Tidak hanya terjadi di jaman Siti Nurbaya saja, ternyata tradisi menjodohkan dan dijodohkan masih berlaku di masyarakat jaman modern seperti saat ini. Saya salah satunya yang menjadi "korban" perjodohan.
Ini bukan kisah tentang Romeo and Juliet, namun kisah ini tidak kalah serunya. Inilah kisahku!
Eits, sebelum membaca harus siapkan terlebih dahulu segelas teh hangat dan stoples kudapan favorit untuk menemani teman-teman semua ya.
***
Awal perkenalan.
Tahun 2002 , saya dan suami bertemu tidak sengaja di rumah salah satu sahabat kami. Sahabat kuliah saya ternyata juga adalah sahabat suami saya saat SMA. Wiwit namanya.
Saat itu saya dan Wiwit sedang mengerjakan tugas kelompok salah satu mata kuliah kami. Kemudian seseorang datang dengan mengendarai sepeda motor Honda Astrea Grand warna hitam dan langsung di parkir di depan pintu rumah.Â
Tidak lama kemudian, "Assalamualaikum..." terdengar suara orang memberi salam dan mengetuk pintu. Lelaki berkulit sawo matang dengan badan tinggi tegap dan rambut plontos masuk setelah Wiwit membukakan pintu.
"Wah siapa ini Wit?" tanyanya.
"Oh ini temen Wiwit, kenalin namanya Mayang" jawab Wiwit.Â
"Eko Agus." Dia menyebutkan namanya.
 Akhirnya kami berkenalan dan kami bertiga terlibat obrolan ringan.
Tidak terasa hari sudah semakin sore, tugas kuliah pun sudah rampung kami kerjakan, dan saatnya pulang. Â
"Bareng aja pulangnya kan kalian satu arah." Celetuk Wiwit pada kami. Karena malu, kami sama-sama terdiam tidak ada yang menjawab.Â
"Emang kamu tinggal dimana?" Dia memberanikan diri untuk bertanya.
"Di Cicukang depan pos tiga Lanud Sulaiman" jawabku.
"Wah beneran satu arah kita, saya mau kembali ke mess Paskhas di Lanud Sulaiman juga" lanjutnya.
Dengan pertimbangan Bandung yang baru di guyur hujan, jam sudah menunjukkan jam pulang kantor yang pastinya akan terjebak macet yang panjang bila harus naik angkutan umum, dan jarak dari rumah Wiwit ke rumah saya juga lumayan jauh sekitar satu jam. Akhirnya saya menyetujui usulan Wiwit.Â
Saya membonceng di belakang ketika semua tugas dan buku selesai saya masukkan ke dalam tas dan berpamitan kepada orang tua Wiwit terlebih dahulu.
"Assalamualaikum.." kami tidak lupa mengucapkan salam sembari Mas Eko perlahan menghidupkan sepeda motornya.
"Ciye-ciye" ejekan Wiwit mengakhiri pertemuan sore itu.
Memutuskan untuk menikah.
Setelah pertemuan itu, saya kerap menjadi bahan gurauan Wiwit. Sering sekali saya mendengar dia mengucapkan "Ciye-ciye" ketika saya menerima SMS atau telepon dari Mas Eko.Â
Padahal waktu itu saya masih belum yakin kalau saya akan jadi istrinya Mas Eko nantinya.
Saat itu Wiwit jadi sering bercerita tentang Mas Eko bila jam kuliah selesai. Menurut penuturannya, saya dan Mas Eko banyak kesamaan. Sama-sama "berbau" TNI dan karena sifat kami juga yang banyak memiliki kesamaan jadi akan cocok nantinya. (Padahal kan belum tentu ya. Hehehe...)
Yaps, saya lahir dan besar di keluarga TNI. Walaupun bapak saya bukan anggota TNI, namun karena kakek dan kakak ipar dari bapak adalah anggota TNI juga jadi saya sudah tidak asing lagi dengan dunia TNI.Â
Ada banyak cerita yang kerap saya dengar dari mereka, mulai dari pengalaman berdinas di luar pulau jawa, keluar masuk hutan, sampai saking lamanya dinas ada beberapa anak anggota (yang masih balita) memanggil ayah mereka dengan sebutan "Om". Karena dahulu belum ada hp secanggih sekarang ini, jadi mereka kesulitan untuk berkomunikasi. Subhanallah ya.
Selama enam tahun kami berkenalan, akhirnya perjalanan "perjodohan" kami menemukan ujungnya. Pelaminan.
Bukan karena kami tidak cocok, namun lebih tepatnya kami harus melewati masa-masa "ujian" terlebih dahulu. Mulai dari terpisahkan oleh kedinasan sampai berbenturan dengan rencana-rencana yang lain.
Tahun 2008, Alhamdulillah kami melangsungkan pernikahan di Bogor tempat kedua orang tua saya. Dan kini, kami sudah dikaruniai tiga orang anak. Alhamdulillah.
***
Berbicara mengenai "Dijodohkan" itu tidak melulu soal dampak yang negatif, ternyata dijodohkan juga ada sisi positifnya juga loh.Â
Orang yang akan menjodohkan pastinya sudah tahu tentang latar belakang pendidikan dan keluarganya, sudah hafal akan sifat dari kedua belah pihak, dan memiliki segudang informasi yang akurat tentang masing-masing orang yang akan dijodohkan.Â
Jadi intinya, sudah melalui berbagai macam pertimbangan-pertimbangan yang matang. Apalagi bila yang menjodohkan itu adalah orang tua dari masing-masing kedua belah pihak. Pastinya sudah melalui tahapan seleksi bibit bebet bobot nya. Insyaallah.
Tinggal kita yang dijodohkan, apakah bersedia atau tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H