Rasanya belum move on dari acara LKO dan LKMPK yang berlangsung Hari Jumat lalu. Tiba-tiba saja, banyak kenangan tentang OSIS dan MPK yang berkejaran di benak saya. Salah satu kenangan itu berputar, bergerak lincah di dalam otak saya, menari, berdansa dengan anggun, lalu jatuh dengan lembut sebagai ide tulisan.
Masih terkenang bagaimana prosesi wawancara calon Ketua OSIS. Agenda rutin yang kami lakukan tiap tahun. Para kandidat berasal dari dua kategori: dari organisasi non-OSIS dan dari dalam OSIS itu sendiri. Ada yang merupakan rekomendasi para guru, ada pula yang mengajukan diri. Opsi yang terakhir ini jarang sekali terjadi.
Sebelum lolos ke tahap pemilihan, para calon harus melewati satu tahap mendebarkan. Apa lagi kalau bukan wawancara? Saat wawancara, penilaian dilakukan sekritis mungkin. Para calon benar-benar dinilai dari berbagai aspek. Mulai dari mental, karakter, kepercayaan diri, gesture, ekspresi, sikap, cara berdiri, cara duduk, cara bicara, etika, dan kecerdasan. Kami cukup perfeksionis, sehingga hanya memilih yang terbaik. Perfeksionis boleh saja, namun kami masih punya hati. Calon-calon yang tidak terpilih diberi privilese: bisa masuk sebagai pengurus OSIS tanpa harus melewati tahap seleksi dan LKO.
Tiap wawancara, kami sudah memiliki garis besar materi yang akan ditanyakan. Satu pertanyaan wajib yang tak pernah lupa ditanyakan pada calon Ketua OSIS: bagaimana cara menghadapi grup-grup anti OSIS? Kami ingin tahu reaksi mereka. Kami perlu tahu cara mereka menyikapi OSIS haters yang berkeliaran di sekolah kami. Jawaban tiap calon dari tahun ke tahun berbeda-beda. Jawaban mereka kami gunakan sebagai dasar penilaian.
Soal OSIS haters ini, ada lagi ceritanya. Seakan tak habis-habis membahas haters. Di sekolah kami, tak sedikit anak-anak yang anti OSIS. Entah apa salah kami sehingga kami begitu dibenci. Kami sudah bersikap baik, namun tetap saja mereka tak menyukai kami.
Begitu bencinya mereka pada OSIS sampai-sampai membentuk grup yang berorientasi pada hal negatif. Tak perlu disebutkan hal negatif apa saja yang telah dilakukan grup-grup itu. Jelasnya, mereka tak suka OSIS dan para pengurusnya.
Di kelas saya sendiri pun, saya merasakan tekanan dan aura ketidaksukaan yang sangat jelas. Mata batin bergerak menembus relung jiwa. Isi hati dan isi pembicaraan yang terjadi di belakang saya mulai terbongkar sedikit demi sedikit. Mereka mengatai saya sombong, dingin, dan sok populer. Di depan saya, mereka bersikap sangat manis. Tapi di belakang? Topeng mulai terbuka perlahan-lahan.
Saya hanya bersahabat dengan sedikit orang di dalam kelas. Selebihnya, teman-teman terbaik saya ada di kelas-kelas yang berbeda. Itu sebabnya saya tak pernah betah berada di dalam kelas terlalu lama. Tiap kali jam istirahat dan waktu kosong, saya selalu keluar kelas. Tempat favorit saya di sekolah adalah masjid, perpustakaan, balkon, dan ruang OSIS. Saya paling antusias tiap kali surat dispen datang. Surat dispen menandakan adanya kegiatan non akademis yang membolehkan saya tidak mengikuti pelajaran. Itulah cara bolos yang paling eksklusif. Dengan dispensasi dan sibuk berorgganisasi, saya tak perlu lama-lama di dalam kelas bersama orang-orang yang menyimpan rasa tidak suka. Tak rugi juga saya dispen. Pelajaran dan nilai masih bagus. Saya sering dispen bersama teman-teman saya dari jam pelajaran pertama sampai jam pelajaran terakhir. Ya, kami menikmatinya. Mengerjakan tugas sambil rapat, ulangan susulan, atau mengulang materi pelajaran sambil latihan. Itu pun kalau ada mood untuk belajar. Kalau tidak ingin belajar ya sudah. Toh tidak bisa dipaksa, kan? Tapi anehnya, peringkat kami tidak begitu buruk. Tetap masuk sepuluh besar. Bahkan di jajaran paralel.
Mungkin itulah salah satu penyebab anak OSIS rentan punya haters. Faktor iri hati. Di saat anak-anak lain harus duduk diam di dalam kelas, kami bisa keluar kelas semaunya. Di saat murid lain harus kerepotan menghafal materi pelajaran agar bisa mendapat nilai bagus, kami tak perlu repot melakukannya. Ketika mereka telah berusaha bersikap baik, tetap saja pujian para guru selalu mengarah ke anak OSIS lagi dan lagi. Intinya, kami dianggap sebagai anak-anak yang jarang di kelas tapi tetap disayang dan dipuji.
Sayangnya, rasa iri itu tidak dibarengi dengan penyelidikan terlebih dulu. Mereka hanya melihat enaknya saja. Apa mereka tahu? Untuk berorganisasi diperlukan kesetiaan, integritas, dan konsistensi? Apa mereka tahu betapa lelah rasanya setelah menyelesaikan satu proker, lalu datang proker lainnya? Apa mereka tahu masalah-masalah internal yang harus kami hadapi? Tahukah mereka begitu sulitnya kami berkoordinasi dengan mereka? Kenyataannya, kami tidak seperti yang mereka bayangkan. Kami bukan orang kaya, hanya cukup saja. Ada satu pengurus OSIS yang harus bekerja part time untuk membiayai adik-adiknya. Ada pula yang harus kehilangan ibunya, kehilangan ayahnya, dan merawat orang tua yang sakit. Ada pula yang kekurangan kasih sayang karena orang tuanya terlalu sibuk berkarier. Ada pula yang harus menerima kenyataan pahit ketika ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Teman kami yang satu itu tidak menyukai ibu tirinya. Akibatnya ia jarang di rumah. Syukurlah dia melakukan pelarian dengan kegiatan positif. Bahkan saat ini dia menjalankan bisnis cafe tanpa bantuan orang tuanya.
Boleh saja iri pada kami. Silakan anggap kami tebar pesona, sombong, sok kaya, dan semacamnya. Tapi mereka tidak melihat diri kami seluruhnya. Cara berpikir mereka sempit. Cobalah berpikir luas sedikit saja, mungkin mereka berpikir ulang untuk menjadi haters.
Bahkan permasalahan haters ini sering menjadi bahan candaan di ruang OSIS. Kami sering bertanya-tanya, siapa di antara kami yang hatersnya paling banyak. Entah ketakutan atau sekedar parno, saya yakin kalau haters sayalah yang terbanyak.
Meski demikian, itu hanya satu sisi gelap di sekolah kami. Selebihnya, OSIS masih punya banyak fans setia. Ada haters, ada lovers. Persentase haters tak sebanyak lovers. Apa lagi kami organisasi resmi. Didukung sepenuhnya oleh guru dan para petinggi sekolah. Buat apa khawatir berlebihan? Fans kami masih banyak kok. Haters lewat saja. Kalau fans duel dengan haters, dijamin haters kalah jumlah dan kualitas. So, kami stay cool saja.
Satu poin berharga dapat direfleksikan dari pengalaman di atas: di antara sekian banyak orang yang mengenal kita, tidak semuanya menyukai kita. Kita tidak bisa memaksa orang lain menyukai kita. Suka-tidaknya, itu hak prerogatif mereka. Hanya mereka yang bisa memutuskan, apakah akan menyukai kita atau tidak.
Di semua tempat sama. Baik di dunia nyata maupun maya. Ada yang suka, ada yang tidak suka. Saya pribadi yakin, di Kompasiana ini tidak semua pembaca dan Kompasianer menyukai tulisan atau kepribadian saya. Belum tentu yang memberikan vote menarik, inspiratif, atau bermanfaat itu benar-benar suka. Di antara sekian banyak, pastilah ada satu-dua yang tidak suka. Hal itu wajar.
Sebaik apa pun diri kita, sebesar apa pun prestasi yang kita capai, sesukses apa pun karier kita, dan secantik/setampan apa pun diri kita, belum tentu semua orang benar-benar menyukai kita. Pasti ada saja satu-dua orang yang tidak suka di antara puluhan atau ratusan orang yang menyukai kita. Perasaan suka-tidak suka itu wajar. Sama halnya seperti perasaan cinta, takut, iri, marah, rindu, dan benci.
Ada banyak alasan orang tidak menyukai kita. Pertama, karena rasa iri. Mereka iri pada semua yang kita miliki. Kedua, secara sengaja ataupun tidak sengaja kita telah menyakiti seseorang. Ketiga, ada perbuatan dan perkataan kita yang tidak dapat diterima orang lain. Keempat, doktrin tertentu yang mempengaruhi orang lain untuk tidak menyukai kita. Misalnya karena perbedaan suku, ras, dan agama. Doktrin bisa berasal dari keluarga maupun dari luar. Masih banyak alasan lainnya untuk saling membenci dan tidak menyukai.
Ketidaksukaan dan kebencian dapat diperlihatkan dengan jelas. Tak sedikit pula yang lebih memilih menyembunyikannya di balik wajah alim dan kata-kata manis. Maaf jika saya berterus terang di sini. Sebaiknya jangan seratus persen mempercayai orang lain. Tidak semua orang itu tulus. Kita tidak tahu pasti apa niat orang lain yang sesungguhnya. Apakah benar-benar tulus atau punya niat negatif. Kehati-hatian sangat diperlukan.
Mungkin ada sepercik rasa tidak adil di dalam hati. Kita sudah berusaha menjadi orang yang baik, tapi pada akhirnya tetap ada yang tidak suka. Namun itulah kehidupan. Ironi dalam hidup berkaitan dengan rasa suka dan tidak suka mesti kita hadapi. Sosok sempurna dan ideal belum tentu disukai semua orang. Semakin sukses seseorang, semakin besar potensinya untuk dibenci orang lain.
Fakta ini terasa menyedihkan. Apa salah kita sampai harus dibenci? Apakah diri kita seburuk itu di mata orang lain? Benarkah diri kita tidak berguna, tidak pantas dicintai, dan tidak berhak bahagia? Jangan biarkan kebencian satu-dua orang menghancurkan diri kita. Hadapilah dengan cara-cara berikut ini.
1. Sadarilah bahwa tidak semua orang menyukai kita
Popularitas, kekayaan, dan kesuksesan tak lantas membuat diri kita mudah disukai. Sebaliknya, kemungkinan besar mengundang haters semakin banyak. Percaya diri boleh saja. Memperlihatkan aura dan daya pikat di depan publik boleh saja. Show your aura. Tapi tetaplah sadar dan hati-hati. Bahwa belum tentu mereka yang melihat dan memperhatikan akan menyukai kita.
2. Tersenyum dan berterima kasih
"Kamu sok kecakepan banget sih. Masih lebih cakep dia."
"Kamu nggak stylish. Kurang cantik, kurang modis, bla bla bla."
Haters takkan segan melempar komentar negatif. Tujuannya agar mental kita jatuh. Jauh di dalam hati, pastilah kita merasa kesal dan sakit hati. Ditambah lagi merasa sedih. Jangan tunjukkan itu pada haters. Bila perasaan sedih dan semacamnya ditunjukkan, haters akan makin bersemangat menyudutkan kita. Cukup tersenyum dan bilang terima kasih. Itu sudah cukup. Hadapi komentar miring dengan elegan. Stay cool saja. Anggap komentar itu tidak berpengaruh apa-apa. Bila kita menuruti emosi, haters akan punya alasan lebih banyak lagi untuk menjatuhkan kita.
3. Berbuat baik pada haters
Jangan balas kebencian dengan kebencian. Sebaliknya, balaslah kebencian dengan kasih sayang dan rasa empati. Cobalah berbuat baik pada haters kita. Terserah apa reaksinya, yang penting maksud kita baik. Bisa saja haters akan segan dan mengubah penilaiannya. Bukankah Tuhan Maha Membolak-balikkan Hati?
4. Siapkan mental
Hati seseorang mudah sekali dibolak-balikkan bila Tuhan berkehendak. Semula suka menjadi tidak suka, semula cinta menjadi benci. Siapkan mental dan hati kita bila suatu saat nanti orang yang mencintai, menyayangi, dan menyukai kita berbalik membenci kita. Dalam hidup, kita tak tahu apa yang akan terjadi. So, kita harus siap dengan risiko dibenci, ditinggalkan, dan dijauhi. Kedengarannya menyakitkan, namun mau tak mau kita mesti siap mental. Pikirkan dulu kemungkinan-kemungkinan terburuk. Siapkan mental agar kita tidak terlalu sakit jika hal itu benar-benar terjadi.
5. Nikmati dan jadikan motivasi
Sedih karena dibenci? Wajar. Sedih karena tak lagi dicintai? Sangat manusiawi. Nikmati saja. Nikmati kesedihan itu, dan jadikan pelajaran berharga. Jadikan hal itu sebagai motivasi agar kita bisa lebih baik lagi. Tak apa-apa menikmati kesedihan pasca berhenti dicintai orang lain. Akan tetapi, jangan lupa bahwa kita perlu bangkit dari kesedihan dan memperbaiki diri. Agar kesalahan yang sama tak terulang lagi.
6. Jangan jadi haters
Kita sudah tahu sakitnya dibenci. So, jangan biarkan diri kita ikut menjadi haters. Jangan biarkan dendam merusak hati yang baik. Dari pada menjadi haters, jadilah pribadi yang loveable. Pribadi yang lembut, penyabar, penyayang, halus, pengertian, dan baik hati. Tak ada gunanya menjadi haters. Hanya bisa menyakiti diri sendiri dan orang lain. Sekali pun ada perilaku orang lain yang tidak sesuai dengan kita, beri tahukan secara halus. Semoga saja dia mau mengubah perilakunya itu.
Berhentilah membenci orang lain secara berlebihan. Tetaplah konsisten dalam mencintai dan menyayangi orang-orang yang kita cintai. Jangan tinggalkan mereka hanya karena satu-dua kesalahan. Ditinggalkan itu sangat sakit. Tak ada yang mau kehilangan orang yang dicintai. Kehilangan dan kebencian sangat menyakitkan. Luka hati akibat ditinggalkan dan dibenci begitu dalam dan sulit sembuh. Jangan berhenti mencintai mereka setelah kita tahu kekurangannya. Justru selain mencintai kelebihannya, cintai pula kekurangannya. Itulah bentuk cinta sejati. Cinta yang tidak akan luntur dalam perjalanan waktu. Cinta yang tetap bertahan di tengah segala permasalahan, kelebihan, dan kekurangan. Cinta yang selalu ada untuk menguatkan, menenangkan, dan melindungi.
Kompasianer, sudah siapkah menghadapi haters? Maukah berhenti membenci orang lain secara berlebihan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H