Apa yang harus ia lakukan? Adica sangat menyayangi Calvin. Ia tak ingin kakaknya menderita. Hidup dengan bermacam-macam pengalaman traumatik sangatlah berat. Setahu Adica, satu-satunya pelampiasan kesedihan yang dilakukan Calvin adalah menulis. Calvin konsisten menulis di sebuah media jurnalisme warga. One day one article, itulah targetnya tiap hari. Kebetulan Adica dan Tuan Erlambang menjadi blogger di media yang sama. Praktis mereka bisa memantau Calvin dari jauh. Memperhatikan Calvin lewat artikel-artikelnya.
Sayangnya, Calvin tak pernah mau menuangkan kesedihan dalam tulisan. Dia menegaskan, bahagia dan sedih menempati ranah pribadi. Tidak boleh di-share ke media. Alhasil, tak satu pun tulisannya menyangkut permasalahan psikologis atau medis yang ia hadapi. Semua tulisannya berfokus pada ekonomi, politik, dan humaniora.
Lantas, apa lagi yang harus dilakukan? Sungguh situasi ini membingungkan. Mana mungkin Adica tega membiarkan Calvin bersedih sendirian?
Dalam kebingungan yang memuncak, smartphonenya berbunyi. FaceTime, pikir Adica excited.
"Hai Adica," sapa seorang gadis cantik berambut sebahu dan berwajah Chinese. Raut wajahnya angkuh dan sinis, namun seulas senyuman tipis terbit di sudut wajahnya.
"Hai Clara." Adica balas menyapa.
"Hei, are you ok? Apa ada masalah?"
Sejenak Adica terdiam. Menatap gadis pujaan hatinya. Tetiba saja, sebuah ide terlintas.
** Â Â Â Â
Yang dilanda lara
Dimanakah akan kucari pengganti dirimu