Sebuah kematian yang tragis. Calvin berulang kali menyalahkan diri sendiri. Sungguh, rapat-rapat di kantornya tak sebanding dengan nyawa Fransisca. Mengapa ia harus menukar nyawa anak tunggalnya sendiri dengan karier dan kepentingan bisnis? Buat apa jabatan tinggi, harta berlimpah, namun Fransisca pada akhirnya tak bisa menikmati?
Duka Calvin belum apa-apa dibandingkan Calisa. Begitu mendengar kabar meninggalnya Fransisca, wanita blasteran Sunda-Belanda itu jatuh pingsan. Shock mendapati putri kandungnya, anak yang ia lahirkan lima tahun lalu dengan taruhan nyawanya sendiri, kaku tanpa napas kehidupan. Sedih bercampur dengan kehilangan menyerbu hati Calisa.
Jenazah Fransisca selesai dimandikan. Calvin dan Calisa menatap lekat-lekat wajah putri mereka. Fransisca sangat cantik. Ia memiliki perpaduan wajah oriental dan Kaukasia yang diwarisi dari Mommy-Daddynya. Sepasang mata biru Fransisca sama persis seperti mata Calisa. Kulit putih dan wajah bulatnya sempurna, mirip sekali dengan Calvin.
Tanpa diduga, Calisa mencium kening Fransisca. Satu bulir air mata jatuh di wajahnya. Calvin tak tahan lagi. Ia meraih tangan Calisa. Digenggamnya tangan wanita itu erat.
"Calisa, maafkan aku." Calvin berbisik.
"Gara-gara aku, Fransisca meninggal. Aku benar-benar minta maaf."
Calisa melepas genggaman tangan Calvin dengan lembut. Perlahan ia tersadar. Suhu panas mengalir dari tangan Calvin.
"Kamu demam, Calvin. Sebaiknya kamu tidak usah ke pemakaman. Istirahatlah." kata Calisa datar.
"Aku ingin mengantar Fransisca ke peristirahatan terakhirnya, Calisa." Calvin berkeras, mengabaikan kesehatannya sendiri.
"Are you ok?" Satu pertanyaan Calisa yang menjadi bahasa cinta di antara mereka. Ini bukanlah pertanyaan biasa. Melainkan satu dari beberapa kalimat yang menjadi bahasa cinta mereka berdua.
"I'm ok, thanks. Kenapa kamu terus mengkhawatirkanku?" Tertangkap nada protes dalam suara bass Calvin.