Di balik wajah cantiknya, tersimpan beban hidup yang begitu berat. Senyumnya menerbitkan tanda tanya, apakah dia benar-benar wanita jelita yang menjalani kehidupan sempurna? Namun, matanya yang berbicara. Sepasang mata bening yang mencerminkan kedalaman hati.
“Kamu yakin mau urus berkas-berkas itu sendiri?” tanya Mami untuk ketiga kalinya.
“Terlalu berisiko, Chika. Apa lagi kamu ajak Jeany. Apa tidak sebaiknya Jeany tinggal di sini saja? Biar Mami yang urus,”
Chika menggeleng kuat-kuat. Melanjutkan berkemas. Ia sudah mantap untuk membawa Jeany ke kota kelahirannya.
“Nanti kalau Ilyas berbuat macam-macam lagi gimana? Kasihan Jeany...” Mami tak lelah membujuk.
“Mami tenang ya? Insya Allah semuanya baik-baik saja. Ada Allah bersama Chika dan Jeany.” Kata Chika menenangkan.
Mami menghela nafas. Tak bisa lagi berargumen. Tepat pada saat itu, Jeany turun dari lantai atas bersama pengasuhnya. Gadis kecil sepuluh tahun berwajah manis itu menghampiri Chika.
“Bunda, kita berangkat sekarang kan?” tanyanya.
“Iya, Sayang. Pamit dulu sama Oma.” Chika menuntun Jeany ke dekat Mami. Meraih tangan wanita anggun itu dan menciumnya.
“Jeany pergi dulu ya, Oma. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati, Jeany.”