Kedelapan, hilangnya pengaturan Pengaturan terkait Tanggung Jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjamin pembiayaan rumah sakit bagi fakir miskin atau orang tidak mampu.
Klausul ini sangat diperlukan karena dalam kenyataannya masih cukup banyak masyarakat yang belum memiliki penjamin apapun, atau kelompok rentan miskin yang tidak lagi mampu membiayai BPJS secara mandiri akibat pengobatan panjang, sementara mereka tidak bisa masuk kategori PBI.
Sebelumnya pengaturan tentang hal ini terdapat dalam UU Rumah Sakit pasal (6) huruf b, yang berbunyi "Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk: b. menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kesembilan, hilangnya pengaturan tentang penetapan tarif khusus kelas III rumah sakit. Ketiadaan pengaturan ini akan menimbulkan penetapan tarif yang cenderung mengikuti harga keekonomian sehingga sangat mungkin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Terlebih jika mereka belum memiliki penjamin apapun, atau kelompok rentan miskin yang tidak lagi mampu membiayai BPJS secara mandiri akibat pengobatan panjang sementara mereka tidak bisa masuk kategori PBI. Klausul ini sebelumnya terdapat dalam UU Rumah sakit pasal 50.
Kesepuluh, ketentuan umum RUU Kesehatan disebutkan bahwa "Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan tinggi, dan untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan".
Definisi ini berbeda dengan yang terdapat dalam UU Tenaga Kesehatan, yang berbunyi "Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan".Â
Penting untuk memasukkan definisi memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan, karena jika tidak maka semua profesi bisa dianggap sebagai nakes.
Hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan standar atau uji kompetensi yang menjadi kelayakan atau persyaratan bagi nakes untuk melakukan praktik kesehatan. Ujungnya akan berpengaruh terhadap standar kualifikasi nakes.
Seharusnya yang tenaga bukan dari pendidikan kesehatan dimasukkan dalam Sumber Daya Manusia Kesehatan (SMDK), yaitu seseorang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya KesehatanÂ
Kesebelas, ada kerawanan dalam draft RUU Kesehatan pasal 236 mengenai tenaga medis dan tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi.