Mohon tunggu...
Laksmi Haryanto
Laksmi Haryanto Mohon Tunggu... Freelancer - A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

As a former journalist at Harian Kompas, a former banker at Standard Chartered Bank and HSBC, and a seasoned world traveler - I have enjoyed a broad range of interesting experience and magnificent journey. However, I have just realized that the journey within my true SELF is the greatest journey of all. I currently enjoy facilitating Access Bars and Access Energetic Facelift sessions of Access Consciousness - some extraordinary energetic tools of cultivating the power within us as an infinite being.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengurai Benang Kusut Dilema Orang Suku Laut

8 April 2020   07:01 Diperbarui: 10 April 2020   05:54 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Akad, Lingga, Kepulauan Riau

Setelah itu KAT dinyatakan graduated atau lulus, lalu exit atau keluar dari program Pemerintah Pusat. Pengembangan selanjutnya diserahkan pada Pemerintah Daerah, sampai pada akhirnya diharapkan KAT tidak terpencil lagi, tetapi berkembang menjadi komunitas mandiri yang setara dengan masyarakat lainnya.

Lalu, bagaimana dengan Orang Suku Laut?

Ah. Ternyata Provinsi Kepulauan Riau telah dinyatakan graduated dan exit dari program Pemberdayaan KAT ini pada tahun 2014.

“Data KAT Kabupaten Lingga sudah tidak dimasukkan ke list prioritas karena dianggap sudah pernah menerima bantuan berupa rumah. Karena itu eksekusi proyek dikembalikan ke Pemerintah Kabupaten dan Provinsi. Program Pemberdayaan KAT tidak melakukan intervensi sampai tingkat desa,” jelas Wengky Ariando, Doctoral Candidate dari Chulalongkorn University, Thailand, yang di akhir 2018 selama tiga bulan hidup bersama Orang Suku Laut dalam sampan-sampan kajangnya untuk melakukan penelitian. Hasil penelitiannya, ‘Kearifan Ekologi Lokal dari Masyarakat Adat terhadap Adaptasi Perubahan Iklim: Studi Kasus Orang Suku Laut, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia’ menyumbangkan data dan pemahaman penting tentang Orang Suku Laut serta menjadi rujukan signifikan bagi pengembangan Orang Suku Laut di Kabupaten Lingga.

Sampan Kajang
Sampan Kajang
Selanjutnya Wengky yang September lalu sempat berbincang dengan Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) Kementerian Sosial RI, Dr. La Ode Taufik, menambahkan: “Beberapa informasi dari Direktorat PKAT menyatakan bahwa program-program yang diberikan Pusat hanyalah yang bersifat trigger atau pemicu. Kalau akan dilanjutkan, silakan dimasukkan ke Rencana Daerah. Menurut saya pribadi, terkesan ada misunderstanding antara term ‘PKAT’ di tingkat nasional dan di level Kabupaten, bahkan di Yayasan Kajang. Yang di level Kabupaten beranggapan PKAT adalah bantuan fisik seperti rumah atau fasilitas umum lainnya. Namun sebenarnya Kementerian Sosial menyatakan bahwa program-program yang diajukan haruslah yang berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Ini yang masih sering keliru.”

Peranan Penting Dana Desa

Pertanyaan kemudian adalah, jika bantuan masif sudah tidak bisa diajukan lagi pada Pemerintah Pusat dan kelanjutannya harus dikelola Pemerintah Daerah, dari mana sumber yang terbaik?

“Dana Desa,” jawab Wengky. “Kalau mau di-adjust, Dana Desa bisa digunakan untuk pembuatan rumah Orang Suku Laut. Sesuai UU Desa, untuk ini ada pos dananya. Saya pernah menanyakan ini kepada beberapa kepala desa di Lingga yang mempunyai masyarakat Suku Laut. Contohnya di desa Kelumu yang aparat desanya cukup progresif. Mereka pernah memberi bantuan rumah untuk Suku Laut dari Dana Desa. Namun untuk desa yang tidak mempunyai inisiatif, mereka beralasan bahwa Orang Suku Laut sudah diurusi oleh PKAT Dinas Sosial, maka tidak boleh lagi dapat bantuan dari Dana Desa.”

Belajar Membaca. Yayasan Kajang.
Belajar Membaca. Yayasan Kajang.
Maka aku pun mengintip ‘Pedoman Umum Pelaksanaan Penggunaan Dana Desa Tahun 2020’ yang kini sering menjadi ‘trending topic’ itu. Yang perlu digarisbawahi dari Bab 1 adalah:
  • Agar Desa mampu menjalankan kewenangannya, termasuk mampu menswakelola pembangunan Desa maka Desa berhak memiliki sumber-sumber pendapatan. Dana Desa yang bersumber dari APBN merupakan salah satu bagian dari pendapatan Desa. Tujuan Pemerintah menyalurkan Dana Desa secara langsung kepada Desa adalah agar Desa berdaya dalam menjalankan dan mengelola untuk mengatur dan mengurus prioritas bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.
  • Penggunaan Dana Desa dikelola melalui mekanisme pembangunan partisipatif dengan menempatkan masyarakat Desa sebagai subyek pembangunan. Karenanya, rencana penggunaan Dana Desa wajib dibahas dan disepakati dalam musyawarah Desa.

“Pelibatan suara Orang Suku Laut dalam pembuatan program desa ini adalah salah satu kunci perubahan yang bisa kita kuatkan saat ini,” ungkap Wengky kemudian. “Di sini, kita bisa menggunakan skema FPIC (Free, Prior and Informed Consent).”

Apakah itu skema Free, Prior and Informed Consent? Dari situs forclime.org: “Sederhananya, FPIC adalah hak masyarakat adat untuk mengatakan "ya, dan bagaimana" atau "tidak" untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah mereka. Hal ini berbasis pada hukum internasional dan hukum nasional di beberapa negara. Status hukumnya telah diperkuat melalui adopsi dari Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada tahun 2008. Berasal dari hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri, kemudian semakin diperluas ke semua masyarakat lokal dengan hubungan historis atau adat atas tanah dan sumber daya yang mereka gunakan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun