Mohon tunggu...
Lanang Irawan
Lanang Irawan Mohon Tunggu... Lainnya - Senang membaca dan berbagi tulisan.

Kedipan nyalakan bara, lelapnya pulaskan renjana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daun Singkong Pelacur

19 Juli 2020   17:32 Diperbarui: 19 Juli 2020   17:29 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gigi wanita itu sudah tanggal semua, sehingga tak ada yang memagari air di mulut ketika si nenek selesai minum. Mak Subaeti menggunakan sapu tangan merah untuk mengusap air di bibir yang menyerupai kulit jeruk kering itu .

Cuaca terik memaksa kulit keriput berkeringat, membuat dahi beralis putihnya mengerut. Mata yang sudah sipit kian meruncing mempertegas penglihatan, saat Mak Subaeti melihat ada orang berjalan menghampiri lapaknya berdagang.

Pasar lama itu begitu lengang, apalagi semingu dari sekarang akan ditutup dan diubah menjadi pemukiman. Beberapa pedagang sudah memutuskan pindah ke pasar baru yang telah disediakan pemerintah. Namun, Mak Subaeti tetap bertahan, ia tidak ada ongkos, dan tenaganya tidak cukup untuk menuju pasar yang kian jauh.

Bau parfum calon pembeli sudah tercium. Mak Subaeti memamerkan gusi; tersenyum. Dari mata tua itu memancar pengharapan, tapi lenyap begitu satu lembar uang sepuluh ribu dijatuhkan di atas sarung lepek yang dikenakan. Kerongkongan nenek itu tercekik, seperti baru saja meminum air yang sangat pahit.

Susah payah Mak Subaeti bangun, hendak mengejar orang yang tadi ia anggap calon pembeli dagangannya.

"Neng!" Akhirnya pita suara itu bergetar juga, meski hasil getarannya hampir terkalahkan deru udara. Mak Subaeti berjalan ringkih, mengacungkan uang.

Perempuan muda seharum bunga itu membalik badan, kelopak berbulu lentiknya menjentik heran. Apakah dua sepuluh ribu kekecilan? batinnya yang dermawan merasa tersinggung.

"Emak tak minta sedekah." Bunga api baru saja Mak Subaeti percikkan di hamparan sabana kering. Membuat mata perempuan itu menyala. Wajah putih menjadi semerah kepinding.

"Oh! Belum cukup?" ucapannya bergetar rancu, tangan berjemari runcing merogoh tas berlogo H besar. Sepuluh lembar uang merah ditarik keluar.

"Bukan, Neng." Mak Subaeti tak kalah terkejut, tapi ia segera sadar bahwa sudah membuat si nona tersinggung, dan segera memperbaiki sikap. "Bukan begitu, Neng geulis, cantik, tapi Mak kan dagang, kasihan daun singkong yang sudah kepanasan jika Mak menerima uang tanpa menjualnya."

Menerima sikap demikian si gadis merasa harga dirinya menang, secepatnya emosi dikendalikan. Ditambah pujian nenek tua itu bak tiupan angin yang mengisi dada, sehingga untuk sebentar ia merasa terapung. Maka ia pun berniat membalas pujian tersebut dengan perhatian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun