Perlu kita ingat bahwa tidak semua tes IQ harus dinyatakan dengan angka, ada pula yang dinyatakan dalam kategori pola berpikir seperti divergen atau konvergen.
Nah, kembali kepada pertanyaan apakah lugu, naif, bebal, dan masa bodoh ada hubungannya dengan intelegensi?Â
Bila kita merujuk pada pendapat Thorndike, Stenberg, dan Gardner kita bisa melihat bahwa orang dengan intelegensi yang baik akan mampu untuk berpikir logis guna memecahkan masalah-masalah yang ada.Â
Ia pun mampu untuk menangkap intisari pesan dari kalimat atau kata-kata yang diterimanya baik melalui lisan maupun tulisan. Juga mampu menyampaikan apa yang ada dalam hati atau pikirannya dengan jelas dan lancar.Â
Selain itu ia juga mampu menerima orang lain sebagaimana adanya, misal ketika terjadi perbedaan ekspektasi, perbedaan pendapat, maupun hal-hal lain. Dan selanjutnya mampu melakukan evaluasi untuk menentukan sikap selanjutnya.
Seseorang mungkin pintar dalam bidang matematis, desain mekanikal, sains, menguasai ilmu agama dengan baik, atau cakap pada bidang-bidang khusus yang merupakan keahliannya.Â
Namun mungkin memiliki kelemahan dalam menangkap permasalahan sosial disekitarnya, seperti hubungan pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.Â
Kelemahan itu misalnya muncul dalam bentuk pola pikir yang naif, bebal karena tidak tanggap rasa, atau bahkan mati rasa alias masa bodoh.
Lugu pada usia tumbuh-kembang anak-anak, tentu bukan sebuah permasalahan. Namun jika ini terjadi pada usia yang lebih tua bahkan pada manusia dewasa tentu merupakan sebuah gangguan mental yang harus dibenahi agar tidak meningkat menjadi naif, bebal, bahkan berubah menjadi sikap masa bodoh akut yang akan semakin merugikan.
Jadi sedikit banyak, tingkat intelegensi seseorang ada pengaruhnya terhadap sikap lugu, naif, bebal, maupun masa bodoh.
Bagaimana agar lugu tidak berubah menjadi naif, bebal, bahkan masa bodoh?
Langkah awal adalah sadarilah bahwa orang lain memiliki pandangannya sendiri, kita perlu mendengar dan menelaah pandangan atau pola pikir mereka.Â