Tidak terasa hari sudah semakin sore, tugas kuliah pun sudah rampung kami kerjakan, dan saatnya pulang. Â
"Bareng aja pulangnya kan kalian satu arah." Celetuk Wiwit pada kami. Karena malu, kami sama-sama terdiam tidak ada yang menjawab.Â
"Emang kamu tinggal dimana?" Dia memberanikan diri untuk bertanya.
"Di Cicukang depan pos tiga Lanud Sulaiman" jawabku.
"Wah beneran satu arah kita, saya mau kembali ke mess Paskhas di Lanud Sulaiman juga" lanjutnya.
Dengan pertimbangan Bandung yang baru di guyur hujan, jam sudah menunjukkan jam pulang kantor yang pastinya akan terjebak macet yang panjang bila harus naik angkutan umum, dan jarak dari rumah Wiwit ke rumah saya juga lumayan jauh sekitar satu jam. Akhirnya saya menyetujui usulan Wiwit.Â
Saya membonceng di belakang ketika semua tugas dan buku selesai saya masukkan ke dalam tas dan berpamitan kepada orang tua Wiwit terlebih dahulu.
"Assalamualaikum.." kami tidak lupa mengucapkan salam sembari Mas Eko perlahan menghidupkan sepeda motornya.
"Ciye-ciye" ejekan Wiwit mengakhiri pertemuan sore itu.
Memutuskan untuk menikah.
Setelah pertemuan itu, saya kerap menjadi bahan gurauan Wiwit. Sering sekali saya mendengar dia mengucapkan "Ciye-ciye" ketika saya menerima SMS atau telepon dari Mas Eko.Â