Mendengar itu, Nyonya Calisa mulai tak sabar. "Lebih baik kamu pergi, Calvin. Tinggalkan aku di sini. Aku ingin sendirian."
"Aku temani ya? Kamu masih ingin menulis, kan?"
Nyaris saja mouse itu dibantingnya dalam kekesalan yang memuncak. "Terserah kamu. Asal jangan ganggu aku."
"Baiklah. Aku akan tetap di sini sampai kamu selesai menulis. Atau mau kubuatkan teh?"
Kali ini Nyonya Calisa tak menjawab. Kembali menyibukkan diri dengan puisi cintanya.
Tuan Calvin duduk di samping istrinya. Memperhatikan dan menemaninya. Membaca setiap kata yang dituliskannya. Ia tahu pasti, untuk siapa puisi yang ditulis Nyonya Calisa. Jelas bukan untuknya. Melainkan untuk pria lain yang lebih dulu menghiasi hati Nyonya Calisa dengan cinta.
Cemburu? Tentu saja. Akan tetapi, Tuan Calvin berhasil menahannya. Mengelola kecemburuan sebaik mungkin.
Tak dapat diingkari, hatinya sakit. Menerima sikap dingin, tak peduli, dan keras dari Nyonya Calisa. Setahun berlalu, hati Nyonya Calisa belum melunak juga. Ia masih memperlakukan Tuan Calvin seperti orang asing. Ia bahkan tak pernah melayani Tuan Calvin. Jangan harap Nyonya Calisa akan membuatkan sarapan, menyiapkan pakaian, memasangkan dasi, atau membuatkan minuman hangat. Nyonya Calisa sibuk dengan dunianya sendiri: menyumbangkan banyak harta untuk kegiatan sosial, mengajar anak-anak di pedalaman, menulis, dan berkumpul dengan teman-temannya. Sesekali mencuri kesempatan bertemu cinta pertamanya. Semua itu ia lakukan tepat di depan mata Tuan Calvin.
Tak tergambarkan betapa dalam luka hati Tuan Calvin. Ia mencintai Nyonya Calisa setulus hati. Namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Meski begitu, cintanya tak berkurang sedikit pun. Rasa itu tetap ada di dasar hati.
Setengah jam berlalu. Nyonya Calisa belum menyelesaikan tulisannya. Tuan Calvin bangkit dan melangkah ke pantry. Membuatkan teh, lalu menyajikannya.
Wangi teh yang khas membelai indera penciuman Nyonya Calisa. Mau tak mau ia terkesan juga. Teh buatan Tuan Calvin selalu enak.