Sang manttan pengikut Santo Fransiskus Asisi itu terus mendengarkan. Ia begitu sabar dan lembut. Bercerita padanya sedikit-banyak membuat perasaan Maurin lebih tenang.
“Awalnya dia menyudutkan aku. Melemahkan posisiku. Menyalahkanku karena telah memberi pandangan baru pada Albert tentang psikologi dan keluarga. Apakah aku sudah merusak calon Imam, Mas Roman?”
Tanpa mengenal lelah, pria baik hati itu meyakinkan Maurin jika ia sama sekali tidak bersalah. Bukan dirinya yang merusak calon Imam. Kata-katanya membawa pengaruh positif di hati Maurin.
“Aku tidak bersalah, kan? Oh astaga...harusnya aku yang mendengarkan dan membantumu. Tapi malah kebalikannya. Well, Mas Roman baik-baik saja kan?” ujar Maurin, merasa bersalah.
“Saya baik-baik saja.” Balas pria itu menenteramkan.
“Alhamdulillah...”
**
Pukul dua pagi, Maurin masih terjaga. Mungkin ia takkan tidur malam ini. Sisa malam dilewatkannya dengan zikir dan doa. Sesekali mendengarkan musik dan menyetel radio. Menyimak program favoritnya di waktu tengah malam ke atas.
Ia masih mengharapkan Albert di sisinya. Namun ternyata pemuda itu belum sadar. Justru pria-pria lain yang datang. Satu ia hindari, satu pria lainnya ia percayai karena bisa membuatnya tenang. Pria yang ia percaya.
Lelah dengan hatinya, Maurin beranjak menghampiri piano. Memainkan tuts hitam-putihnya, lalu bernyanyi.
Ha nacido un sol