Maka tentu saja pertanyaan bodoh yang dimaksud adalah pertanyaan yang mungkin terlihat aneh, asing, dan muskil namun bisa jadi memacing ide-ide lebih besar yang justru bila digali lebih mendalam akan memberikan kontribusi pemecahan masalah tersebut.
Pertanyaan bodoh jika ditanyakan seseorang dengan atribut jabatan dan pangkat yang tinggi, usia yang matang, status sosial terpandang, apalagi dengan titel akademik yang tinggi seperti ilustrasi di atas bukan lagi disebut sebagai lugu, tapi lugu yang kebablasan, bahkan mungkin bebal atau bisa dikatakan masa bodoh.
Sifat lugu yang kebablasan disebut juga sebagai naif, yaitu sebuah sifat yang memandang segala hal itu sebagai nampak apa adanya, segala sesuatu itu lurus-lurus saja, memandang dunia ini hanya sebagai hitam dan putih.Â
Seorang yang naif tidak mencoba menggali apakah ada makna tersirat yang perlu digali dan dimaknai lebih mendalam sebagai dasar untuk menentukan sikap yang akan diambil kemudian.Â
Maka seringkali kita merasa kesal dengan pola pikir dan pola tindak mereka yang naif ini.
Ketika sifat naif ini menjadi semakin parah dan terus melekat seiring pertambahan usia maka akan sangat mungkin jika kemudian berubah menjadi sifat bebal. Yaitu sangat lambat untuk mengerti dan memahami sesuatu, lebih mengikuti kesimpulan diri sendiri yang diambil dalam ketidaktahuan, kurang pengertian maupun pengalaman. Sehingga tindakan yang diambil menyimpang dari nilai-nilai umum yang diyakini masyarakat sebagai panduan hidup bersama.
Melansir dari website kbbi.web.id mengenai "bebal". Kata "bebal" tergolong kata sifat yang memiliki arti sukar mengerti; tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran); bodoh.
Sikap "ngeyel" mempertahankan pendapat maupun tingkah laku, yang tidak didasari dengan pengetahuan atau pertimbangan yang mendalam, dan hanya didasarkan pada sudut pandang pemikiran sendiri adalah sikap "sak karepe dhewe" yang merepresentasikan sifat bebal.
Contoh sifat bebal yang lain adalah kebiasaan tidak memakai helm saat mengendarai sepeda motor karena meyakini bahwa sehat-sakit maupun hidup-mati sudah ada yang mengatur. Tunduk kepada Tuhan lebih utama dari pada tunduk kepada aturan-aturan kemasyarakatan dan pemerintah.
Jadi untuk apa mengkuatirkan mengenai sakit apalagi mati, selama yakin teguh pasti akan selamat.Â
Bayangkan jika kemudian terjadi kecelakaan terbentur aspal, potensi selamat atau minimalisir luka antara orang yang memakai helm dan tidak memakai helm tentu akan jauh berbeda.