Mohon tunggu...
Teacher Adjat
Teacher Adjat Mohon Tunggu... Guru - Menyukai hal-hal yang baru

Iam a teacher, designer and researcher

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kepemimpinan Adaptif Kepala Sekolah di Era VUCA

6 Maret 2022   14:31 Diperbarui: 6 Maret 2022   14:34 2013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
School Principal (sumber foto; istockphoto.com)

Kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah institusi pendidikan formal. Ibarat nahkoda dialah yang menjadi penentu ke arah mana kapal pendidikan tersebut akan berlayar. 

Ibarat seorang pilot kepiawaiannya dalam menghadapi turbulensi situasi dan kondisi saat ini menjadi tolok ukur sejauh mana lembaga yang ia pimpin dapat berkembang dan dipercaya masyarakat.

Kepala sekolah secara istilah dapat diartikan sebagai tenaga fungsional yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan dimana proses belajar mengajar berlangsung. 

Pada umumnya kepala sekolah diangkat dari kalangan guru yang memiliki kompetensi lebih dalam hal kepemimpinan baik secara emosional serta manajerial. 

Namun begitu ada juga pemilik sekolah atau yayasan yang memang membuka lowongan pekerjaan untuk mencari kandidat-kandidat kepala sekolah di lembaga yang mereka miliki. Tentunya dengan tetap menjadikan kompetensi leadership sebagai syarat utamanya.

Sementara itu Permendiknas no. 19 tahun 2007 dan no. 28 tahun 2010 secara singkat menjabarkan bahwa tugas, pokok dan fungsi kepala sekolah antara lain adalah; (1) tugas administrasi, (2) tugas supervisi, (3) tugas memimpin, (4) tugas sebagai manajer, (5) tugas kewirausahaan, (6) tugas sebagai inovator, (7) tugas mengembangkan kurikulum, dan (8) tugas sebagai penggerak. Dari sekian tupoksi tersebut terangkum dalam satu kata yaitu kepemimpinan.

Sedemikian pentingnya kompetensi kepemimpinan untuk menjadi kepala sekolah, apalagi di era VUCA saat ini. 

Salah satu model kepemimpinan yang saat ini ramai diterapkan oleh berbagai organisasi, baik organisasi bisnis, sosial, politik, ekonomi bahkan pendidikan adalah model kepemimpinan adaptif. 

Apa itu kepemimpinan Adaptif? Sebelum kita membahas lebih jauh, saya akan menjelaskan terlebih dahulu tentang era VUCA yang saat ini tengah menggejala di dunia pada umumnya.

Pengertian VUCA

Perubahan di dunia dewasa ini terjadi begitu cepat ditandai dengan perkembangan teknologi yang semakin mempermudah kerja manusia. Dari era industri yang sebelumnya berfokus pada pemanfaatan komputer untuk pengoperasian peralatan-peralatan sehari-hari kini manusia telah sampai pada masa dimana kehidupan sehari-hari tidak lepas dari yang namanya aplikasi, algoritma dan data cloud.

Sejak saat itulah kita masuk ke era distruptif, era dimana ketidakpastian menjangkiti hampir di seluruh lini kehidupan. Ketidakpastian tersebut terjadi karena adanya perubahan yang sangat cepat khususnya pada bidang teknologi. 

Menganalisa dari fenomena perubahan tersebut para pakar manajemen menyebut bahwa saat ini kita sedang mengalami era VUCA. 

Istilah VUCA telah ada sejak tahun 90-an, diperkenalkan pertama kali oleh US Army untuk menggambarkan kondisi geopolitik Amerika pasca perang dingin yang tentunya berakibat pada kondisi sosial, ekonomi dan politik yang tidak menentu kala itu. 

VUCA sendiri merupakan akronim dari Volatile (bergejolak), Uncertain (tidak pasti), Complex (kompleks), dan Ambigue (tidak jelas).

Seiring berjalannya waktu istilah VUCA kembali digunakan oleh sebagian besar korporasi untuk menggambarkan pesatnya perkembangan teknologi yang mendorong pada perubahan manajemen dalam pengelolaan sebuah coorporate. 

Tidak hanya sektor bisnis, menurut penulis istilah VUCA juga relevan jika dikaitan dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Ditambah lagi kondisi pandemi yang berlangsung sejak kuartal pertama tahun 2020 mengakibatkan seluruh lini kehidupan berubah termasuk pendidikan.

Untuk itu penulis akan menjelaskan definisi VUCA dalam kaitannya dengan sektor pendidikan berikut indikator masing-masing poin.

1. Volatile (bergejolak)

Komponen ini menggambarkan bahwa saat ini, sulit bagi lembaga pendidikan untuk berjalan secara stabil akibat laju perkembangan teknologi yang sangat cepat. 

Belum lama kita masuk ke era industri 4.0 yang menuntut adaptasi teknologi di semua sektor kehidupan, tiba-tiba saja dikejutkan dengan hadirnya virus corona. 

Gejolak tersebut membuat pemerintah mengambil kebijakan bahwasanya kegiatan belajar mengajar harus dilaksanakan secara daring (online). 

Tak ayal semua lembaga pendidikan baik formal maupun non formal pun dituntut untuk segera beradaptasi secara cepat khususnya dalam hal teknologi digital.

2. Uncertainty (Ketidakpastian)

Komponen ini menggambarkan bahwa tidak ada yang dapat dipastikan untuk menjalankan usaha pada hari ini, betapa banyak bisnis yang gulung tikar diterpa badai pandemi corona, bukan karna virusnya tapi karna gerak manusia kini terbatasi. Tidak terkecuali lembaga pendidikan khususnya pendidikan swasta. 

Ketidakpastian tersebut juga diakibatkan oleh situasi pandemi saat ini yang tidak jelas akan berlangsung sampai kapan. Sudah beberapa kali pemerintah membuka-tutup sekolah akibat fluktuatifnya angka penyebaran virus Corona.

3. Complexity (kekacauan)

Komponen ini menggambarkan strategi pengelolaan lembaga pendidikan yang semakin rumit di tengah laju perkembangan teknologi dan kondisi pandemi saat ini. 

Jika dahulu lembaga pendidikan cukup berfokus pada stabilitas jumlah siswa yang mendaftar dan kualitas lulusannya saja, kini sekolah harus mencari model pembelajaran yang sesuai dan terukur secara kualitas meskipun dilaksanakan secara online. 

Tidak hanya terkait kegiatan belajar mengajar, sekolah juga harus bijak menghadapi para wali murid yang juga terdampak secara finansial oleh pandemi.

4. Ambiguity (kebiasan)

Ambiguitas disini dapat diartikan dengan semakin kabur/pudarnya sekat antara lembaga pendidikan formal dan non formal. Dulu masyarakat masih beranggapan bahwa hasil dari pendidikan yaitu harus memiliki ijazah formal, karenanya harus sekolah di sekolah yang formal. 

Namun kini paradigma masyarakat berubah, para orangtua tidak lagi menjadikan ijazah sebagai fokus utama sekolah anak-anaknya namun seperti apa kualitas pendidikannya. Sehingga saat ini pilihan home schooling bukan lagi hal yang aneh. 

Selain itu ambiguitas berikutnya yaitu kebiasan kurikulum yang harus diterapkan oleh sekolah. Selama 3 tahun belakang ini sudah ada 3 model kurikulum yang ditawarkan oleh pemerintah, yaitu kurikulum 2013, kurikulum darurat pandemi dan yang paling anyar adalah kurikulum prototipe. 

Tentunya bukan hal yang mudah bagi sekolah-sekolah untuk memilih dan menyesuaikan diri dengan kurikulum terbaru secara cepat, sehingga penerapannya tidak merata.

Demikianlah penjelasan secara detail mengenai indikator VUCA yang menurut penulis terjadi di dunia pendidikan. Jika diperhatikan lebih seksama hampir semua indikator-indikator tersebut bermakna negatif. Ke-empatnya jelas menggambarkan kondisi yang tidak ideal. 

Oleh karenanya dibutuhkan seorang pemimpin yang tidak biasa untuk mengidentifikasi masalah serta mencari jawaban dari masing-masing indikator tersebut. Pemimpin yang menurut para pakar manajemen yaitu pemimpin yang adaptif.

Apa itu pemimpin adaptif?. 

Teori adaptive leadership dikemukakan pertama kali oleh Ron Heifetz dan Marty Linsky, dari Harvard University. Adapun definisinya yaitu, "Adaptive leadership is a practical leadership framework that helps individuals and organisations to adapt to changing environments and effectively respond to recurring problems. First, the change itself needs to be considered to subsequently take on challenges and respond to the change." Sederhananya model kepemimpinan adaptif dapat dilihat dari sejauh mana seorang pemimpin tersebut dapat mengelola organisasi serta bawahannya dalam beradaptasi dengan perubahan dan juga menjawab tantangan secara efektif.

Dalam kaitannya dengan indikator VUCA di atas, seorang pemimpin adaptif sejatinya dapat melihat kemungkinan-kemungkinan peluang solusi dari kondisi tersebut. Sementara itu The Global Competitiveness Report (2018) menyatakan bahwa saat ini gejolak VUCA sudah menjadi sesuatu yang normal. 

Kenormalan yang baru ini tidak bisa disikapi dengan gaya yang lama. Bob Johansen, dalam bukunya Leaders Make the Future: Ten New Leadership Skills for Uncertain World (San Fransisco, 2009) mengingatkan bahwa gejolak VUCA perlu dijawab dengan VUCA Prime.

VUCA yang kedua ini adalah akronim dari Vision, Understanding, Clarity, dan Agility. Pemimpin masa depan perlu memiliki keempat hal tersebut untuk menghadapi era VUCA. Untuk lebih mudah memahaminya dapat dilihat pada tabel perbandingan di bawah ini;

VUCA vs VUCA Prime
VUCA vs VUCA Prime

Adapun secara detail penjelasan mengenai VUCA Prime yaitu Vision (visi) dapat membedakan antara seorang pemimpin dan pengikut. Orang yang memiliki visi lebih besar akan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bervisi lebih kecil. 

Understanding (pemahaman) memiliki arti bagaimana kita paham akan perubahan dan hal-hal yang perlu disiapkan untuk menghadapi perubahan dengan baik dan benar. 

Clarity (kejelasan) merupakan kemampuan seseorang melihat masa depan dengan jelas yang tidak dilihat oleh lainnya. 

Seorang pemimpin mempunyai kemampuan yang sangat jelas mengenai apa yang sedang dibuat untuk mewujudkan visinya namun sangat fleksibel dalam mewujudkan visi tersebut atau sangat adaptif.

Agility (kelincahan) yang dimaksud adalah bagaimana setiap individu harus cepat tanggap dalam menghadapi perubahan, menghadapi tuntutan konsumen, dan perkembangan baru yang tiba-tiba muncul.

Pada akhirnya, pemenang di masa depan adalah orang-orang yang mampu mentransformasikan volatility, uncertainty, completed, dan ambiguity menjadi pengertian lain yaitu vision, understanding, clarity dan agility. 

Oleh karena itu, kepala sekolah harus cepat tanggap dalam menghadapi perubahan yang terjadi di lingkup pendidikan, bahkan di tingkat global. Kemudian, sebagai adaptive leaders ia mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. 

Sehingga sekolah tidak hanya sekedar bertahan atau mempertahankan eksistensinya, tapi juga harus bisa menjadi inspirator dalam membangun peradaban dan ekosistem ilmu pengetahuan. Wallahu'alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun