Dahulu kala, tinggallah seorang manusia aneh di tengah hutan belantara di pulau Lombok. Kelahirannya membuat amak dan inaknnya meninggal. Amak dan inaknya meninggal begitu ia dilahirkan. Mereka kaget melihat anak yang dilahirkannya memiliki separuh bagian tubuh, mulai dari kepala separuh, mata separuh, hidung separuh, mulut separuh, tangan separuh, dan kaki separuh. Namun, berkat kebesaran Tuhan, ia hidup selayaknya manusia biasa.
Dengan asuhan seorang janda tua yang tak punya anak, ia tumbuh besar. Ia kerap kali dipanggil Amak Stowek. Panggilan ini berawal dari tubuhnya yang setowek atau separuh. Tapi, panggilan itu tak membuat ia membenci inak angkatnya. Ia malah senang mendapat panggilan seperti itu. Ia menyadari bahwa inilah pemberian Tuhan yang harus ia terima sebagai sebuah ujian kesabaran.
Lima belas tahun kemudian, inak angkatnya meninggal. Terpaksa ia hidup sendiri dan mencari makan sendiri. Kondisi ini membuat Amak Stowek sangat tertekan. Namun demikian, ia tetap berusaha untuk bertahan hidup. Upaya yang dilakukan untuk bertahan hidup adalah mencari ranting-ranting kayu di tengah hutan. Ranting--ranting dikumpulkan dan ditukarkan dengan beberapa kilo beras dan ubi-ubian. Ia masak sendiri dan tidur sendiri. Tak ada yang menemaninya. Perasaan pilu sering menggayut hatinya. Namun, ia tetap berusaha tegar. Ia juga berusaha menepis segalah duka yang dirasakannya.
Malam terus berlalu tanpa kompromi. Bintang muncul silih berganti dengan matahari. Tak terasa tiga tahun lamanya ia terus bersabar hidup seperti itu. Tak disangka, setan-setan datang menggodanya. Mereka membisikkan kata-kata yang mengganggu kesadarannya, "Hai, Amak Stowek. Coba kamu lihat dirimu. Tidak ada orang yang seperti dirimu. Tubuhmu hanya stowek," bisik setan. Bisikan itu datang terus-menerus dan menggangu pikiran Amak Stowek. Ia berusaha menenangkan diri namun bisikan itu selalu datang.
'"Oh, Tuhan...mengapa hidupku seperti ini. Aku sendiri yang punya badan stowek. Ini tidak adil Tuhan" ungkap Amak Stowek dalam hati. Lambat laun ketabahan dan kesabaran Amak Stowek mulai mengikis. Perlahan, ia menggeser tubuhnya mendekat ke pintu. Ia tidak menggunakan alat bantu tongkatnya untuk dijadikan petunjuk. "Trok...." bunyi kepala Amak Stowek membentur pintu. Ia meringis kesakitan, "Aduh...aduh sakit sekali, di mana dilah coplokku!" tanya Amak Stowek mencari dilahnya sebagai penerang. Perlahan, ia dapat meraih dilah coploknya. Sesaat kemudian ia nyalakan dilah coploknya sembari meraba-raba kepalanya, ternyata tidak ada darah di kepalanya. Hanya benjolan kecil saja. "Syukurlah," seru Amak Stowek menahan rasa sakit di kepalanya.
"Oh, Tuhan berat sekali rasanya hidupku ini!" keluh Amak Stowek sembari memandangi bintang-bintang di langit yang bertaburan. Tiba-tiba datang lagi bisikan dari setan-setan. "Hai Amak Stowek. Kenapa kamu tetap saja menerima keadaanmu?" Protes saja pada Tuhan!" bisik setan-setan itu. "Sialan bisikan ini, mana mungkin aku memprotes Tuhan sementara aku tidak tahu di mana Tuhan tinggal?" ungkap Amak Stowek dengan penuh kejengkelan. Setan-setan terus membisikkan kata-kata itu kepada Amak Stowek. "Amak Stowek, kamu harus protes pada Tuhan kenapa tubuhmu saja yang stowek!" bisik setan-setan. "Coba kamu pikir, makan saja dengan tangan stowek, jalan dengan kaki stowek, melihat dengan mata stowek, mendengar dengan telinga stowek. Uh, kasihan sekali kau Amak Stowek," ejek setan-setan kepada Amak Stowek. Bisikan itu membuat Amak Stowek semakin pusing dan pening kepalanya. Sambil menangis sedih Amak Stowek tak menyadari kalau kepalanya ia bentur-benturkan ke dinding pintu. Darah mengucur ke pipinya. Diraihnya tongkatnya yang tergeletak di samping pintu. Ia melangkah ke luar sambil sempoyongan. Tepat di bibir sungai yang berjarak 100 meter dari rumahnya, ia menghentikan langkahnya sambil menatap ke bawah. "Barangkali penderitaanku akan berakhir sekarang," kata Amak Stowek dengan rasa putus asa. Ia merasakan hidupnya sangatlah berat. Tanpa pikir panjang ia membuang dirinya di sungai besar dekat gubuknya. "Brug....," suara tubuh Amak Stowek jatuh. Namun, kaki dan tongkatnya tersangkut akar pohon di bibir sungai itu. Ia menggelantung dan berteriak-teriak minta tolong. "Tolong-tolong," teriak Amak Stowek. Namun, tak satu pun orang yang mendengar.
Derasnya aliran sungai, membuat rasa takut di benaknya. Dipandanginya bibir sungai yang agak juram sambil menggelantung di akar pohor besar itu. Tenggorokannya terasa sesak memanggil-manggil orang yang akan menolongnya. Tapi, tak satu pun yang muncul. Hingga akhirnya, ia mencoba menolong dirinya dengan tongkat yang tersangkut akar pohon di sampingnya. Diraihnya tongkat itu. Perlahan ia tancapkan tongkat di bibir sungai itu sambil mencoba mengangkat diri ke atas. Berkali-kali ia mencoba, namun belum berhasil.
Keringat dan air mata menetes deras di pipinya. Ia sangat menyesali perbuatan konyolnya. Kembali ia mencoba mengangkat tubuhnya dengan susah payah. Tapi gagal lagi. Sejenak ia istirahat, sejenak lagi ia mencoba berulang-ulang sampai akhirnya berhasil. "Berhasil," celetuk Amak Stowek kegirangan. Rasa gembira terbersit di hatinya. Ia merasa seperti keluar dari lubang kematian. Direbahkan tubuhnya di pinggir bibir sungai itu sambil menarik nafas lega. "Tuhan, terima kasih, Engkau telah menolongku dari perbuatan hina ini!" seru Amak Stowek sambil menengadahkan kepalanya ke atas. Dipandanginya bintang-bintang yang bertaburan. "Indah nian bintang-bintang itu, begitu cantik dengan cahyanya yang berkilau." ungkap Amak Stowek.
Puas memandangi bintang-bintang, Amak Stowek mengarahkan pandangannya ke arah bulan yang bersinar terang menyinari bumi. "Oh, Tuhan begitu sempurnaNya ciptaanMu. Malam Kau sinari bumi dengan bulan dan bintang, siang Kau sinari bumi dengan matahariMu. Alangkah sempurnaNya ciptaanMu Tuhan!" seru Amak Stowek mengagung-agungkan kebesaran Tuhan.
Tak lama kemudian, Amak Stowek mengamati tubuhnya. Seketika, perasaan kagum itu berubah menjadi kesedihan yang mendalam. Hatinya berdegup kencang merasakan duka yang dalam. Dalam hati ia bertanya, "Tuhan akankah penderitaan ini terus begini?" tanyanya. Tiba-tiba datang bisikan setan kepadanya, "Amak Stowek, Tuhan memang membenciMu. Kau lihat rumput, pohon, bintang, bulan dan semua yang ada di depanmu, semuanya diciptakan sempurna. Tetapi, kamu diciptakan tidak sempurna!" ejek setan-setan kepada Amak Stowek. Seketika, perasaan Amak Stowek terasa dibakar. Ia merasa seolah Tuhan memberikan ketidakadilan pada dirinya.
"Hiaaaaaat....," teriak Amak Stowek. Ia segera bangun dan mendekati kembali bibir sungai di hadapannya. Tapi, rasa bersalah itu kembali muncul. Akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk membuang diri di sungai. Dilangkahkan kakinya ke rumah tempat tinggalnya. Direbahkan tubuhnya dan terlelap hingga pagi hari.
Kokok ayam bersahut-sahutan menyambut kedatangan pagi. Sementara itu, Amak Stowek baru saja bagun pagi dan segera mandi pagi. Ia bergegas menuju hutan dan membawa ranting-rantig kayu untuk ditukarkan dengan makanan.
Hari-hari, terasa begitu berat bagi Amak Stowek. Ia harus menyiapkan segala kebutuhannya sendiri. Mencari ranting-ranting kayu untuk mempertahankan hidupnya. Tak ada yang membantunya. Tak ada yang merasa iba padanya. Ia hidup sendiri di hutan. Hingga suatu hari keajaiban terjadi, seusai mencari ranting-ranting pohon di hutan. Ia menyandarkan tubuhnya di sebuah batang pohon besar. Ia rebahkan tubuhnya. Saking capeknya, ia tertidur pulas. Di tengah tidurnya, datanglah seorang Papuk Toak berjenggot lebat menghampirinya. Pakaiannya putih-putih. Seluruh rambutnya dipenuhi oleh rambut putih. Dengan pandangan yang tajam ia memandangi Amak Stowek. "Amak Stowek!" serunya. "Jika kamu menginginkan tubuhnmu sempurna seperti semua orang, maka datanglah ke Bukit Tuhan. Di sana tubuhmu akan menjadi sempurna!" suruh Papuk itu. "Tapi, di mana Bukit Tuhan itu, Puk?" tanya Amak Stowek dengan perasaan takut. "Carilah sendiri dan ikuti ke mana mata kakimu melangkah," kata Papuk Toak itu. "Kini aku akan memberimu pil kekuatan agar kamu bisa sampai ke Bukit Tuhan," kata Papuk Toak sembari melempar sebuah pil ke mulut Amak Stowek. Seketika Amak Stowek terperanjat dari tidurnya. "Ah," ternyata aku bermimpi, kata Amak Stowek.
Mimpi di tengah hutan itu selalu hadir dalam pikirannya. Ia seakan-akan tidak bermimpi. Namun, merupakan kenyataan. Dalam tidurnya, ia berharap kembali mendapat mimpi itu. Tapi, tak kunjung datang. Hingga kembali, ia sengaja tidur di batang pohon yang pernah ditidurinya itu dengan maksud mendapatkan mimpi itu lagi. Tetapi, tak kunjung muncul. Hingga menjelang sore. Terpaksa ia pulang ke rumah karena khawatir akan binatang buas yang mencari mangsa di malam hari. Kebiasaan itu dilakukan Amak Stowek sampai satu bulan lamanya. Namun, mimpi itu tak pernah muncul lagi. Ia putus asa dan tidak lagi melakukan hal yang biasa dilakukan itu.
Dalam keputusasaan itu, hal yang ajaib terjadi pada Amak Stowek ketika berada di rumahnya. Kaki, tangan, dan seluruh tubuhnya yang stowek tidak lagi terasa lemas. Ia merasakan kekuatan yang luar biasa. Ia dapat berjalan dengan cepat dan menggerakkan seluruh anggota tubuhnya tanpa rasa lemas. Semula, tubuhnya cepat merasakan lemas dan lelah, namun kini tidak. Namun tiba-tiba, rasa kantuk muncul. Ia tak dapat menahannya. Matanya terasa dilem dan ia pun langsung tertidur pulas. Di tengah tidurnya, tiba-tiba mimpi yang ditunggunya muncul kembali. Papuk Toak dengan surban putih, berbaju putih dan berambut putih datang menghampirinya. "Amak Stowek, carilah Tuhan di Bukit Tuhan, ikuti arah dan langkah mata kakimu. Jangan kau cari aku lagi. Segera berangkat. Segera berangkat. Segera berangkat!" seru Papuk Toak itu berkali-kali dengan suara lantang dan keras. Amak Stowek kaget dan terbagun dari tidurnya.Ia merasa ketakutan. Seakan-akan Papuk Toak itu ada di hadapannya.
Tanpa pikir panjang, Amak Stowek segera mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan panjang. Ambon rebus, ambon katak, puntik, dan gedang serta beberapa kelambi dan kereng. Ia bungkus dengan kain besar yang telah ia siapkan. Segera, ia mengunci rumahnya dan bergegas berjalan mengikuti arah mata kakinya. Tongkat di tangannya selalu setia menemani perjalanannya mencari Tuhan.
Dataran tinggi, dataran rendah ia lalui. Masuk hutan, keluar hutan terus ia lakukan. Menyeberangi sungai, melewati semak tak gentar di hatinya. Ia ingin segera bertemu Tuhan dan meminta kesempurnaan tubuhnya. Sesekali bekal-bekal yang ia bawa, dibukanya sambil beristirahat di bawah pohon-pohon rindang. Nikmat sekali terasa dalam hidupnya. Semangat yang selalu membara tak pernah padam dalam dirinya. Kesabaran tak pernah hilang dalam hatinya. Ia bertekad keras bagai baja untuk menemukan Tuhan.
Tanpa terasa, perjalanan Amak Stowek telah berlangsung tiga bulan lamanya. Namun semangatnya tetap membara. Dalam perjalanannya, Amak Stowek banyak bertemu dengan binatang-binatang buas, seperti: macan, harimau, singa maupun binatang-binatang jinak, seperti: monyet, burung, ayam hutan, kadal hutan, biawak dan lain sebagainya. Anehnya, tidak pernah ada yang mengganggunya. Ia tidak merasa takut atau khawatir dimakan binatang buas walaupun ia sering masuk dan keluar hutan. Ia selalu tabah menempuh perjalanan. Hingga suatu hari ia bertemu dengan seorang Amak yang sedang sholat. Amak itu sholat di lempengan batu di pinggir sungai.
"Ah, baru kali ini aku bertemu dengan orang yang sedang sholat . Aku tidak mungkin lewat di depannya sebelum ia menyelesaikan sholatnya," kata Amak Stowek dalam hati. Akhirnya ia memutuskan untuk istirahat sambil menunggu amak itu menyelesaikan sholatnya. Lama sekali ia menunggu amak itu sholat. Hingga ia tak menyadari dirinya tertidur pulas karena capeknya. Saat terbangun sudah malam hari, ternyata amak itu masih mengerjakan sholat. "Luar biasa sholatnya orang ini," celetuk Amak Stowek dalam hati. Ia memang orang yang rajin beribadah. Jangan-jangan orang ini samaran kakek yang hadir dalam mimpiku itu?" tanya Amak Stowek dalam hati. "Kalau begitu. Aku akan menunggunya hingga selesai sholat," janjinya dalam hati.
Malam berganti siang, siang berganti malam, ternyata amak itu masih mengerjakan sholat. Namun, Amak Stowek tetap bersabar menunggu amak itu berhenti sholat. Diamat-amatinya lempengan batu tempat sholat Amak itu. Ternyata, lempengan batu itu, telah berbekas oleh keseringan sholat amak itu. Ada bekas dahi, telapak tangan, siku kaki, jari kaki dan telapak kaki orang itu. Amak Stowek kaget terkagum-kagum. "Luar biasa sholatnya amak ini," gumam Amak Stowek sambil terus mengamatinya. "Berarti, amak ini tidak akan berhenti sholat," pikirnya. Tapi, perasaan khawatir kalau ia adalah samaran kakek yang dalam mimpinya itu menghinggapi pikirannya. "Ah, kalau begitu aku harus menunggunya," kata Amak Stowek dalam hati. Akhirnya ia terus menunggu amak yang sedang sholat.
Tiga hari lamanya, ia menunggu amak yang sedang sholat itu. Tiba-tiba, amak itu berhenti sholat dan menoleh ke Amak Stowek. Dipandanginya wajah Amak Stowek dengan pandangan yang tajam. Dari raut wajahnya, tampaklah ia ahli ibadah. Dahinya hitam bekas sujud, telapak tangan, kaki, dan jari-jarinya hitam bekas sujud. Amak Stowek tersentak kaget dipandangi seperti itu.
"Mau ke mana engkau?" tanya amak itu.
"Aku mau bertemu Tuhan," jawab Amak Stowek terbata-bata.
"Kau tahu tempatnya Tuhan?" tanya amak itu.
"Iya, aku tahu. Tuhan ada di Bukit Tuhan," jawab Amak Stowek.
"Kau tahu dimana Bukit Tuhan itu?" tanya amak itu.
"Aku belum tahu," Jawab Amak Stowek.
"Kalau begitu kamu ikuti arah matahari terbit. Di situlah tempat Bukit Tuhan itu," kata amak itu. "Tapi, tolong sampaikan salamku pada Tuhan!" pinta amak itu.
"Salam apa?" tanya Amak Stowek.
"Salam pada Tuhan. Aku akan ditempatkan di surga mana. Katakan juga kalau aku umatNya yang tak pernah putus beribadah setiap waktu. Bahkan, tak pernah istirahat ibadah sampai berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Batu tempat ibadahku pun sudah berbekas. Ingat itu
jangan lupa!" seru amak itu."Aku telah membantumu menunjukkan letak Bukit Tuhan. Sekarang kau harus membantuku," ujar amak itu.
"Baik, baik... saya akan menyampaikan salammu pada Tuhan kalau aku bertemu nanti," kata Amak Stowek sembari memohon pamit dan minta lewat di depan amak itu. Amak itu pun mempersilakan Amak Stowek melanjutkan perjalanannya mencari Tuhan.
Hari-berganti hari, siang berganti malam, malam berganti siang. Tanpa terasa perjalanan Amak Stowek sudah masuk empat bulan lamanya. Bekal yang dibawa Amak Stowek sudah hampir habis. Tinggal dua biji ambon, dan satu buah puntik yang sudah tampak mengering. Ia tetap melanjutkan perjalanannya melewati sungai-sungai besar dan kecil. Masuk dan keluar hutan lebat. Hingga suatu hari, saat berada di tengah hutan. Ia melihat segerombolan perampok yang sedang membagi-bagikan hasil rampokannya. Dengan penuh gembira ria para perampok itu tertawa terkekeh-kekeh melihat hasil rampokannya yang bertumpuk-tumpuk. Mulai dari piring, baju, perhiasan beraneka ragam, dan berbagai jenis hewan ternak, seperti kambing dan sapi.
Amak Stowek takut untuk mendekati dan melewati setapak jalan yang ada di tengah hutan belantara itu. Dengan segera, ia mencoba balik putar arah, tetapi gerakan suara kaki dan tongkatnya didengar oleh para perampok yang mahir itu. Mereka segera lompat dengan menghunus pedang dan tombak ke arah Amak Stowek. Seketika, Amak Stowek tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyerah.
"Hai, siapa kamu? Cepat mendekat atau aku penggal kakimu!" seru perampok itu. Amak Stowek yang merasa terpergok oleh perampok itu, segera mendekati mereka. Para perampok itu cukup kaget melihat Amak Stowek yang memiliki tubuh serba separuh.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya kepala perampok yang berambut gondrong itu. Kumisnya lebat dan keras. Jenggotnya pun lebat dan keras. Tampak tidak pernah diberi kejames.
"Aku hanya mau lewat," jawab Amak Stowek.
"Kasihan sekali kamu," ujar kepala perampok itu sembari tangannya
membelai-belai kumis panjangnya.
"Mau kemana kamu?" tanya perampok itu.
"Aku mau mencari Tuhan," jawab Amak Stowek.
"Ha...ha...ha...ha....," tawa perampok itu serempak.
"Apakah kamu mampu mencapai tempat Tuhan dengan keadaan seperti ini?" tanya perampok itu. Mereka tak percaya akan kemampuan dan kesungguhan Amak Stowek.
"Aku mampu dan tahu tempat Tuhan," jawab Amak Stowek.
"Di mana tempat Tuhan?" tanya kepala perampok itu.
"Tuhan ada di Bukit Tuhan," jawab Amak Stowek.
"Rupanya kamu tahu juga tempat Tuhan. Sudah berapa lama perjalananmu ini?" tanya kepala perampok itu. "Perjalananku sudah empat bulan," kata Amak Stowek dengan bersemangat. Ia tak mau diremehkan oleh para perampok itu.
"Hah," seru para perampok itu keheranan. Mereka tak percaya akan kemampuan Amak Stowek dengan separuh tubuhnya dapat melakukan perjalanan yang lamanya empat bulan lebih.
"Kalau kalian tidak percaya, lihatlah kakiku yang sudah pecah-pecah dan bekalku yang hanya tinggal sepotong ambon," kata Amak Stowek meyakinkan para perampok itu. Ditatapnya kaki dan jari-jari kaki Amak Stowek yang terinfeksi, pecah-pecah, dan berdarah. Barulah para perampok itu mempercayai kata-kata Amak Stowek. Mereka tersentuh dan terkagum-kagum dengan kesungguhan dan kesabaran Amak Stowek mencari Tuhan. Kaki separuh dan tongkat tuanya, membantu ia melakukan perjalanan yang amat berat. Ibalah hati para perampok itu. Ia amati baju dan sarung yang dikenakan Amak Stowek yang sudah sobek-sobek. Muncullah rasa kasihan yang mendalam dalam hati para perampok itu.
"Mana amakmu, saudaramu dan keluargamu?" tanya kepala perampok itu dengan penuh iba.
"Amak dan inakku sudah meninggal sejak aku kecil. Aku tidak punya saudara. Aku dibesarkan oleh seorang janda. Namun, ia sudah lama meninggal. Aku hidup sebatang kara. Segala kebutuhan hidupku, aku penuhi sendiri. Aku tidak pernah meminta-minta pada orang lain atau siapa pun. Aku tidak suka meminta sesuatu dari keringat orang lain. Aku mampu menghidupi diriku. Aku yakin, kalau kita berusaha dan berdoa pada Tuhan, maka Tuhan akan memberikannya. Asalkan tidak meminta dan mengambil hak orang lain," ungkap Amak Stowek. Para perampok itu tertegun dan malu mendengarkan kata-kata yang meluncur deras dari mulut Amak Stowek yang punya tubuh separuh itu. Mereka merasa malu karena tubuhnya yang kuat, kekar, dan sempurna itu selalu mereka gunakan untuk mencuri dan merampok harta benda hasil keringat orang lain. Akhirnya, mereka semua tertunduk lemas.
"Amak Stowek, kami percaya dengan kata-katamu. Aku hanya berpesan dan menitip salam kepada Tuhan. Tolong tanyakan kalau kami mati nanti kami akan dimasukkan ke neraka yang mana? Sampaikan kalau kami adalah para perampok dan pencuri yang selalu makan dari hasil keringat orang lain. Bahkan, kami kadang melakukan kekerasan pada orang-orang yang melawan kami," pinta para perampok itu. Amak Stowek pun mengangguk-angguk. Akhirnya, mereka menyilakan Amak Stowek melanjutkan perjalanannya. Amak Stowek pun berangkat melanjutkan perjalanan. Lembah ia lewati, padang rumput dilalui. Sungai diseberangi, bukit, pegunungan ia daki dengan penuh kesabaran dan ketabahan.
Hari berganti hari, malam berganti malam. Tak terasa, perjalanan Amak Stowek mencari Tuhan sudah berlangsung selama 5 bulan. Tapi, tanda-tanda ia akan bertemu Tuhan belum juga muncul. Segala bukit yang ia temui, ia amat-amati dan singgahi selama satu atau dua hari. Ia berharap dibukit itulah ia menemukan Tuhan. Tapi harapan itu tinggallah harapan. Hingga ia terus melanjutkan perjalanan dengan harapan akan menemukan Bukit Tuhan yang ia cari.
Hari itu, tepatnya hari Senin, Amak Stowek tiba-tiba melihat sebuah bukit di kejauhan. Bukit itu tampak berbeda dengan bukit-bukit biasanya. Dari bukit itu, tampak warna putih berkilau-kilauan. Pepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di sekitarnya tampak jelas sekali. Padahal, jarak ia berdiri dari bukit itu masih jauh sekali. Binatang-binatang yang tinggal di situ tampak jelas. Ada yang berlari-larian dan berkejar-kejaran. Begitu pun jenis-jenis burung yang hinggap dan beterbangan di bukit itu tampak jelas terlihat. Ia sekan-akan melihat bukit dengan segala isinya ada di depannya. Hal itu membuat perasaan Amak Stowek menjadi senang tak kepalang.
"Hai Amak Stowek, itulah tempat Tuhan. Sekarang saatnya kau datang dan memprotes TuhanI" suruh setan-setan itu. Perubahan pun terjadi, Amak Stowek yang semula datang memohon pertolongan Tuhan, kini ingin memprotes Tuhan dengan rasa ketidakadilan yang diberikan padanya. Setan-setan berhasil menggoda Amak Stowek hingga akhirnya Amak Stowek berubah niat dan tujuan.
"Tuhan, inikah tempatMu itu? Ha...ha...ha," seru Amak Stowek tertawa kegirangan. Ia tertawa lepas tanpa kendali. Ha...ha...ha... Aku telah menemukan tempat Mu Tuhan....! Teriak Amak Stowek. Aku mencariMu ke sana kemari, ternyata Kau ada di sini Tuhan. Ha..ha...," tawa Amak Stowek. "Aku akan segera mendekatiMu Tuhan dan akan memprotes segala ketidakadilanMu Tuhan," seru Amak Stowek. "Aku akan meminta keadilanMu dan meminta segala yang kuinginkan. Aku ingin tubuhku sempurna dan aku ingin menjadi raja dan kaya raya, ha...ha..." kata Amak Stowek bicara sendirian.
Dengan penuh semangat, Amak Stowek segera melangkahkan kakinya menuju Bukit Tuhan yang ia cari itu. Tak ada lagi rasa capek dan lelah yang ia rasakan. Seperti tak ada beban lagi yang ada di pundaknya. Ia merasa sudah bertemu dan dekat dengan Tuhan. Ia sudah tidak sabar lagi. Sekencang kancil ia melangkah, tapi bukit itu tetap saja masih di depannya dengan jarak yang tetap. Terus, ia langkahkan kakinya menuju bukit itu. Tapi, tak kunjung tiba seperti jarak semula yang ia rasakan. Semakin jauh ia melangkah, semakin jauh pula jarak bukit yang ia rasakan. Amak Stowek jadi bingung. Ia tak percaya dengan hal ini. Namun, ia masih tetap berusaha mendekati bukit itu, tapi tetap saja jarak yang ia rasakan tidak semakin dekat. Hingga akhirnya, Amak Stowek merasa hampir putus asa. Ia telah berjalan cepat mendekati bukit itu hampir satu hari lamanya semenjak ia melihat bukit itu.
"Ada apa gerangan dengan Bukit Tuhan ini?" tanyanya dalam hati.
"Oh, Tuhan. Aku telah merasa dekat denganMu tapi, Engkau menjauh terus. Katakan Tuhan, mengapa Engkau menjauh teruuuuuuus," teriak Amak Stowek setengah putus asa. "Pluk, gerr..........." bunyi tubuh Amak Stowek terjungkal dan jatuh ke tanah. Ia pingsan tak sadarkan diri. Di tengah-tengah ketidaksadarannya itu, Amak Stowek didatangi oleh Papuk Toak yang pernah menyuruh ia datang ke Bukit Tuhan itu.
"Amak Stowek, lihatlah aku," seru Papuk Toak itu. Dengan kaget Amak Stowek menatap Papuk Toak itu. "Kau tidak boleh mengotori niatmu kalau kau ingin bertemu Tuhan. Hatimu harus bersih dan tidak tergoda oleh bisikan setan!" seru Papuk Toak. Sekarang kemarilah kamu. Duduk di sampingku!" pinta Papuk Toak. Segera Amak Stowek mengikuti permintaan Papuk Toak. Ia duduk di sampingnya. Beberapa saat kemudian, sekujur tubuh Amak Stowek disirami air panas. Ia teriak kesakitan. Seluruh tubuhnya terasa terkelupas. Setelah itu, tubuh Amak Stowek disirami lagi dengan air dingin. Sekujur tubuhnya terasa dingin seperti es. Namun, tiba-tiba, tubuh Amak Stowek menjadi sempurna. Ia bahagia bukan kepalang. Diamati tubuhnya, terasa senang di hatinya. Ia berucap syukur pada Tuhan atas pertolongan yang diberikan kepadanya.
"Amak Stowek," seru Papuk Toak. Janganlah kau menyombongkan diri atas segala yang diberikan Tuhan padaMu. Sesungguhnya, apa yang diberikan Tuhan itu merupakan nikmat sekaligus ujian bagimu. Oleh karena itu tetaplah bersabar atas ujian dan bersyukurlah selalu atas nikmat yang diberikan!" nasehat Papuk Toak itu. Amak Stowek mengangguk-angguk.
"Puk, kalau boleh saya tahu, Tuhan ada di mana? Mana Bukit Tuhan itu?" tanya Amak Stowek. " Bukit Tuhan itu ada di hatimu. Sedangkan Tuhan ada di mana-mana. Saat hatimu mengingat Tuhan, maka kau telah berada di Bukit Tuhan dan bersama dengan Tuhan. Jadi jangan lagi kau tanyakan tempat Tuhan karena kamu sudah tahu di mana tempat Tuhan," imbuh Papuk Toak. Amak Stowek pun mengangguk-angguk.
"Tapi, saya harus menyampaikan pesan dan salam buat Tuhan. Bagaimana saya harus menyampaikannya?" tanya Amak Stowek. "Katakan pada orang yang memberikan salam pada Tuhan itu," kata Papuk Toak. "Orang yang rajin sholat hingga berbekas di dahi dan di batu tempat sholatnya itu akan dimasukkan ke neraka paling bawah karena ia telah menyombongkan kedekatannya dengan Tuhan. Seharusnya, ia tetap rendah hati dan tidak merasa paling alim dan mulia.
"Lalu, bagaimana dengan perampok yang kutemui di tengah hutan itu?" tanya Amak Stowek. "Perampok itu akan dimasukkan ke surga paling tinggi karena mereka telah menyadari kesalahannya setelah bertemu denganmu. Mereka tidak pernah merasa lebih baik dari orang lain," jawab Papuk Toak itu. "Lalu bagaimana aku harus meyakinkan mereka?" tanya Amak Stowek." Katakan padanya, bahwa aku adalah pesuruh Tuhan yang ditugaskan untuk menyampaikan jawaban ini," kata Papuk Toak itu. "Baiklah kalau begitu, saya akan menyampaikan pesan itu," kata Amak Stowek.
Tiba-tiba Papuk Toak itu memegang tubuh Amak Stowek dan melemparkannya jauh. "Pruk," bunyi tubuh Amak Stowek jatuh di hutan rimba. Ia tersadar. "Ah, ternyata aku sedang bermimpi," kata Amak Stowek. Ia begitu kaget melihat tubuhnya yang telah sempurna terlebih lagi, ternyata ia telah berada di tengah hutan. Ia bangkit dan mengucap rasa syukur pada Tuhan. Segeralah ia melanjutkan perjalanan pulang. Tak lagi ia gunakan tongkat untuk berjalan. Tak lagi berjalan terpincang-pincang. Kini langkahnya tegap dan sempurna.
Perjalanan memasuki hutan keluar hutan, menyeberangi sungai, melewati semak, dan melewati bukit kembali ia lakukan. Hingga tanpa sengaja, bertemu kembali dengan gerombolan perampok itu. Namun, kondisi perampok itu telah berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Kini para perampok itu sedang bertani dan berladang.
"Hai, para perampok aku telah menyampaikan salammu pada Tuhan," kata Amak Stowek. "Di mana kau temukan Bukit Tuhan itu?" tanya perampok itu. "Bukit Tuhan itu ada di hati kita dan Tuhan ada bersama kita saat kita mengingatNya," kata Amak Stowek. "Lalu bagaimana dengan tempat kami nanti. Di neraka mana kami akan ditempatkan?" tanya para perampok dengan tidak sabar. "Kalian akan ditempatkan di surga yang paling tinggi karena kalian telah sadar dan tidak pernah merasa lebih mulia dari orang lain," jawab Amak Stowek. Para perampok itu berucap syukur pada Tuhan. Mereka segera mengembalikan harta benda yang pernah dicuri dan memulai dengan hidup baru. Mereka menjadi rajin beribadah.
Usai bertemu para perampok, Amak Stowek melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, Amak Stowek bertemu Amak yang rajin ibadah itu. Kepadanya ia menyampaikan jawaban yang diberikan Papuk Toak itu kalau ia akan dimasukkan ke neraka yang paling bawah. Penyebabnya karena ia selalu merasa lebih alim dan mulia dari orang lain dan selalu membanggakan ibadahnya. Jawaban Amak Stowek itu membuat Amak yang rajin ibadah itu marah dan pergi. Ia langsung berhenti ibadah dan sejak itu ia kerap kali melakukan perbuatan yang tidak senonoh dan tidak bermoral.
Sementara itu, Amak Stowek yang telah sampai rumahnya, memulai hidup baru. Ia hidup selayaknya orang yang sempurna. Ia tidak lagi hidup di hutan sendirian tetapi telah hidup bersama masyarakat umumnya di dekat hutan.
Pesan Moral:
Orang yang selalu tabah dan sabar menerima cobaan Tuhan akan dibalas dengan nikmat yang besar dari Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat. Berupaya untuk hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain adalah perbuatan terpuji. Memberi itu lebih mulia daripada meminta. Keikhlasan dan kesungguhan dalam beribadah adalah kunci sukses dunia dan akhirat.
Istilah-istilah:
1. amak adalah ayah kandung atau orang tua laki-laki jauh yang seumuran
dengan orang tua kita.
2. inak adalah ibu kandung atau orang tua perempuan yang sebaya ibu kita.
3. papuk adalah kakek atau orang tua yang lebih tua dari ayah kita
4. toak adalah tua
5. gedang adalah papaya
6. puntik adalah pisang
7. ambon katak adalah ubi mentah
8. kereng adalah sarung
9. dilah coplok adalah lampu penerang
10. stowek adalah separuh
11. amak Stowek adalah orang separuh badan
( Oleh: Lalu Salappudin, M.P.d )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H