Melihat itu, Maurin refleks memalingkan pandang. Ia tak tahan. Didera problem berkepanjangan, ditambah lagi harus melihat sesuatu yang tidak diinginkannya. Sungguh, gadis bermata kelabu itu lelah jiwa-raga. Tak satu pun yang mengerti dirinya, mengerti perasaannya. Mereka semua menganggapnya selalu kuat dan tegar. Kenyataannya, ia sama seperti mereka. Bisa merasakan sedih, kecewa, dan amarah.
“Maurin,”
Tiba-tiba Ghina mendekatinya. Gadis berhijab biru muda itu tersenyum, mengusap lengannya.
“Ya? Kenapa, Ghina?” tanya Maurin, balas tersenyum bersahabat.
“Kamu ada waktu kapan? Mau curhat sama hypnotherapy dong...”
Sesaat Maurin berpikir-pikir. Mengingat waktu kosong yang dimilikinya.
“Hmmm...gimana kalo besok siang aja? Sebelum aku latihan PSM. Okey?” ujarnya.
“Aduh, aku nggak bisa. Besok aku ada rapat Himpunan.” Ghina refleks menepuk dahinya.
“Oh gitu. Ya udah, nanti aku kabarin lagi kalo aku free. Insya Allah sebelum akhir semester, masalah kamu teratasi.” Janji Maurin.
“Sip. Thanks Maurin.”
Ghina bergegas pergi. Lagi-lagi Maurin sendiri. Rata-rata teman sekelasnya begitu. Datang mendekatinya saat mereka membutuhkan bantuan. Entah diminta mengajari materi perkuliahan, mengerjakan tugas, mendengarkan cerita permasalahan hidup mereka, dan minta dibantu menyelesaikan masalah. Setelah itu Maurin akan kembali sendiri. Di sini, ia tidak punya seseorang yang benar-benar selalu ada untuknya. Orang yang memahami dirinya luar-dalam.