Bingo. Pertanyaan itu ternyata membuka jalan lebar. Akhirnya pada tahun 2015, setahun setelah ia memulai perjuangannya, dilakukanlah pernikahan masal bagi pasangan-pasangan Suku Laut. Ada 14 pasang 'pengantin' yang saat itu diresmikan sebagai suami-isteri di KUA Senayang. Namun yang tak kalah penting adalah anak-anak mereka akhirnya mendapatkan akte kelahiran dari negara, tercatat sebagai warganegara dan pewaris sah negeri ini.
Berjuta 'jangan-jangan' inilah yang menyebabkan Bunda Densy tak pernah bisa melepaskan wajah-wajah polos Orang Suku Laut ke luar dari benaknya. Sejak saat itu, bersama dengan teman-temannya, para mahasiswa, dan siapa pun yang bersedia -- ia mendirikan Komunitas Peduli Orang Suku Laut, yang kemudian menjadi cikal bakal Yayasan Kajang saat ini. Nama Kajang sendiri diambil dari atap berbentuk segitiga yang menaungi sampan Orang Suku Laut. Dulu, hidup mereka sepenuhnya ada di dalam sampan kajang itu.
Dengan sumber daya terbatas, Yayasan Kajang kemudian berusaha mendampingi, mendukung, dan mengatasi berbagai persoalan masyarakat Orang Suku Laut di Kabupaten Lingga. Masalah yang diyakini paling esensial adalah dikeluarkannya data Orang Suku Laut dari Kelompok Adat Terpencil (KAT), sehingga saat ini Orang Suku Laut sering tak diikutkan dalam program-program Pemerintah, baik di tingkat provinsi atau di tingkat desa. Padahal, kenyataan kehidupan mereka saat ini masih sangat memprihatinkan.
Kupandangi anak-anak kecil yang berkerumun gembira di sampingnya. "Jangan putus sekolah ya, Nak," bisikku perlahan. "Kalian harus bangga sebagai anak-anak sampan. Nenek moyang kalian adalah pelaut-pelaut ulung penjaga negeri ini. Anak-anak sampan pun adalah pewaris sah negeri ini."
***
Sumber dari Yayasan Kajang dan dari berbagai sumber lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H