Mohon tunggu...
Teacher Adjat
Teacher Adjat Mohon Tunggu... Guru - Menyukai hal-hal yang baru

Iam a teacher, designer and researcher

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Turnover Guru Tinggi, Wajarkah?

3 Oktober 2023   21:56 Diperbarui: 5 Oktober 2023   14:44 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto. dok. pcess609 (Unsplash.com)

Peluk erat dan tangis haru mewarnai event wisuda dan pelepasan siswa-siswi kelas 6 kala itu. Bukan hanya karna hari itu adalah hari perpisahan dengan siswa-siswi yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, namun nampaknya karna ada jenis perpisahan yang lain. Anehnya lagi, moment itu terjadi setelah acara rampung dan sebagian besar siswa beserta orangtuanya telah meninggalkan lokasi acara sementara yang tersisa hanya para guru yang juga merupakan panitia.

Momen mellow itu terjadi antar sesama guru. Iya, hari itu ada beberapa guru yang diketahui akan resign dan tak lagi melanjutkan menjadi pengajar di sekolah tersebut. Ada yang telah bergabung selama setahun, 3 tahun bahkan ada yang lebih dari 10 tahun. 

Tentunya keputusan untuk resign bukanlah keputusan yang mudah bagi seorang guru. Diakui atau tidak biasanya keputusan untuk resign merupakan opsi terakhir yang dipilih sebelum opsi-opsi lain yang telah ditempuh namun menemui jalan buntu. 

Berbeda dengan jenis profesi yang lain, guru melibatkan lebih banyak ikatan emosional dalam kehidupan pekerjaannya sehari-hari. Hal itu karna ia berhadapan secara langsung dan terus menerus dengan siswa, orangtua, rekan kerjanya. Oleh sebab itu, berhentinya seorang guru di sebuah sekolah akan berdampak terhadap sekolah tersebut baik secara langsung maupun tidak. Dampak yang dihasilkan pun beragam, bisa saja negatif atau sebaliknya tergantung sebaik apa kontribusi guru yang keluar bagi sekolah. Hilangnya guru yang pintar, pekerja keras, kreatif, inovatif serta disukai oleh siswa jelas merupakan kiamat kecil bagi sebuah sekolah. 

Peristiwa pergantian pekerja dalam sebuah lembaga sering kita sebut dengan istilah turnover. Tidak hanya di perusahaan istilah tersebut juga berlaku pada lembaga pendidikan khususnya sekolah swasta yang sebagian besar gurunya merupakan pegawai Non PNS. 

Sedangkan pada sekolah negri, umumnya fenomena turnover hanya terjadi pada guru yang statusnya honorer atau kontrak. Adapun guru-guru yang berstatus PNS jarang sekali berhenti dari sebuah sekolah kecuali karena pensiun atau karna penugasan (mutasi).

Turnover atau pergantian guru menjadi permasalahan di banyak sekolah perkotaan selama bertahun-tahun (Sachs; 2004). Guru pemula berkontribusi lebih banyak terhadap pergantian guru dengan meninggalkan profesinya segera setelah belum lama bekerja. 

Sebuah studi yang dilakukan oleh Goldring dan kawan-kawan pada tahun 2014 menyebutkan 7 sampai 30% guru meninggalkan profesinya dalam 3 tahun pertama mengajar. Survey yang diberi judul Teacher attrition and mobility tersebut dipublish oleh National Center for Education Statistics. 

Studi yang berbeda menyebutkan pada sekolah-sekolah perkotaan sebanyak 70% guru baru dapat meninggalkan posisinya dalam lima tahun pertama mereka mengajar. (Papay et all: 2015)

Hal tersebut juga sering penulis jumpai pada akhir dan awal tahun ajaran. Hampir setiap tahun ada saja broadcast message yang masuk ke grup WhatsApp atau media sosial lainnya yang berisi informasi lowongan pekerjaan menjadi guru. 

Tak terkecuali sekolah tempat penulis bekerja yang setiap tahunnya membuka lowongan untuk guru-guru baru. Lowongan dibuka karena ada guru yang keluar juga karena ada penambahan kelas. 

Hal yang menjadi problematika bagi sekolah adalah jika ada guru yang resign di tengah-tengah semester pembelajaran. Tentunya bukan hal yang mudah mencari guru ketika pembelajaran sudah berjalan.

Fenomena Turnover pada guru tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Amerika yang dikenal sebagai negara maju dalam beberapa tahun terakhir juga menghadapi permasalahan tersebut. 

Sebuah hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Rand Coorporation dengan tajuk; Job Related Stress Threatens the Teacher Supply di awal tahun 2021 menyebutkan bahwa hampir 25% guru-guru di Amerika berkata kemungkinan akan meninggalkan pekerjaannya pada tahun ajaran 2021. 

Penyebab paling dominan dari fenomena tersebut antara lain karena tekanan pekerjaan yang sangat tinggi khususnya pada masa pandemi covid. Selain itu karna tuntutan pemerintah kepada sekolah melalui program NLCB (no left children behind) yang dianggap menyulitkan.

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai fenomena turnover pada profesi guru ada baiknya kita memahami terlebih dahulu definisi turnover tersebut. Beberapa peneliti memberikan gambaran yang lebih detail mengenai fenomena pergantian pada profesi guru. 

Kukla (2014) dalam tulisannya membagi guru kedalam 3 kelompok; pertama; Leavers (yaitu para guru yang keluar dari suatu sekolah dan berhenti mengajar), kedua; Movers (yaitu guru yang keluar dari sebuah sekolah lalu mengajar di tempat lain) dan ketiga; Stayers (yaitu guru yang tetap bertahan di sekolah tersebut ).

Pada tulisan ini, dalam mendefinisikan istilah turnover penulis merujuk pada pengertian yaitu; seorang guru yang meninggalkan posisi yang telah ditugaskan kepadanya baik secara sukarela atau terpaksa, apapun alasannya dan kemanapun mereka pindah. 

Sementara itu, lawan kata dari turnover yaitu retensi atau tingkat kebertahanan. Semakin baik sebuah sekolah, maka semakin tinggi pula tingkat retensi pada guru-guru berkualitas yang mereka miliki.

Setiap perusahaan, lembaga dan industri termasuk di dalamnya sektor pendidikan memiliki tingkat retensinya sendiri. Hal itu dapat diukur dengan cara membagi jumlah guru yang tersisa pada akhir tahun ajaran dengan jumlah guru yang ada di awal tahun lalu dikalikan 100 agar mendapatkan nilai prosentasenya. Semakin besar prosentase yang dihasilkan maka semakin rendah tingkat turnover pada sekolah tersebut.

Sebagai contoh di AS misalnya National Center Education Statistic menemukan bahwa setiap tahun, 8% guru meninggalkan profesinya lebih awal, dan 8% lainnya pindah ke sekolah lain, memberikan tingkat pergantian total 16%. 

Namun, angka 16% tersebut hanyalah gambaran dari rata-rata sekolah di seluruh wilayah.  Sekolah negeri , khususnya di kota-kota padat, mungkin memiliki tingkat turnover lebih dari 30%, sedangkan sekolah-sekolah di daerah pinggiran kota yang kaya mungkin memiliki tingkat turnover serendah 5%.

Apa dampaknya bagi siswa?

Tingginya tingkat turnover guru di suatu sekolah dipercaya memberikan dampak yang signifikan bagi siswa, apalagi jika hal tersebut terjadi pada sekolah dasar. Mengapa demikian? Karna pada umumnya sekolah dasar mengambil waktu kehidupan yang cukup lama dibanding jenjang pendidikan lainnya. Di Indonesia sendiri jenjang pendidikan dasar berlangsung selama 6 tahun, itu artinya selama 2.190 hari seorang anak (jika ia tidak pindah sekolah) akan terus terhubung dengan sekolah, guru dan rekan yang sama. Tentunya melalui waktu yang cukup lama tersebut hubungan emosional antara guru dan murid cenderung erat, apalagi jika guru yang bersangkutan memiliki kemampuan pedagogi yang handal.

Apa yang menyebabkan tingginya turnover pada guru?

Pada dasarnya, pergantian pegawai dalam sebuah perusahaan atau lembaga merupakan hal yang lumrah. Mengingat seseorang itu datang dan pergi sesuai dengan kondisi situasi yang mempengaruhinya. Akan tetapi hal itu akan menjadi catatan tersendiri jika terjadi pada lembaga pendidikan. Catatan yang akan menjadikan para customer (orangtua/wali murid) bertanya mengenai kualitas sekolah tersebut.

Berkaitan dengan penyebab terjadinya tingkat turnover yang tinggi, masih menurut survey yang yang dikeluarkan oleh NCES menyebutkan beberapa jawaban yang menjadi alasan seorang guru meninggalkan pekerjaannya atau berpindah ke sekolah lain yaitu;

1. Tekanan pekerjaan dan tanggung jawab yang besar sebagai guru. Sebanyak 25% responden menjawab alasan mereka berhenti mengajar karena tekanan pekerjaan serta ekspektasi tinggi yang dibebankan kepada mereka, khususnya yang berkaitan dengan kinerja, totalitas serta nilai akademik siswa. Penulis yang juga pengajar merasakan secara langsung ekspektasi orangtua yang sangat tinggi terhadap pencapaian anaknya, bahkan kadang tak segan mengesampingkan norma dan etika dalam berinteraksi dengan guru.

2. Kurangnya dukungan administratif. Sebanyak 21% responden beralasan mereka berhenti mengajar karna kurangnya dukungan administratif dari para pemangku kebijakan sehingga membuat tanggung jawabnya sebagai guru lebih rumit. Kurangnya dukungan administratif disini dapat juga berupa dipersulitnya guru tersebut dalam mengurus NUPTK atau sertifikasi.

3. Ketidakpuasan akan karir mengajar. Sebanyak 21% responden beralasan mereka berhenti mengajar karna tidak adanya jenjang karir yang jelas bagi mereka dalam mengajar. Ketidakpuasan termasuk juga berkaitan dengan tugas mengajar mereka, kurangnya kesempatan untuk ikut memberi masukan, dan kurangnya kesempatan untuk mengembangkan kompetensi mereka.

4. Ketidakpuasan dengan kondisi kerja, termasuk diantaranya karena ukuran kelas yang besar (10% responden) selain itu juga karena alasan kurangnya sumber daya dan fasilitas lain (9% responden).

Berbagai alasan lain yang disebutkan responden dalam survei di luar ketidakpuasan yang disebutkan di atas, antara lain alasan pribadi dan keuangan sebanyak 43% responden, bersama dengan keinginan untuk mengambil jenis pekerjaan lain atau untuk pensiun (31% dalam setiap kasus).

Setelah membaca hasil survei tersebut dengan mempertimbangkan faktor siswa, guru dan sekolah. Maka disimpulkan bahwa persiapan guru, dukungan administrasi, dan gaji merupakan faktor penting yang menjadi alasan tingginya turnover pada guru.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh yayasan atau manajemen sekolah?

Para peneliti di bidang pendidikan telah mengidentifikasi setidaknya ada 4 faktor yang harus menjadi perhatian para pemangku kebijakan di sekolah agar para guru-guru terbaiknya memiliki retensi (kebertahanan) yang tinggi yaitu antara lain;

1. Apreciation

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tinggi rendahnya apresiasi yang diberikan oleh atasan (yayasan/manajemen) dapat mempengaruhi tingkat resistensi guru di suatu sekolah. Apresiasi tidak hanya berupa uang, ia dapat berupa pujian terhadap hasil kerja, pendapat yang dihargai atau perhatian secara personal. 

Realita membuktikan bahwa lembaga yang tidak pelit akan apresiasi cenderung menjadi tempat yang tidak akan ditinggalkan oleh para pekerjanya. Hal ini juga berlaku pada lembaga pendidikan, khususnya di lembaga pendidikan swasta.

2. Work Condition 

Hal berikutnya yang menjadi faktor utama meningkatnya turnover guru yaitu kondisi tempat kerja. Menurut survei nasional, guru sangat mementingkan kondisi kerja mereka dan menganggapnya sebagai faktor kunci dalam keputusan mereka untuk meninggalkan atau bertahan di sekolah tersebut. 

Kondisi kerja yang baik meliputi dukungan administratif, ketersediaan sumber daya profesional, kebebasan untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang hal-hal yang berkaitan dengan profesi mereka, dan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan.

3. Teacher Education

Faktor berikutnya yang mempengaruhi turnover rate yaitu latar belakang pendidikan guru tersebut. Studi membuktikan bahwa guru yang berasal dari fakultas keguruan memiliki tingkat resistensi yang tinggi dibandingkan dengan guru yang tidak linier di bidang pendidikan. Yang demikian karena seorang guru yang berasal dari pendidikan keguruan telah dipersiapkan semenjak mereka menjadi mahasiswa.

Namun kondisi tersebut tidak berlaku umum untuk semua orang, karna bukan hal yang tidak mungkin seorang guru yang memiliki latar pendidikan non keguruan dapat mengajar dengan baik dan bertahan dalam jangka waktu yang lama di sebuah sekolah. 

Semuanya kembali pada motivasi yang mempengaruhi orang tersebut. Selain itu juga penting secara berkala diadakan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kompetensi guru dalam mengajar.

4. Mentor/Coach 

Faktor terakhir yang mempengaruhi turnover guru di sebuah sekolah yaitu adanya mentor/coach yang memberikan arahan, bimbingan serta saran kepada guru-guru baru. Bagi guru baru, merupakan hal yang sulit saat menghadapi persoalan yang belum pernah diketemuinya. Oleh sebab itu keberadaan mentor sangat diharapkan oleh guru baru agar mereka tetap bertahan.

Pada akhirnya betah atau tidaknya seorang guru di lembaga tempat ia mengajar bergantung pada motivasi yang ada dalam dirinya. Jika sejak awal nawaitu mengajarnya bersifat materil maka ia akan dengan mudah keluar masuk dari sekolah satu ke sekolah yang lain demi mendapatkan salary yang lebih tinggi. 

Namun jika niat mengajarnya karna ia memang suka menjadi guru, bangga jika berhasil menghantarkan murid-muridnya ke pintu kesuksesan dan bahagia jika kebaikan-kebaikannya dikenang oleh murid-muridnya, maka ia akan memiliki tingkat resistensi yang tinggi dimanapun ia mengajar. Wallahu'alam.

Kurniadi Sudrajat

(Guru SD/Anggota RPI Bidang Pendidikan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun