Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Silakan Mencintaiku

30 Juli 2017   06:02 Diperbarui: 31 Juli 2017   02:23 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

https://www.youtube.com/watch?v=W041-YqxWaQ

https://www.youtube.com/watch?v=QCOPh5iFmCg

**     

Darah akibat epistaksis masuk ke paru-parunya. Membuatnya sulit bernafas. Tuan Calvin tak berdaya. Dua orang suster memasangkan selang oksigen.

Atmosfer di ruang rawat itu berat oleh kecemasan. Nyonya Calisa berdiri di sisi Tuan Calvin, menggenggam erat tangannya. Lembut memberikan kata-kata yang menguatkan hati. Apa pun akan dilakukan Nyonya Calisa demi kesembuhan Tuan Calvin.

"Kamu kuat ya? Hanya sebentar...kamu pasti sembuh."

Sejak kesadarannya kembali seratus persen, Tuan Calvin merasakan sakit. Obat-obatan yang disuntikkan ke lengannya sama sekali tak berpengaruh. Kekhawatiran menyergap jiwa, perlukah ia memulai pengobatan kanker lagi dari awal sampai akhir? Mulai dari enam kali kemoterapi, 25 kali radiasi? Ataukah ia memerlukan donor hati?

**    

"Aku takut kehilangan Clara..." Tuan Calvin mengungkapkan perasaannya.

Saat itu mereka hanya berdua. Tim medis meninggalkan ruang rawat setelah memastikan kondisi Tuan Calvin cukup stabil.

"Jangan khawatir. Kita tidak akan kehilangan Clara." Kata Nyonya Calisa menenteramkan.

"Bagaimana kalau Syarif mengambil Clara dari kita?" tanya Tuan Calvin.

"Oh my God...jangan berpikiran seperti itu. Clara sudah sah menjadi anak kita. Nama kitalah yang tertera di akta kelahirannya, bukan nama Syarif. Dia tak punya hak mengambil Clara."

Sesaat hening. Hanya terdengar desis hujan di luar yang teredam tembok dan kaca. Hujan, baik Tuan Calvin maupun Nyonya Calisa sangat menyukainya. Bagi mereka, hujan itu romantis.

"Calisa, jika aku meninggal nanti..." Baru saja Tuan Calvin mengucapkan pengandaian itu, cepat-cepat Nyonya Calisa memotongnya.

"Stop. Berhenti mengatakan soal kematian."

"Please Calisa, dengarkan aku. Jika aku meninggal, jagalah Clara. Kamu satu-satunya orang yang kupercaya."

Nyonya Calisa menatap wajah pucat Tuan Calvin. Meski pucat, ketampanannya tak berkurang sedikit pun. Mata Nyonya Calisa berkaca-kaca.

"Aku akan selalu menjaga dan menyayangi Clara." bisiknya.

"Tapi aku berharap, aku akan melakukannya bersamamu."

"Suatu saat nanti kamu harus siap menjadi single parent, Calisa."

Helaan napas Nyonya Calisa begitu berat. Mengapa Tuan Calvin seakan kehilangan harapan? Apakah kanker hati merampas habis energi positif dalam dirinya?

**      

Larut malam, hujan semakin deras. Diperparah dengan deru angin yang bertambah kuat dan sambaran petir.

Nyonya Calisa telah tiba di rumah. Pulang ke kediaman mewahnya sekedar mengambil pakaian ganti dan memastikan Clara baik-baik saja. Pengasuh Clara menjaganya selama 24 jam. Clara sama sekali tak tahu jika ayahnya sakit. Ia hanya tahu ayahnya sangat sibuk belakangan ini.

"Good night, Dear. Have a nice dream." Nyonya Calisa berbisik lembut. Membenahi selimut putrinya. Mengecup kening gadis kecil lima tahun itu.

Perlahan Nyonya Calisa melangkah meninggalkan kamar. Menyusuri koridor lantai atas, kemudian berbelok ke ruangan berukuran sedang penuh mainan dan alat musik. Selain kamar bermain Clara, ruangan ini sering digunakan Tuan Calvin dan Nyonya Calisa untuk bermain musik.

Wanita kelahiran Kudus, 31 tahun silam itu, mengenyakkan tubuh di kursi depan grand piano. Meletakkan jemari lentiknya di atas tutsnya. Samar ia masih bisa merasakan kehangatan tangan Tuan Calvin menempel di sana. Ia tersenyum sendu. Terakhir kali Tuan Calvin bermain piano adalah kemarin malam. Namun sisa kehangatannya tetap membekas.

Setelah melakukan fingering, Nyonya Calisa mulai membawakan lagu. Ia bernyanyi sepenuh hati.

"If I said I miss you? I see your picture I smell your skin on the empty pillow next to mine."

Lagu I Miss You dari Simple Plan itu ia nyanyikan dengan penuh kerinduan dan kesedihan. Hanya Tuan Calvin yang ada di pikirannya. Belum apa-apa, ia sudah merindukan pria oriental itu. Bagaimana bila Tuan Calvin benar-benar pergi untuk selamanya?

Selesai menyanyikan lagu, Nyonya Calisa menyalakan gadgetnya. Membuka file foto, menatap foto-foto Tuan Calvin. Mematri wajah rupawannya di dalam hati. Betapa ia rindu dan takut kehilangan.

"Aku mencintaimu, Calvin...sangat mencintaimu."

Air mata Nyonya Calisa meleleh. Mudah sekali Allah membalikkan hati. Mula-mula benci, kini menjadi cinta. Semudah itu pula Allah membalik hati Nyonya Calisa.

**      

Bertahun-tahun lalu, Nyonya Calisa menjalani pernikahan dengan Tuan Calvin tanpa cinta. Siapa yang mau menjalani pernikahan seperti itu?

Cinta pertama akan selalu terkenang. Nampaknya, kalimat itu mampu merepresentasikan perasaan Nyonya Calisa. Setelah menikah dengan Tuan Calvin, cinta Nyonya Calisa hanya untuk pria lain. Nyonya Calisa tidak pernah mencintai Tuan Calvin.

"Wahyu...kenapa kamu pergi dariku? Kenapa kamu membiarkanku dinikahi si Calvin penyakitan dan mandul itu?" tangis Nyonya Calisa, menatap muram layar laptopnya. Memandang lekat-lekat potret cinta pertamanya.

"Kenapa kamu malah menikahi Marla, bukan aku?"

Tangan Nyonya Calisa gemetar saat menggerakkan mouse. Membuka program Microsoft Word, lalu mulai mengetikkan sesuatu. Wanita cantik yang pernah mengajar anak-anak di pedalaman Kalimantan Selatan dan relawan Kelas Inspirasi itu menumpahkan kesedihannya dalam tulisan. Puisi-puisi dan cerita pendek yang terpublikasi di blognya selalu bernuansa kepedihan. Nyonya Calisa tak dapat menahan perihnya hati saat menuliskan semua itu.

Derap langkah kaki menuruni tangga mengusik perasaannya. Konsentrasinya terpecah. Ternyata Tuan Calvin. Ia mendekati Nyonya Calisa. Merangkul hangat lengannya. Nyonya Calisa tak menolak, tak juga membalas.

"Kamu belum tidur?" Tuan Calvin bertanya lembut.

"Nanti," jawab Nyonya Calisa singkat.

"Sudah malam, Calisa. Jangan sampai kamu kurang istiraahat." bujuk Tuan Calvin, lembut dan sabar.

Mendengar itu, Nyonya Calisa mulai tak sabar. "Lebih baik kamu pergi, Calvin. Tinggalkan aku di sini. Aku ingin sendirian."

"Aku temani ya? Kamu masih ingin menulis, kan?"

Nyaris saja mouse itu dibantingnya dalam kekesalan yang memuncak. "Terserah kamu. Asal jangan ganggu aku."

"Baiklah. Aku akan tetap di sini sampai kamu selesai menulis. Atau mau kubuatkan teh?"

Kali ini Nyonya Calisa tak menjawab. Kembali menyibukkan diri dengan puisi cintanya.

Tuan Calvin duduk di samping istrinya. Memperhatikan dan menemaninya. Membaca setiap kata yang dituliskannya. Ia tahu pasti, untuk siapa puisi yang ditulis Nyonya Calisa. Jelas bukan untuknya. Melainkan untuk pria lain yang lebih dulu menghiasi hati Nyonya Calisa dengan cinta.

Cemburu? Tentu saja. Akan tetapi, Tuan Calvin berhasil menahannya. Mengelola kecemburuan sebaik mungkin.

Tak dapat diingkari, hatinya sakit. Menerima sikap dingin, tak peduli, dan keras dari Nyonya Calisa. Setahun berlalu, hati Nyonya Calisa belum melunak juga. Ia masih memperlakukan Tuan Calvin seperti orang asing. Ia bahkan tak pernah melayani Tuan Calvin. Jangan harap Nyonya Calisa akan membuatkan sarapan, menyiapkan pakaian, memasangkan dasi, atau membuatkan minuman hangat. Nyonya Calisa sibuk dengan dunianya sendiri: menyumbangkan banyak harta untuk kegiatan sosial, mengajar anak-anak di pedalaman, menulis, dan berkumpul dengan teman-temannya. Sesekali mencuri kesempatan bertemu cinta pertamanya. Semua itu ia lakukan tepat di depan mata Tuan Calvin.

Tak tergambarkan betapa dalam luka hati Tuan Calvin. Ia mencintai Nyonya Calisa setulus hati. Namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Meski begitu, cintanya tak berkurang sedikit pun. Rasa itu tetap ada di dasar hati.

Setengah jam berlalu. Nyonya Calisa belum menyelesaikan tulisannya. Tuan Calvin bangkit dan melangkah ke pantry. Membuatkan teh, lalu menyajikannya.

Wangi teh yang khas membelai indera penciuman Nyonya Calisa. Mau tak mau ia terkesan juga. Teh buatan Tuan Calvin selalu enak.

"Minum dulu tehnya. Kamu pasti suka." Tuan Calvin berujar lembut.

Hanya gumaman kecil mengiyakan. Cangkir kristal itu pun disentuh juga. Nyonya Calisa meminum teh buatan Tuan Calvin. Benar saja, tehnya terasa sangat enak. Nyonya Calisa beruntung memiliki pendamping hidup sebaik dan sesabar Tuan Calvin.

Setelah menghabiskan tehnya, Nyonya Calisa kembali meneruskan tulisannya. Tuan Calvin tetap di sana. Menemaninya, menyediakan waktu untuknya. Tak perlu banyak kata. Cukup waktu dan keberadaannya. Begitulah Tuan Calvin: penyabar, setia, dan konsisten.

Satu jam, satu setengah jam, dua jam. Akhirnya tulisan Nyonya Calisa selesai. Senyum puas merekah di bibir indahnya. Besok pagi ia akan memposting tulisan itu. Sama seperti Tuan Calvin, Nyonya Calisa juga seorang blogger. Mereka mempunyai target yang sama: one day one article.

Laptop dimatikan. Baru saja Nyonya Calisa bersiap bangkit dari sofa, ia terperangah. Tuan Calvin tertidur. Pasti ia kelelahan di tengah upayanya menemani sang istri. Belum lagi kondisi kesehatannya yang jauh dari kata baik.

"Hmm...kamu bisanya merepotkan saja. Mana mungkin kubangunkan? Kelihatannya lelah begitu..." Nyonya Calisa bicara pada dirinya sendiri.

Sedetik kemudian ia mendapat ide. Bergegas naik ke lantai atas, mengambil selimut tebal. Ia kembali turun dan menyelimuti Tuan Calvin.

**       

Mencoba mencari celah dalam hatimu

Aku tahu ku takkan bisa

Menjadi seperti yang kauminta

Namun selama nafas berhembus

Aku kan mencoba

Dan aku tahu dia yang bisa

Menjadi seperti yang kauminta

Namun selama aku bernyawa

Aku kan mencoba

Menjadi seperti yang kauminta (Mytha-Sepeerti yang Kauminta).

**      

Tugasnya selesai. Kelegaan mengaliri hati Tuan Calvin. Hari ini ia menjadi pembicara dalam seminar "Strategi UKM Bersaing Menghadapi Kompetisi Global".

Awalnya, Tuan Calvin ragu. Bisakah ia memberikan materi dalam kondisi seperti ini? Waktu tidurnya sedikit sekali. Terlebih ia merasakan sel-sel kanker itu kembali berulah. Tuan Calvin mencoba bertahan. Ia tak ingin mengecewakan perusahaan dan para audience. Selama memberikan materi, Tuan Calvin terus berdoa dalam hati agar ia dikuatkan. Doanya terkabul. Tuan Calvin dapat bertahan sampai seminar usai.

Diliputi perasaan lega dan puas, ia kembali ke rumah. Tak sabar ingin menuangkan hasil seminarnya dalam tulisan. Bahan yang bagus untuk artikel di blognya. Tuan Calvin rindu Nyonya Calisa pula. Ingin cepat-cepat memeluk tubuh ramping itu, menatap seraut wajah cantik dan menawan itu, mendaratkan belaian di rambut panjang itu. Walau Nyonya Calisa tak pernah membalas pelukan, tatapan, dan belaian lembutnya.

Apa yang ia dapati setiba di rumah sungguh tak terduga. Begitu menginjak lantai marmer ruang tamu, dilihatnya Nyonya Calisa bersama pria lain. Pria yang disebut-sebut sebagai cinta pertamanya.

Aliran darah Tuan Calvin serasa terhenti. Nyonya Calisa telah melanggar batas. Pertama, ia mengizinkan pria lain masuk ke dalam rumah saat suaminya tak ada di rumah. Kedua, ia terang-terangan bersikap mesra pada pria itu.

Bisa saja Tuan Calvin marah. Menegur istrinya, lalu mengusir pria dari masa lalu itu sejauh-jauhnya. Namun Tuan Calvin tidak melakukannya. Hatinya terlalu lembut untuk memproduksi kebencian. Kesabarannya seakan belum berbatas.

Melihat Tuan Calvin, Nyonya Calisa rileks saja. Tak sebersit pun merasakan penyesalan. Justru pria itu yang terlihat canggung. Ragu-ragu ia mendekati Tuan Calvin. Menyalaminya, lalu menyapa. Sepertinya kehadiran Tuan Calvin adalah pertanda. Pertanda untuk mengakhiri gelora asmara terlarang. Cepat-cepat sang pria penggurat cinta pertama pergi. Kabur bersama Mercy silvernya.

"Puas kamu, Calvin?! Baru saja aku dan Wahyu bertemu lagi setelah bertahun-tahun terpisah!" hardik Nyonya Calisa. Kedua matanya mencerminkan kemarahan.

"Sorry Calisa, aku sama sekali tidak bermaksud mengganggu kalian..."

Kurang baik apa Tuan Calvin? Ia sama sekali tak bersalah. Namun dialah yang meminta maaf. Bukankah seharusnya kata maaf terucap dari Nyonya Calisa?

"Kamu hanya bisa merusak kebahagiaan orang lain! Sejak kamu menikahiku sampai sekarang, kamu hanya menyiksaku! Siapa yang mau menikah tanpa cinta?! Apa lagi dengan pasangan hidup yang tidak mungkin memberikan keturunan!"

Hati Tuan Calvin hancur. Ucapan Nyonya Calisa pantas disebut sebagai hinaan. Sakit sekali mendengarnya. Bukan Calvin Wan namanya jika membalas kemarahan dengan kemarahan pula. Dengan lembut, ia mencoba meredam amarah Nyonya Calisa.

"Sekali lagi aku minta maaf, Calisa." ujar Tuan Calvin penuh perasaan.

"Aku tahu, hanya dia yang bisa menjadi seperti yang kamu minta. Aku janji...selama aku bisa, selama aku diberi kesempatan untuk hidup, aku akan mencoba menjadi seperti yang kamu minta. Akan kulakukan apa pun untuk membahagiakanmu. Aku memang tidak sesempurna dan sesehat pria-pria lainnya. Kuharap kamu mau menerima cinta dari pria tak sempurna ini. Karena aku, Calvin Wan, hanya mencintai Dinda Calisa."

Kata-kata Tuan Calvin teramat lembut dan tulus. Sayangnya, Nyonya Calisa tak tersentuh. Ia bahkan mendorong Tuan Calvin ketika pria tampan penyuka Hugo Boss itu akan memeluknya.

"Aku tidak mau menerima cintamu! Silakan mencintaiku Calvin, tapi jangan harap aku akan menerima dan membalasnya!"

Dengan kata-kata itu, Nyonya Calisa meninggalkan Tuan Calvin. Menaiki tangga ke lantai atas. Tak peduli bahwa perkataannya sangat menyakitkan.

Hati Tuan Calvin berdarah. Luka yang belum mengering kini bertambah parah. Frustrasi hanya bisa ia curahkan lewat tulisan dan piano. Menulis, menyanyi, dan bermain piano. Hanya itu pelampiasan terbaiknya.

Tuan Calvin memainkan pianonya. Membawakan lagu-lagu mellow dan gloomy. Berharap kepedihannya hilang setelah ia membawakan semua lagu itu.

**      

Note:

Fingering: salah satu teknik bermain piano. Yakni teknik meletakkan posisi jari dengan benar di atas tuts piano. Gunanya untuk menyeimbangkan nada dasar dan candance.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun