernah terjadi.
Finally, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada Kompasiana. Semoga Kompasiana makin sukses dan berkembang. Semoga Kompasiana menjadi media yang ramah, nyaman, dan tanpa diskriminasi untuk siapa pun yang mengaksesnya.
Paris Van Java, 25 Oktober 2017
Tulisan cantik untuk media citizen journalism yang juga cantik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H