" I'M NOTSURE IF I'M DEPRESSED. I MEAN, I'M NOT SAD .BUT I'M NOT EXACTLY HAPPY EITHER. I CAN LAUGH AND JOKE AND SMILE DURING THE DAY, BUT SOMETIMES WHEN I'M ALONE AT NIGHT I FORGET HOWTO FEEL "
“Nih, udah jadi. Bagus kan?” Dani tersenyum. Mengulurkan tiruan bintang berukuran mungil yang terbuat dari karet pada Dafa.
Kanak-kanak itu tertawa lebar. Menerimanya dengan girang. Lalu berlari menghampiri para sepupu yang lebih kecil, Keanu dan Chelsea.
Sesaat Dani memperhatikan ketiga adik sepupunya bermain di halaman. Senyuman masih tersisa di wajah tampannya. Pemuda enam belas tahun dengan tinggi 170 senti itu menyukai anak kecil. Mungkin lantaran ia terlahir sebagai anak bungsu.
“Hei...”
Seorang gadis bergaun kombinasi putih dan coklat menepuk pundaknya. Ujung gaunnya menyapu halaman berumput.
“Mbak Maurin?” sapanya gugup.
“Kalo mau sedih keluarin aja. Ada aku kok yang siap nampung kesedihan kamu...jangan jadi eccedentesiast.” Kata si gadis lembut.
Eccedentesiast, istilah psikologis yang merujuk pada seseorang yang menyembunyikan rasa sakit di balik senyum. Mereka bisa tersenyum dan tertawa ceria di depan banyak orang. Mereka bahkan terlihat bahagia dan tak memiliki beban apa pun. Namun saat sendirian, mereka justru sangat rapuh.
“Nah lho, bukannya Mbak Maurin kayak gitu juga? Mbak, hypnotherapy aku dong. Konseling juga ya? Aku beneran kena problem berat nih.” Pinta Dani.
“Boleh boleh. Duduk di sana yuk. Capek berdiri terus. Pegal tahu, pakai long dress dan high heels 9 senti.” Ajak Maurin. Dani menggandeng tangannya ke bangku kayu di bawah rerimbunan pohon palem yang meneduhi halaman.