Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Psikolove, Akhirnya Ku Menemukanmu (1)

25 Oktober 2017   05:31 Diperbarui: 25 Oktober 2017   07:12 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkahnya semakin cepat. Tiba di kaki tangga, ia melompati beberapa anak tangga sekaligus. Lantai bawah dijejakinya dalam waktu kurang dari satu menit. Setengah berlari ia menuju pantry. Diambilnya pisau pemotong buah.

Ia sudah tak tahan. Semua kenangan ini membekapnya dalam trauma hebat. Waktunya melepaskan diri dari jeratan kenangan. Satu-satunya cara adalah melayangkan pisau ini ke nadinya.

Sesaat pria tampan berwajah oriental dan berpostur tinggi itu menimbang-nimbang benda di tangannya. Mendekatkan pisau ke nadinya, bersiap-siap. Sepasang mata sipitnya terpejam.

Sakitkah dijemput kematian? Jarak pisau kian dekat, kian dekat, kian dekat. Jemarinya bergetar. Jantungnya berdebar lebih cepat. Seolah meronta, ingin melepaskan diri dari pemilik tubuh yang sebentar lagi tak bernyawa.

Rupanya ia masih takut kematian. Payah sekali dirinya. Bukankah beberapa menit lalu ia menginginkan kematian? Agar ia bisa melupakan semua kenangan buruk, agar ia bisa bertemu kembali dengan ibu dan putrinya? Kini, ketika sudah waktunya mengakhiri hidup lewat pisau tajam ini, dirinya justru gentar.

Dihelanya napas panjang. Mungkin ini tarikan napas terakhirnya. Ia harus mati sekarang juga. Matanya terpejam kian rapat.

Jarak pisau tinggal sesenti lagi. Sudah siap, ia mulai mencari titik yang tepat untuk menusuknya. Sedetik. Tiga detik. Lima detik...

"Hentikan, Calvin Wan! Kaupikir apa yang sedang kaulakukan?!"

Sebuah teriakan marah diikuti bantingan pintu mengagetkan pria tampan itu. Spontan ia menjatuhkan pisaunya. Pria lain, sedikit lebih muda, dengan postur tubuh dan gaya rambut yang hampir sama, berlari ke arahnya. Menabraknya, lalu menarik lengannya ke arah tangga.

"Jangan pernah lakukan itu lagi, Calvin Wan!" Si pria yang lebih muda berbisik, suaranya bergetar menahan amarah.

"Apa hakmu melarangku, Adica?" balas Calvin.

"Aku punya hak untuk melarangmu! Karena aku adikmu!"

Keduanya beradu pandang. Saat itulah terlihat kontradiksi di antara mereka. Adica yang tegap, tangguh, tegas, dan fit. Calvin yang charming, rupawan, namun rapuh dan terluka. Meski tampan, wajah Calvin sangat pucat. Tubuhnya tak sesehat dulu. Ada lingkaran hitam di sekeliling matanya, menandakan keletihan berat.

"Calvin, kamu tidak boleh hancur." Adica menurunkan nada suaranya satu oktaf. "Kamu harus kuat. Tunjukkan pada almarhum Mama dan anakmu, kalau kamu bisa bangkit setelah mereka meninggal."

"Mereka belum meninggal!" Di luar dugaan, Calvin berteriak. Menyentakkan tangan Adica hingga terlepas.

"Mereka sudah meninggal! Kamu harus sadar itu!" Adica balas meneriaki kakaknya.

Tak tahukah Adica jika kondisi psikologis kakaknya tengah down? Ditinggal ibu dan anak perempuan sama sekali bukan perkara mudah bagi Calvin. Kehilangan bertubi-tubi, kepedihan, luka, hidup sendiri tanpa menikah, dan tak menemukan orang yang dipercaya membuat keseluruhan hidupnya begitu kelam serta menyedihkan. Calvin membenci hidupnya, sangat benci. Bahkan sering kali ia ingin menjadi orang lain agar tak perlu merasakan perihnya hidup seperti ini.

Bukan sekali ini Calvin berniat bunuh diri. Berulang kali ia mencoba, selalu saja gagal. Lagi-lagi penyebab utamanya adalah Adica. Adik semata wayangnya itu selalu datang di saat yang tepat.

"Calvin, dengar ya! Kalau kamu begini terus, bagaimana kamu akan memimpin perusahaan keluarga?! Jaringan perhotelan yang dibangun keluarga kita membutuhkan penerus! Dirimu calon penerusnya!" Adica masih meninggikan volume suaranya.

"Aku sudah tidak sanggup lagi mengurus perusahaan! Mulai hari ini, aku mengundurkan diri!"

Mendengar itu, Adica terperangah. Calvin tak pernah main-main dengan ucapannya. Bila ia katakan mengundurkan diri, maka ia benar-benar mengundurkan diri dan takkan kembali bekerja di sana. Sesaat lamanya Adica dikuasai penyesalan. Seharusnya ia tak usah terburu-buru menyinggung soal perusahaan. Akibatnya fatal.

"Calvin, maaf. Aku tidak bermaksud..." kata Adica terbata, menyesali kekeliruannya.

"Sudahlah. Aku tidak berguna lagi di perusahaan. Kinerjaku sebagai general manager tidak optimal. Carilah penggantiku. Katakan pada Papa, aku mengundurkan diri."

Setelah berkata begitu, Calvin berbalik. Menaiki tangga ke kamarnya. Meninggalkan Adica dalam penyesalan.

Adica berteriak frustasi. Memukul pagar tangga dengan kepalan tangannya. Apa kata Tuan Erlambang nanti?

**     

Ayah dan anak itu berdiri berhadapan di ruang keluarga. Meski tersenyum menenangkan, tetap saja gurat kekecewaan di wajah Tuan Erlambang tak dapat disembunyikan. Jelas ia kecewa mendengar berita pengunduran diri Calvin.

"Maaf Pa, ini salahku. Kukira dengan menyebut perusahaan, dia akan berpikir rasional. Dia akan menghentikan niatnya bunuh diri. Tapi nyatanya...?" gumam Adica penuh rasa bersalah.

"Kau tahu? Calvin adalah harapan Papa. Calon penerus perusahaan kita. Ahli waris keluarga. Jika dia mengundurkan diri, apa jadinya perusahaan kita?" desah Tuan Erlambang.

"Iya, Pa. Aku tahu itu. Aku menyesal. Papa jangan khawatir. Aku janji, apa pun akan kulakukan untuk menyembuhkan Calvin."

Tuan Erlambang mengangguk. Entah, ia sulit percaya. Tak terkecuali pada putranya sendiri. Harapannya hanya satu: Calvin Wan, putra kebanggaannya, kembali seperti semula.

Jam dinding kuno di seberang ruangan berdentang sebelas kali. Sudah larut malam. Adica berpamitan pada Papanya, lalu kembali ke kamar.

Merebahkan tubuh di ranjang besarnya, Adica mulai berpikir-pikir. Kondisi kakaknya semakin parah. Kehilangan berturut-turut dalam beberapa tahun terakhir, kesepian sebab memutuskan hidup tanpa menikah, dan penyakit stadium tiga sukses menghancurkan hidupnya. Merampas kebahagiaannya. Adica tak tega, sungguh tak tega.

Apa yang harus ia lakukan? Adica sangat menyayangi Calvin. Ia tak ingin kakaknya menderita. Hidup dengan bermacam-macam pengalaman traumatik sangatlah berat. Setahu Adica, satu-satunya pelampiasan kesedihan yang dilakukan Calvin adalah menulis. Calvin konsisten menulis di sebuah media jurnalisme warga. One day one article, itulah targetnya tiap hari. Kebetulan Adica dan Tuan Erlambang menjadi blogger di media yang sama. Praktis mereka bisa memantau Calvin dari jauh. Memperhatikan Calvin lewat artikel-artikelnya.

Sayangnya, Calvin tak pernah mau menuangkan kesedihan dalam tulisan. Dia menegaskan, bahagia dan sedih menempati ranah pribadi. Tidak boleh di-share ke media. Alhasil, tak satu pun tulisannya menyangkut permasalahan psikologis atau medis yang ia hadapi. Semua tulisannya berfokus pada ekonomi, politik, dan humaniora.

Lantas, apa lagi yang harus dilakukan? Sungguh situasi ini membingungkan. Mana mungkin Adica tega membiarkan Calvin bersedih sendirian?

Dalam kebingungan yang memuncak, smartphonenya berbunyi. FaceTime, pikir Adica excited.

"Hai Adica," sapa seorang gadis cantik berambut sebahu dan berwajah Chinese. Raut wajahnya angkuh dan sinis, namun seulas senyuman tipis terbit di sudut wajahnya.

"Hai Clara." Adica balas menyapa.

"Hei, are you ok? Apa ada masalah?"

Sejenak Adica terdiam. Menatap gadis pujaan hatinya. Tetiba saja, sebuah ide terlintas.

**        

Yang dilanda lara

Dimanakah akan kucari pengganti dirimu

Entah dimana

Oh dimana

Oh dimana

Dimana lagi harus kucari

Mengapakah diri ini harus tersiksa lagi

Entah mengapa

Oh mengapa

Oh mengapa

Tersiksa lagi (Wilson Idol ft Tohpati-Tersiksa Lagi).

**      

Perlahan Calvin bangkit dari tempat tidurnya. Percikan darah menodai selimutnya. Darah dari luka akibat pelampiasan seksualnya. Satu lagi pelampiasan yang disukainya. Siapa yang tahu bila pria setampan dan se-perfect Calvin Wan takut pada seks? Sebagai gantinya, ia memiliki cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Satu hal yang pasti: kepuasan dan kenikmatan luar biasa atas rasa sakit. Calvin bisa melakukannya dua-tiga kali dalam sehari.

Dari pada harus menyakiti orang lain, lebih baik ia menyakiti diri sendiri. Cukup dirinya yang merasakan sakit. Ini termasuk pelampiasan akan rasa sakit di masa lalunya. Ketidakadilan, diskriminasi, sakitnya dibanding-bandingkan, dan kekecewaan cinta berulang kali. Belum lagi kehilangan berturut-turut yang dialami. Menyakitkan, sangat menyakitkan. Calvin tak tahan, lalu melakukan pelarian dengan cara lain.

Hanya sedikit yang tahu masa lalu Calvin. Publik mengenal Calvin Wan sebagai pria rupawan berdarah Tionghoa yang sukses, cerdas, dan religius. Mantan penyanyi cilik yang kini beralih sebagai petinggi perusahaan. Bukan hanya tampan di luar, melainkan pula tampan di dalam. Terkesan introvert namun baik hati. Sering terlibat dalam kegiatan sosial berskala besar, misalnya bantuan kemanusiaan untuk negara-negara yang dilanda konflik dan pernah tergabung menjadi relawan UNICEF selama beberapa tahun. Founder organisasi nirlaba yang concern memberi pendampingan serta pelayanan untuk anak-anak penderita kanker. Calvin juga dikenal sebagai blogger tampan yang konsisten menulis satu artikel dalam satu hari.

Perfect bukan? Tapi, bukankah di dunia ini tak ada manusia yang sempurna? Begitu juga Calvin. Ia mempunyai masa lalu yang kelam. Diawali dengan peristiwa meninggalnya sang Mama, lalu disusul kematian putrinya. Anak perempuan cantik jelita yang ia dapatkan melalui proses single parent adoption. Sebuah penyakit stadium tiga yang menggerogoti tubuhnya dari dalam.

Kurang apa lagi semua cobaan itu? Calvin letih menjalani hidupnya. Tak heran ia sering mencoba mengakhiri hidup di saat-saat tertentu.

Lebih parah lagi, Calvin hidup sendiri. Ia tidak menikah. Orang makin keheranan karenanya. Mengapa pria setampan dan sebaik itu justru memutuskan tidak menikah? Pastilah banyak wanita yang ingin menikah dengannya. Apa lagi setelah mengetahui bahwa Calvin akan menjadi penerus perusahaan hotel milik keluarganya. Calvin yang tampan, baik hati, dan kaya-raya takkan sulit mendapatkan jodoh. Ironis, dia menolak menikah.

Sedikit penghiburan ia dapatkan saat membuka web media jurnalisme warga itu. Artikel politiknya tentang capaian presiden selama 3 tahun mendapat nilai tertinggi. Tak sia-sia ia menulisnya. Menulis, media katarsis yang ampuh selain bermain piano dan bermain cinta dengan dirinya sendiri. Bermain cinta, itu hanya istilah semata. Untuk menyebutkan kebiasaan yang dilakukan Calvin sebagai pelampiasan rasa sakitnya.

**       

"What? Aku harus mengobati kakakmu yang bermuka seram dan pernah jadi seteru lamaku itu?" Clara bertanya panik, wajahnya memerah menahan malu dan marah.

"Iya. Please Clara...hanya kamu yang bisa. Kamu kan psikolog. Mengerti cara menyembuhkan kakakku. Bahkan sering dijuluki psikolove juga, si ahli cinta. Begitu kan?" bujuk Adica.

Ribuan kilometer dari ibu kota Jakarta, tepatnya di apartemennya di Amsterdam, Clara menarik napas berat. Tak mengerti dengan permintaan kekasihnya. Dia memang seorang psikolog dan psikolove. Namun, bisakah Calvin diterima sebagai kliennya? Bukan sebagai seteru lamanya seperti waktu di sekolah dulu?

"Ayolah Clara, demi aku. Demi Papa. Katanya, kamu sayang sama Papa? Kamu cinta sama aku?" Sekali lagi Adica membujuk.

"Hmm...bagaimana ya? Kakakmu itu seram, Adica. Aku selalu curiga padanya."

"Dia tidak seram, Clara. Justru dia sangat tampan. Lebih tampan dariku. Kamu anggap dia seram karena kamu terus-menerus berpikiran negatif tentangnya."

Tanpa sadar, Clara mengangguk. Mengakui kebenaran ucapan Adica. Ya, sebenarnya Calvin amat tampan. Hanya saja, hati Clara tertutup untuk mengakuinya.

"So, maukah kamu bantu dia?"

"Okey. I'll try. Demi kamu, demi Om Erlambang, demi perusahaan kalian."

"Yes. Thanks a lot, Honey."

Senyuman terpaksa dilempar Clara. Mau tak mau ia harus berurusan lagi dengan Calvin.

Clara Carolina, gadis pujaan hati Adica Wirawan. Sama seperti Adica dan Calvin, ia berdarah keturunan. Cantik, pintar, dan berbakat. Bila Calvin mantan penyanyi, Clara dulunya merupakan model terkenal. Kini ia aktif sebagai psikolog dan pemilik perusahaan perikalanan. Beberapa minggu lalu, Clara mendapat tawaran menjadi host sebuah talk show psikologi dari stasiun televisi swasta ternama di Indonesia. Entah lara akan mengambilnya atau tidak.

Kalau diingat-ingat lagi, unik juga cara perkenalan Clara dan Adica. Berawal dari acara gathering para blogger yang diadakan media jurnalisme warga itu. Adica datang ke acara itu. Meski bukan blogger, Clara hadir pula. Ia menemani adiknya. Di acara itulah Adica dan Clara berkenalan. Dimulai dari perkenalan tak terduga, pendekatan, lalu berakhir happy ending. Adica Wirawan resmi menjadi kekasih Clara Carolina. Pembawaan angkuh, sinis, sekaligus menawan Clara sukses merebut hati Adica. Dia penasaran, lalu mencoba mendekati Clara. Bertekuk lututlah si gadis Chinese penyuka apel dan mawar putih itu. Semua orang tahu, betapa sulit meluluhkan hati Clara.

Lalu, mengapa gadis Aries kelahiran 16 April itu begitu tidak menyukai Calvin? Berawal dari persaingan di sekolah elite mereka dulu. Waktu itu, Calvin dan Clara menjadi kandidat Ketua OSIS. Kompetisi yang berujung pada permusuhan dan ketidaksukaan. Namun hanya sepihak. Calvin tak pernah membenci Clara. Sebaliknya, Claralah yang membenci Calvin. Namun semuanya sudah lama berlalu.

Kini situasi berubah. Benci harus dibalikkan menjadi cinta. Jika Clara terus-terusan membenci Calvin, bagaimana dia akan menolongnya? Mampukah Clara menyembuhkan Calvin?

**      

Tak tahan lagi ingin bertemu

Berjuta kata ingin kuucap

Selama kau pergi

Tak ada lagi teman dalam sepiku

Pulang dan dekap

Wajah yang murung

Serpihan rindu ingin kusapu

Sepiku hilang saat kau hadir

Menepi semua gundah

Bisakah engkau menundukkan wajah

Coba berfikir dari sisi aku

Pernahkah engkau merasakan rindu (Melly Goeslaw-Tak Tahan Lagi ost Eiffel I'm In Love).

**        

Pelan dan ragu, Clara melangkah menyusuri lorong garbarata. Langkahnya yang anggun dan raut wajah dinginnya menyita perhatian banyak orang. Menuai rasa penasaran di antara sekian banyak pria yang berlalu-lalang di sekitarnya. Clara, gadis yang terlihat cold tapi smart. Cantik menawan dengan rambut sepundak dan paras rupawan. Postur tubuhnya yang ramping menyempurnakan penampilannya.

Ia teringat percakapannya dengan Adica dua hari lalu. Adica tak bisa menjemputnya di bandara. Sebagai gantinya, Calvin yang akan datang menjemputnya.

Calvin? Sepotong nama itu melintas di benak Clara. Selama dua hari terakhir, Clara mencari tahu banyak hal tentang Calvin. Cukup sulit. Mengingat Calvin sangat tertutup dan menjaga privasi. Sama seperti Clara, Calvin tak suka meninggalkan jejak digital. Ia tidak aktif di sosial media. Hanya aktif sebagai blogger. Alternatif satu-satunya adalah membaca semua tulisannya. Clara yang cerdas dan kritis itu, akhirnya menemukan nama Calvin sebagai blogger yang sedang naik daun di media jurnalisme warga ternama yang berada di bawah grup media massa terbesar di Indonesia. Dari sanalah Clara menelusuri jejak Calvin. Ratusan Calvin dibacanya dalam hitungan jam. Tanpa bantuan siapa pun, Clara berhasil menemukan Calvin.

Apa yang terjadi? Sejauh ini, Clara salut pada Calvin. Tepatnya pada tulisan-tulisan dan konsistensinya. Clara yang tak mudah mengagumi orang lain, perlahan mulai tertarik. Ini tantangan baginya.

Selangkah demi selangkah, Clara melintasi check in room. Tanpa sengaja matanya tertumbuk ke arah pintu. Siapa pria tampan yang berdiri di sana itu? Mengapa pria berkemeja hitam itu menarik perhatiannya? Ganjil, Clara belum pernah langsung tertarik pada pandangan pertama ketika melihat seorang pria.

"Excuse me," sapa pria itu. Suara bassnya terdengar lembut dan maskulin.

"Apa kamu...Clara Carolina?"

Tak salah lagi. Pria tampan bersuara bass itu pastilah Calvin. Hati Clara berdesir cepat. Desiran aneh dan tak wajar. Tanpa diundang, tanpa permisi. Apa lagi ini? Desiran hati yang bercampur rasa senang. Mengapa ia senang bertemu Calvin?

Di luar kendalinya, mata Clara bergerak menyusuri setiap senti demi senti tubuh pria di hadapannya. Calvin terlihat sangat tampan. Senyumnya, tatapan matanya, dan raut wajahnya amat menawan. Clara disergap keterpesonaan melihatnya. Ya, Clara terpesona. Beginikah sosok Calvin Wan yang sebenarnya? Bukankah dulu ekspresi wajahnya dingin menakutkan? Sekarang, ia begitu tampan. Lebih dari sekadar tampan.

Ditatap sebegitu rupa, Calvin sedikit menundukkan wajah. Hal itu malah membuat Clara kian terpesona. Satu gerakan kecil yang menawan dan rendah hati. Tidak, ia tidak boleh goyah. Cintanya hanya untuk Adica. Sebentar lagi Adica melamarnya. Tak boleh ia berpaling pada Calvin. Bukankah Calvin hanyalah calon klien sekaligus mantan rivalnya?

Namun kekaguman Clara tak sampai di situ saja. Berlanjut ketika Calvin mengajaknya ke mobil. Membukakan pintu mobil dengan gallant. Tersenyum sopan, mempersilakan Clara masuk ke dalam mobilnya.

Salah tingkah, Clara duduk di bangku samping pengemudi. Sesekali ia memainkan iPhonenya untuk menyembunyikan kegugupan. Sikap Calvin begitu gallant. Lembut, charming, dan mengundang rasa penasaran. Mengapa dulu ia harus membenci Calvin? Kalau tahu sifat Calvin yang sebenarnya, mungkin Clara berpikir dua kali sebelum memutuskan membencinya.

Land Rover silver itu meluncur meninggalkan bandara. Calvin menyetir dengan hati-hati dan penuh konsentrasi. Clara memperhatikan cara Calvin mengemudi. Calvin sengaja memutar musik instrumentalia yang lembut di mobilnya. Membuat Clara terkesan.

Duduk bersisian dengan Calvin rupanya membuat Clara nervous. Belum pernah ia segugup ini saat bersama Adica. Ini Calvin, bukan Adica. Jelas lain ceritanya.

Clara menyukai wangi Blue Seduction Antonio Banderas dari tubuh Calvin. Sampai kapan pun, ia takkan lupa wangi khas Calvin yang satu itu.

Tak tahukah Clara bila Calvin pun menyukai wangi Bath & Body Works di tubuhnya? Tak sadarkah Clara, sejak tadi Calvin terus memandangi wajah cantiknya? Amat tertarik dengan kecantikan parasnya?

Satu detail kecil tak wajar segera ditangkap Clara. Meski tampan, Calvin tidak sehat. Benar kata Adica. Ia sakit parah. Baik fisik maupun psikologis. Dapat Clara lihat, kesakitan terpancar di mata bening itu. Calvin kesakitan dan telah lama menyimpan luka-lukanya. Ada luka-luka yang belum sembuh. Mampukah Clara menutup luka-lukanya?

**      

https://www.youtube.com/watch?v=h3gJTBTbxNM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun