“Orang tua kandung Arif?” Tuan Yazid memastikan.
“Iya.”
Mereka pun beranjak meninggalkan rumah sakit. Berpamitan pada tim medis.
Di mobil, gadis itu melampiaskan rasa sedih dan sakit hati dengan memeluk bonekanya erat-erat. Ia duduk sendirian di bangku belakang. Sedangkan Mama-Papanya duduk di bangku depan.
“Kamu kenapa, Non? Kalo kamu nggak cerita, gimana Mama tahu? Mama nggak boleh tahu?” bujuk Mamanya sabar.
Gadis itu menggeleng kuat-kuat. Ia mengalihkan pembicaraan. Menanyai Papanya. Meminta pria berzodiak Leo itu menceritakan kehidupannya di lembaga pendidikan itu puluhan tahun lalu. Mamanya ikut teralihkan perhatiannya. Mendesak sang suami untuk bercerita.
“Hmm...apa ya?” Papa berpikir-pikir. Bingung apa yang harus diceritakan.
“Yang jelas...rutinitas di sana benar-benar terjadwal dengan sistematis. Pagi-pagi sekali, kami sudah bangun. Berkumpul di tempat ibadah, menjalani ritual ibadah pagi. Lalu...”
Setelah dibujuk, rupanya Papa bisa bercerita dengan lancar. Bahkan antusias. Tentang ketatnya peraturan di tempat itu, sarana komunikasi yang dibatasi, keheningan di saat-saat tertentu, kurangnya intensitas bertemu keluarga, dan kenakalan kecil yang dilakukan beberapa orang. Cerita terus berlanjut sampai akhirnya Papa keluar dari tempat itu, meninggalkan tembok-tembok tingginya yang angkuh dan angker.
“Sudah lama Papa tidak ke sana lagi...” desah Papa, mengakhiri ceritanya.
“Mungkin suatu saat nanti. Jika Papa ada waktu.”