"Anda tidak lebih terhormat dari tuna susila yang menjajakan tubuh di pinggir jalan karena lapar."
Gea merasa es dalam gelas di hadapan berpindah ke kepala. Pelacur? Aku disamakan dengan lonte? Pikiran itu semalaman menjejali kepala. Sang penakluk kali ini kalah telak, si korban yang tampak mudah ternyata memiliki keteguhan di atas rata-rata.
Pagi tadi Gea tidak bersemangat bangun untuk kerja, apalagi nanti di pekerjaan harus bertemu si pemuda. Nona ini pusing benar, ditambah syahwat yang biasanya tersalurkan semalam tersumbat.
Ia mengerang. Kasur empuknya berubah menjadi batu panas, Gea melompat ke kamar mandi mengguyur diri, sembari bertekad hari ini akan mangkir dan pergi ke pantai.
Sekembali dari pantai itulah ia bertemu seorang nenek di pasar lama. Pasar yang terletak di seberang rumahnya. Sosok yang begitu renta dan lemah mengundang iba. Baru sekarang Gea terketuk memberinya sedekah, meski hanya sepuluh ribu.
Sepuluh ribu, uang itu bukan saja tak diterima. Si nenek malah menghancurkan egonya dengan sikap dan kata-kata. Namun, nurani Gea berkata: Begitulah seharusnya seorang wanita yang benar-benar memiliki harga diri. Tidak pernah menyia-nyiakan apapun yang baginya sangat berharga.
Gadis itu memandang kosong pecahan mangkuk, amat berserakan seperti hatinya sekarang. Kristal pecah lagi di mata Gea. Pengakuan, pujian, dan kepuasan diri itulah yang Gea cari selama ini. Bukan kehinaan.
CRG. 19 Juli, 2020