“Okey, aku pergi. Tapi kamu terima ini ya?” kata Dani seraya mengulurkan bawaannya.
Tanpa kata, Rosline merebut bungkusan di tangan Dani. Melempar bungkusan itu ke lantai. Semua makanan di dalamnya jatuh dan berantakan. Dani terbelalak melihatnya. Bukankah seseorang yang religius tidak akan bersikap sekasar itu? Beginikah cara Rosline menghindarinya? Dani memang paham, bahwa biarawan-biarawati harus memutuskan komunikasi dengan orang lain. Mereka belajar hidup sendiri. Menghayati hidup selibat atau tidak menikah. Namun, haruskah sekasar itu caranya?
Perlahan Dani melangkah mundur. Berbalik menuju sepedanya yang terparkir di halaman. Tiap kali datang ke kompleks biara, Dani tak pernah naik motor atau mobil. Kalau tidak berjalan kaki, ia memilih naik sepeda.
Dani memacu sepedanya meninggalkan kompleks biara. Makin lama kecepatannya makin tinggi. Hatinya sakit sekaligus bertanya-tanya. Rosline sudah berulang kali menyakitinya, tapi ia tetap mencintainya. Sebenarnya, apa yang ia lihat dari Rosline? Rosline memang cantik, baik, dan pintar. Tapi masih banyak gadis di sekolahnya yang jauh lebih cantik dan lebih baik segala-galanya dari Rosline. Harta kekayaan? Bibit, bebet, bobot? Dani bahkan tidak tahu seperti apa keluarga Rosline. Dani hanya tahu kalau Rosline berdarah Minahasa. Itu saja. Satu hal yang pasti, Dani mencintai Rosline tanpa syarat. Ia tak perlu alasan apa pun untuk mencintai Rosline.
Tiba di persimpangan jalan, Dani teringat sesuatu. Sore ini ia harus latihan band. Waktunya ke studio. Nah, lihatlah itu. Dani sangat aktif dan berbakat. Ia tergabung di ekskul paduan suara. Sekarang ini ia dan teman-temannya punya band yang cukup ngetop di kota mereka. Mereka sering mengisi acara di berbagai event, baik event yang diadakan instansi pemerintah maupun swasta. Sibuk bermusik tidak membuat Dani melupakan pelajaran. Ia selalu menempati ranking 10 besar. Sesuai ajakan sepupunya yang bermata biru itu, beberapa bulan lagi Dani akan mengikuti ajang pemilihan duta wisata. Semacam Mojang Jajaka di Jawa Barat, Dimas Diajeng di Yogyakarta, Kakang Mbakyu di Malang, Dara Daeng di Sulawesi Selatan, Putra-Putri Solo di Solo, dan Abang None di Jakarta. Tiap kota dan provinsi mempunyai agenda pemilihan duta wisata dengan nama khas dari daerahnya masing-masing. Bukankah jauh sekali perbedaan Dani dan Rosline? Seperti langit dan bumi?
Meski seperti langit dan bumi, apakah mereka tidak boleh bersatu? Pikiran Dani bertambah kacau. Pernah ia mencoba membenci Rosline, sama seperti sepupunya yang pernah mencoba membenci Albert. Namun tak bisa. Ia justru semakin mencintai calon biarawati itu.
Konsentrasi Dani hilang. Ia mengebut dan terus mengebut. Sampai-sampai tak menyadari beberapa meter di depannya terdapat tikungan tajam.
“Daniiii...awaaaas!”
Sebuah suara sopran menjerit tertahan dari ujung jalan dekat danau. Dani tak mendengarnya. Ia terjang begitu saja tikungan tajam itu. Laju sepeda sudah kehilangan kendali. Dani berteriak, sepedanya terbalik. Ia mendarat mulus di got. T-shirt dan jeansnya kotor.
Seorang gadis berambut lurus panjang berlari menghampirinya. Tangan halusnya terulur, membantu Dani berdiri. Nama gadis itu Annisa. Gadis berdarah Timur Tengah itu satu sekolah dengan Dani. Ayahnya seorang pejabat BUMN, ibunya pebisnis. Sudah rahasia umum bahwa Annisa menaruh hati pada Dani. Ia tetap mencintai Dani walaupun perasaan cintanya tak terbalas.
“Lain kali hati-hati ya? Kamu habis dari biara?” Annisa bertanya lembut.