Ditemani Afendi, seorang tetua desa, di suatu siang di bulan Maret 2020 aku berdiri di atas jalan kayu yang sudah kelihatan rapuh di Desa Akad, Lingga, Kepulauan Riau. Itu adalah salah satu desa pesisir pantai yang sebagian besar dihuni Orang Suku Laut. Orang Suku Laut adalah masyarakat asli Kepulauan Riau yang beratus-ratus tahun secara turun-temurun tinggal dan berkelana di atas sampan, sampai sebagian besarnya direlokasi ke darat oleh Pemerintah pada tahun 1990-an.
Matahari terik tak menghalangi kami memandang sampan-sampan yang melaju di laut. Beberapa sampan mengangkut anak-anak kecil pulang sekolah. Meski matahari menyengat panas, anak-anak itu tampak tenang di atas sampan, bahkan tersenyum membalas lambaianku dari kejauhan.
Padahal perjalanan ke dan dari sekolah bukanlah hal mudah bagi tubuh-tubuh kecil mereka. Untuk mencapai sekolah setiap hari, setelah bersampan ke ujung pulau, mereka masih harus berjalan kaki lebih dari dua kilometer lagi jauhnya. Di musim utara di mana gelombang laut menggulung tinggi dan memecah pantai dengan dahsyat, mereka terpaksa melawan ganasnya ombak dan berjuang ke sekolah dengan baju dan tubuh yang basah kuyup terguyur air laut.
“Ibu…” tiba-tiba suara Afendi mengejutkanku. Dalam dialek Melayunya yang kental ia bertanya dengan sungguh-sungguh. “Bagi kami yang sudah tua ini, biarlah. Tapi kami tak ingin anak-anak kami hidup seperti ini lagi. Untuk orang-orang seperti kami yang tak mampu ini, bagaimana caranya agar anak-anak kami bisa meneruskan ke pendidikan tinggi?”
Kutarik napas yang sangat panjang. Tergagap dalam hati, sebetulnya aku tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaannya yang sungguh-sungguh itu. Sebab, pertama, aku tak ingin menjual kata-kata kosong. Mereka adalah orang-orang termarjinalkan yang hidupnya keras, namun masih berusaha memelihara harapan mulia.
Kedua, mereka telah sering didatangi berbagai orang yang menurut mereka sering melakukan pendataan warga dan menjanjikan ini-itu tetapi tak ada wujudnya. Dengan demikian, mereka telah sering dikecewakan. Ketiga, aku harus menjawab apa? Dan dalam kapasitas apa?
Sebenarnya siang itu aku menemani Lensi Fluzianti atau yang dikenal dengan Bunda Densy, Ketua Yayasan Kajang, untuk melakukan pendataan. Yayasan Kajang adalah lembaga sosial yang didirikan pada tahun 2018 dengan tujuan mendampingi dan membela hak-hak Orang Suku Laut. Baca juga “Anak-anak Sampan Pun Pewaris Sah Negeri Ini”.
Komunitas Adat Terpencil (KAT)
Dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan empat ribuan lebih Orang Suku Laut di Kabupaten Lingga yang saat ini terpencar di 30 titik dan keadaannya masih sangat memprihatinkan – yakni sebagian besar orang dewasanya buta aksara, sebagian besar anak-anaknya putus sekolah dasar, matapencaharian di laut terdesak sehingga banyak yang mulai membabat hutan bakau, akses layanan kesehatan dan air bersih minim atau tak ada, dan ada kegamangan berkompetisi karena minim ketrampilan atau tak ada pilihan – maka Yayasan Kajang mengumpulkan data agar bersama Pemerintah Daerah nantinya dapat memetakan kondisi sosial yang sebenarnya dari Orang Suku Laut ini.
Sebentar. Aku mengerti keprihatinan itu. Tetapi masalahnya, apakah Orang Suku Laut masih digolongkan sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang masih perlu dibantu oleh Pemerintah Pusat? Atau tidak?
KAT yang menurut Peraturan Presiden 186 Tahun 2014 merupakan sekumpulan orang dalam jumlah tertentu yang terikat oleh kesatuan geografis, ekonomi, dan/atau sosial budaya, miskin, terpencil, dan/atau rentan sosial ekonomi – adalah bagian warga negara Indonesia yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Mengapa? Sebab Pemerintah harus mewujudkan sila kelima Pancasila, ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.
KAT memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan warga Indonesa lainnya, namun KAT memerlukan perhatian lebih dan perlakuan berbeda dari Pemerintah, sebab mereka terdesak dan tertinggal. Agar sila kelima dapat terwujud dan agar mereka dapat sejajar dengan masyarakat Indonesia lainnya, KAT memerlukan percepatan perbaikan kesejahteraan sosial. Tak hanya keterpencilan, masalah-masalah KAT pada umumnya terkait dengan kemiskinan, pendidikan, kebutuhan dasar, kesehatan, keadilan, ketidaksetaraan, perusakan lingkungan, wilayah, hingga jangkauan yang sulit.
Nah, apakah Orang Suku Laut masuk dalam definisi tersebut? Masuk.
Apakah Orang Suku Laut masuk dalam kriteria tersebut? Masuk juga.
Lalu, di manakah duduk persoalannya hingga Orang Suku Laut terlempar dari data prioritas Pemberdayaan KAT Pemerintah Pusat?
Sebenarnya Peraturan Presiden Nomer 186 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan Sosial Terhadap Komunitas Adat Terpencil telah memberi rambu-rambu jelas dan legitimasi regulasi kuat. Pembagian kewenangan penanganan KAT dengan Pemerintah Daerah pun telah diatur sedemikian rupa dalam UU Nomer 23 Tahun 2014. KAT jelas ditempatkan Pemerintah sebagai salah satu prioritas dalam program nasional.
Di bawah payung hukum yang jelas itu kemudian diformulasikan aturan-aturan pelaksanaan program pemberdayaan yang kewenangannya terkait tak hanya pada Pemerintah Pusat, tetapi juga pada Pemerintah Daerah, pada berbagai instansi, serta pihak-pihak lainnya.
Setelah itu KAT dinyatakan graduated atau lulus, lalu exit atau keluar dari program Pemerintah Pusat. Pengembangan selanjutnya diserahkan pada Pemerintah Daerah, sampai pada akhirnya diharapkan KAT tidak terpencil lagi, tetapi berkembang menjadi komunitas mandiri yang setara dengan masyarakat lainnya.
Lalu, bagaimana dengan Orang Suku Laut?
Ah. Ternyata Provinsi Kepulauan Riau telah dinyatakan graduated dan exit dari program Pemberdayaan KAT ini pada tahun 2014.
“Data KAT Kabupaten Lingga sudah tidak dimasukkan ke list prioritas karena dianggap sudah pernah menerima bantuan berupa rumah. Karena itu eksekusi proyek dikembalikan ke Pemerintah Kabupaten dan Provinsi. Program Pemberdayaan KAT tidak melakukan intervensi sampai tingkat desa,” jelas Wengky Ariando, Doctoral Candidate dari Chulalongkorn University, Thailand, yang di akhir 2018 selama tiga bulan hidup bersama Orang Suku Laut dalam sampan-sampan kajangnya untuk melakukan penelitian. Hasil penelitiannya, ‘Kearifan Ekologi Lokal dari Masyarakat Adat terhadap Adaptasi Perubahan Iklim: Studi Kasus Orang Suku Laut, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia’ menyumbangkan data dan pemahaman penting tentang Orang Suku Laut serta menjadi rujukan signifikan bagi pengembangan Orang Suku Laut di Kabupaten Lingga.
Peranan Penting Dana Desa
Pertanyaan kemudian adalah, jika bantuan masif sudah tidak bisa diajukan lagi pada Pemerintah Pusat dan kelanjutannya harus dikelola Pemerintah Daerah, dari mana sumber yang terbaik?
“Dana Desa,” jawab Wengky. “Kalau mau di-adjust, Dana Desa bisa digunakan untuk pembuatan rumah Orang Suku Laut. Sesuai UU Desa, untuk ini ada pos dananya. Saya pernah menanyakan ini kepada beberapa kepala desa di Lingga yang mempunyai masyarakat Suku Laut. Contohnya di desa Kelumu yang aparat desanya cukup progresif. Mereka pernah memberi bantuan rumah untuk Suku Laut dari Dana Desa. Namun untuk desa yang tidak mempunyai inisiatif, mereka beralasan bahwa Orang Suku Laut sudah diurusi oleh PKAT Dinas Sosial, maka tidak boleh lagi dapat bantuan dari Dana Desa.”
- Agar Desa mampu menjalankan kewenangannya, termasuk mampu menswakelola pembangunan Desa maka Desa berhak memiliki sumber-sumber pendapatan. Dana Desa yang bersumber dari APBN merupakan salah satu bagian dari pendapatan Desa. Tujuan Pemerintah menyalurkan Dana Desa secara langsung kepada Desa adalah agar Desa berdaya dalam menjalankan dan mengelola untuk mengatur dan mengurus prioritas bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.
- Penggunaan Dana Desa dikelola melalui mekanisme pembangunan partisipatif dengan menempatkan masyarakat Desa sebagai subyek pembangunan. Karenanya, rencana penggunaan Dana Desa wajib dibahas dan disepakati dalam musyawarah Desa.
“Pelibatan suara Orang Suku Laut dalam pembuatan program desa ini adalah salah satu kunci perubahan yang bisa kita kuatkan saat ini,” ungkap Wengky kemudian. “Di sini, kita bisa menggunakan skema FPIC (Free, Prior and Informed Consent).”
Apakah itu skema Free, Prior and Informed Consent? Dari situs forclime.org: “Sederhananya, FPIC adalah hak masyarakat adat untuk mengatakan "ya, dan bagaimana" atau "tidak" untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah mereka. Hal ini berbasis pada hukum internasional dan hukum nasional di beberapa negara. Status hukumnya telah diperkuat melalui adopsi dari Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada tahun 2008. Berasal dari hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri, kemudian semakin diperluas ke semua masyarakat lokal dengan hubungan historis atau adat atas tanah dan sumber daya yang mereka gunakan.”
Yang jelas, dalam cara kita masing-masing, kita semua bisa menolong mengangkat mereka.
***
Dari berbagai sumber.
Artikel sebelumnya:
Kacamata, Ponsel gagap Aksara,dan Cahaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H