“Kanker darah itu kembali.”
Asumsinya tak keliru. Leukemia, sekali lagi menginvasi tubuhnya. Pernyataan sembuh dari kanker rupanya tak menjamin apa-apa. Toh pada akhirnya sel-sel darah putih di tubuhnya akan tumbuh berkali lipat lebih banyak dan menghancurkan sistem antibodinya sendiri. Ironis.
“Berapa lama aku bisa bertahan?” tanya Albert datar.
“Jangan berkata begitu,” cegah Nico buru-buru. Tertangkap nada cemas dalam suaranya.
“Kamu pasti sembuh. Ikutilah prosedur pengobatan seperti dulu. Kemoterapi, pemakaian obat-obat sitostatika, dan radioterapi. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja.”
Albert mengangguk perlahan. Ya, ia percaya masih ada setitik harapan. Harapan kesembuhan.
“Kamu harus menjalani rawat inap di rumah sakit, okey?” kata Nico.
“Tapi...bagaimana dengan pekerjaanku? Klien-klienku?” protes Albert.
Nico menatapnya tajam. Pria kelahiran 15 Juni itu berujar tegas.
“Bukannya kamu masih ingin hidup lebih lama? Turutilah saranku.”
Percuma saja berargumen dengan Nico. Lagi pula, ini demi kebaikannya sendiri. Mau tak mau Albert harus menurut. Mesti ditekannya dalam-dalam rasa muaknya pada rumah sakit.