Dua titik bening membayangi pelupuk mata Chika. Dengan suara bergetar, ia menyahut.
“Tante boleh hina saya, tapi jangan pernah hina Jeany.”
“Terserah saya! Saya hanya mau kamu realistis! Kamu wanita yang tidak pantas untuk Ilyas!”
Andai saja wanita itu tahu, Ilyaslah yang tidak pantas untuk Chika. Pria pemalas dan keras hati sepertinya tak sepadan untuk wanita cerdas, cantik, dan berperasaan halus seperti Chika. Ilyas hanyalah pebisnis muda yang terlalu jahat dan jauh dari kata tekun. Alhasil perusahaan yang dipercayakan kepadanya kolaps. Sedangkan Chika tipe wanita pekerja keras yang berhasil menyeimbangkan hidup antara karier dan keluarga. Meski jadwal pekerjaannya sebagai dosen, peneliti, penulis, dan news anchor tergolong padat, ia masih bisa mengurus Jeany dengan baik. Bolak-balik kampus, studio televisi, dan rumah tak dijadikannya sebagai beban. Justru Chika puas bisa menjadi wanita karier sekaligus ibu yang baik untuk Jeany.
Kontras dengan Ilyas. Ia tak pernah sekali pun memperhatikan Jeany. Ia bahkan membenci anak itu. Bisnisnya hancur, ia melakukan pelarian dengan hal-hal negatif. Sampai akhirnya ia menduakan Chika. Chika memutuskan untuk berpisah.
Selangkah demi selangkah, Chika meninggalkan rumah penuh kenangan buruk itu. Dihampirinya Jeany yang masih menunggu di balik pagar. Demi ketenangan psikis Jeany, Chika tak membawanya masuk ke dalam rumah Ilyas.
“Ayo Sayang,” ajak Chika.
Jeany menurut. Berdua mereka menyusuri jalan. Melewati blok demi blok di kompleks perumahan elite itu. Sesekali Chika berhenti. Menanyai beberapa orang. Sorot keputusasaan terpancar di matanya.
“Jadi, Ketua RW-nya dinas ke luar kota?” desahnya putus asa.
“Iya...mendingan Teteh ke rumah wakilnya aja. Wakilnya ganteng lho, Teh. Masih muda...bageur.”
Seorang ibu muda yang ditanyai Chika memberi saran. Ia begitu memuji sang wakil, hingga menyebutnya ‘Bageur’. Lingua Sunda untuk kata ‘baik’.