Mohon tunggu...
Lanjar Wahyudi
Lanjar Wahyudi Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati SDM

Menulis itu mengalirkan gagasan untuk berbagi, itu saja. Email: lanjar.w77@gmail.com 081328214756

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar dari Ilham "Bocah Ngapa(k)" agar Lugu Tidak Berubah Menjadi Bebal

26 Desember 2021   00:15 Diperbarui: 26 Desember 2021   17:03 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bocah Ngapa(k) | Sumber: trans7.co.id

Tanyangan Bocah Ngapa(k) di salah satu stasiun TV maupun di channel YouTube seringkali membuat pemirsa terpingkal-pingkal oleh kelakuan Ilham, Fadly, dan Azkal. 

Sebenarnya mereka tidak hanya menjual kelucuan saja dalam setiap seri yang tayang, namun ada banyak pelajaran berharga tentang kehidupan nyata yang mereka coba angkat bagi kita. 

Ilham adalah tokoh sentral yang menampilkan karakter lugu, culun, polos, lucu, gemesin, juga seringkali usil terhadap teman-temannya.

Rasanya pantas kita belajar dari Ilham, tentu bukan belajar agar menjadi sosok yang harus selalu lugu sepanjang hayat, namun justru belajar agar lugu tidak berubah menjadi naif, bebal, bahkan menjadi masa bodoh yang akut.

Suatu kali Ilham menjadi juara sekolah, sebuah prestasi akademik yang istimewa karena menjadi the best di antara siswa-siswa yang lain. 

Sebagai bentuk perhatian dari pemerintah desa Sadang Wetan, maka pak Lurah berniat mengundang Ilham ke kantor kelurahan untuk menerima beasiswa. Oleh karena itu ibu guru memberitahukan kepada Ilham perihal tersebut. Kemudian terjadilah percakapan berikut:

Bu Guru: Ilham selamat ya, kamu berhasil menjadi juara sekolah, kamu hebat lho, Ham.

Ilham: Iya Bu, terima kasih (tersenyum bangga).

Bu Guru: Nah sebagai bentuk penghargaan nanti kamu akan dipanggil Pak Lurah, Ham.

Ilham: Hah, dipanggil Pak Lurah? Ilham tidak mau Bu, Ilham masih mau sekolah, enggak mau jadi Lurah (mimik penuh ketakutan).

Gubraaaak...

Ilham dalam Bocah Ngapa(k) | sumber: foto pribadi
Ilham dalam Bocah Ngapa(k) | sumber: foto pribadi
Sifat lugu seringkali kita jumpai pada diri anak-anak, mereka identik dengan sifat kekanak-kanakan yang polos, berpikir lurus apa adanya, dan lugas. 

Keluguan yang demikian adalah hal yang sangat bisa dimengerti seturut dengan perkembangan intelejensi mereka, bahkan seringkali hal-hal yang demikian justru membuat orang tua merasa lebih sayang karena kesan lucu yang alamiah.

Namun demikian ada pula sifat lugu kebablasan yang muncul pada diri seseorang yang secara usia sudah bisa disebut sebagai manusia dewasa, yang pada umumnya pertumbuhan fisik dengan segala fungsi panca indera maupun perkembangan mental emosionalnya berjalan seiring menjadi semakin baik. Akan tetapi pada manusia dewasa yang sifat lugunya kebablasan tentu akan menjadi masalah dalam pergaulannya.

Bayangkan jika seandainya dalam sebuah sidang kabinet yang membahas tentang situasi pandemi nasional yang mengganas, yang menimbulkan banyak korban jiwa, dan menggerus dana kas negara bahkan memaksa relokasi anggaran dari berbagai kementerian demi penyelamatan rakyat.

Setelah pak Jokowi selesai memberikan paparan langkah-langkah darurat kepada kabinet menteri, kemudian berkata, "Silakan jika ada yang ingin bertanya, bahkan pertanyaan yang paling bodoh sekalipun, kalau ada silakan?"

Kemudian seorang menteri dengan cepat menyahut, "Maaf Bapak Presiden, karena tahun ini berhubung kas negara sedang susah sehingga tidak terjadi kenaikan gaji menteri, apakah bisa kenaikan gaji menteri tahun depan bisa dirapel?" 

Awok..awok..awok......ngek-ngok.

Pasti rasanya kesal kan mendengar konten pertanyaan yang demikian. Yang dibahas apa, yang ditanya apa. 

Situasi umum yang terjadi di masyarakat, konteks bahasan rapat yang spesifik, dan suasana emosional yang penuh keprihatinan dan membutuhkan empati penyelenggara negara menjadi rusak bubar jalan gegara sebuah pertanyaan bodoh.

Betul Pak Presiden mempersilakan jika ada pertanyaan yang paling bodoh sekalipun boleh ditanyakan, tetapi tetap saja harus dilihat konteksnya, latar belakangnya, dan suasana emosional yang melingkupinya. 

Maka tentu saja pertanyaan bodoh yang dimaksud adalah pertanyaan yang mungkin terlihat aneh, asing, dan muskil namun bisa jadi memacing ide-ide lebih besar yang justru bila digali lebih mendalam akan memberikan kontribusi pemecahan masalah tersebut.

Pertanyaan bodoh jika ditanyakan seseorang dengan atribut jabatan dan pangkat yang tinggi, usia yang matang, status sosial terpandang, apalagi dengan titel akademik yang tinggi seperti ilustrasi di atas bukan lagi disebut sebagai lugu, tapi lugu yang kebablasan, bahkan mungkin bebal atau bisa dikatakan masa bodoh.

Sifat lugu yang kebablasan disebut juga sebagai naif, yaitu sebuah sifat yang memandang segala hal itu sebagai nampak apa adanya, segala sesuatu itu lurus-lurus saja, memandang dunia ini hanya sebagai hitam dan putih. 

Seorang yang naif tidak mencoba menggali apakah ada makna tersirat yang perlu digali dan dimaknai lebih mendalam sebagai dasar untuk menentukan sikap yang akan diambil kemudian. 

Maka seringkali kita merasa kesal dengan pola pikir dan pola tindak mereka yang naif ini.

Ketika sifat naif ini menjadi semakin parah dan terus melekat seiring pertambahan usia maka akan sangat mungkin jika kemudian berubah menjadi sifat bebal. Yaitu sangat lambat untuk mengerti dan memahami sesuatu, lebih mengikuti kesimpulan diri sendiri yang diambil dalam ketidaktahuan, kurang pengertian maupun pengalaman. Sehingga tindakan yang diambil menyimpang dari nilai-nilai umum yang diyakini masyarakat sebagai panduan hidup bersama.

Melansir dari website kbbi.web.id mengenai "bebal". Kata "bebal" tergolong kata sifat yang memiliki arti sukar mengerti; tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran); bodoh.

Sikap "ngeyel" mempertahankan pendapat maupun tingkah laku, yang tidak didasari dengan pengetahuan atau pertimbangan yang mendalam, dan hanya didasarkan pada sudut pandang pemikiran sendiri adalah sikap "sak karepe dhewe" yang merepresentasikan sifat bebal.

Contoh sifat bebal yang lain adalah kebiasaan tidak memakai helm saat mengendarai sepeda motor karena meyakini bahwa sehat-sakit maupun hidup-mati sudah ada yang mengatur. Tunduk kepada Tuhan lebih utama dari pada tunduk kepada aturan-aturan kemasyarakatan dan pemerintah.

Jadi untuk apa mengkuatirkan mengenai sakit apalagi mati, selama yakin teguh pasti akan selamat. 

Bayangkan jika kemudian terjadi kecelakaan terbentur aspal, potensi selamat atau minimalisir luka antara orang yang memakai helm dan tidak memakai helm tentu akan jauh berbeda.

Bebal itu berbeda dengan masa bodoh. Masa bodoh adalah sikap sengaja untuk tidak peduli, acuh tak acuh, bahkan melanggar aturan, norma, kebiasaan, yang sudah diketahui, dipahami, dan semestinya ditaati. 

Misalnya sudah tahu ada tulisan dilarang merokok di ruangan ber-AC, namun tetap saja merokok dengan santai dan cuek seolah tidak ada pihak-pihak lain yang terganggu.

Contoh lain misalnya orang tua yang tahu betul bahwa anak-anak membutuhkan pendidikan untuk meningkatkan harkat-martabat, dan kehidupan yang lebih baik di masa depan. 

Namun orang tua tidak mau bekerja untuk mendapatkan penghasilan demi menyekolahkan anak-anak ke jenjang pendidikan yang lebih baik. Tahu tetapi masa bodoh.

Apakah lugu, naif, bebal, dan masa bodoh ada kaitannya dengan intelegensi?

Edward Lee Thorndike seorang tokoh psikologi mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta.

Sedangkan Robert J. Stenberg mengungkapkan konsepsi orang awam mengenai intelegensi mencakup 3 faktor yaitu:

  1. Kemampuan memecahkan masalah-masalah praktis yang berciri utama adanya kemampuan berfikir logis,
  2. Kemampuan verbal atau lisan yang berciri utama adanya kecakapan berbicara dengan jelas dan lancar, dan 
  3. Kompetensi sosial yang berciri utama adanya kemampuan untuk menerima orang lain sebagaimana adanya

Gardner mengidentifikasi 7 macam intelegensi, dan salah satunya adalah intelegensi interpersonal. Yaitu intelegensi yang dipergunakan dalam berkomunikasi, saling memahami, dan berinteraksi dengan orang lain. 

Orang yang tinggi intelegensi interpersonalnya adalah mereka yang memperhatikan perbedaan diantara orang lain, dan dengan cermat dapat mengamati temperamen, suasana hati, motif, dan niat mereka. 

Intelegensi ini sangat penting pada pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan orang lain seperti ahli psikoterapi, guru, polisi, dan profesi semacam itu.

Salah satu cara untuk menyatakan tinggi rendahnya tingkat intelegensi seseorang adalah dengan tes IQ (Intelegence Quotient) yang menampilkan angka normatif atas kecerdasan seseorang ketika dibandingkan secara relatif terhadap norma test tersebut.

Itu sebabnya kemudian kita mengenal IQ 30-69 adalah lemah mental, 70-79: lemah, 80-89: rendah, 90-109: normal, 110-119: tinggi, 120-139: superior, dan 140-169: sangat superior. 

Perlu kita ingat bahwa tidak semua tes IQ harus dinyatakan dengan angka, ada pula yang dinyatakan dalam kategori pola berpikir seperti divergen atau konvergen.

Nah, kembali kepada pertanyaan apakah lugu, naif, bebal, dan masa bodoh ada hubungannya dengan intelegensi? 

Bila kita merujuk pada pendapat Thorndike, Stenberg, dan Gardner kita bisa melihat bahwa orang dengan intelegensi yang baik akan mampu untuk berpikir logis guna memecahkan masalah-masalah yang ada. 

Ia pun mampu untuk menangkap intisari pesan dari kalimat atau kata-kata yang diterimanya baik melalui lisan maupun tulisan. Juga mampu menyampaikan apa yang ada dalam hati atau pikirannya dengan jelas dan lancar. 

Selain itu ia juga mampu menerima orang lain sebagaimana adanya, misal ketika terjadi perbedaan ekspektasi, perbedaan pendapat, maupun hal-hal lain. Dan selanjutnya mampu melakukan evaluasi untuk menentukan sikap selanjutnya.

Seseorang mungkin pintar dalam bidang matematis, desain mekanikal, sains, menguasai ilmu agama dengan baik, atau cakap pada bidang-bidang khusus yang merupakan keahliannya. 

Namun mungkin memiliki kelemahan dalam menangkap permasalahan sosial disekitarnya, seperti hubungan pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. 

Kelemahan itu misalnya muncul dalam bentuk pola pikir yang naif, bebal karena tidak tanggap rasa, atau bahkan mati rasa alias masa bodoh.

Lugu pada usia tumbuh-kembang anak-anak, tentu bukan sebuah permasalahan. Namun jika ini terjadi pada usia yang lebih tua bahkan pada manusia dewasa tentu merupakan sebuah gangguan mental yang harus dibenahi agar tidak meningkat menjadi naif, bebal, bahkan berubah menjadi sikap masa bodoh akut yang akan semakin merugikan.

Jadi sedikit banyak, tingkat intelegensi seseorang ada pengaruhnya terhadap sikap lugu, naif, bebal, maupun masa bodoh.

Bagaimana agar lugu tidak berubah menjadi naif, bebal, bahkan masa bodoh?

Langkah awal adalah sadarilah bahwa orang lain memiliki pandangannya sendiri, kita perlu mendengar dan menelaah pandangan atau pola pikir mereka. 

Belum tentu pola pikir kita lebih benar dari mereka, maka mendengar dan mempertimbangkan pandangan-pandangan orang lain bisa memperkaya sudut pandang dan keputusan pribadi kita.

Langkah berikutnya adalah cobalah untuk menggunakan pola pikir orang yang mejadi role model kita ketika kita menghadapi sebuah masalah. Apapun hasilnya nanti yang kita peroleh, cobalah untuk mengevaluasi dan mendapatkan sebuah kesimpulan. 

Itu akan memberikan kepercayaan diri kepada kita bahwa kita mampu mengujicoba pola pikir orang lain dan mendapatkan insight atau hikmah yang bermanfaat untuk langkah selanjutnya.

Dan yang tak kalah penting adalah mencoba banyak bergaul dan berkomunikasi dengan banyak orang, bertukar pikiran, melatih kepekaan sosial, membuka wawasan dengan melihat dunia, membaca, dan mencoba ikut kegiatan yang bisa memicu rasa manusiawi kita tetap tumbuh berkembang.

***

Referensi:

  1. Psikologi Intelegensi, Saifuddin Azwar.
  2. Naif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun