Begitu perahu kami merapat di dusun Linau, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, pada 12 Maret 2020 lalu, Lensi Fluzianti - atau yang biasa dipanggil Bunda Densy - langsung berseru ke seantero dusun yang terdiri dari puluhan gubuk-gubuk kayu Orang Suku Laut.
"Ayo, ayo kita semua kumpul! Ini ada rombongan dokter yang akan memeriksa kesehatan kalian dengan gratis. Ayo, siapa yang sakit, berobat." Meski tanpa toa, suara Bunda Densy menggelegar melayang diiring hembusan angin, membuat beberapa orang mulai melongokkan kepala dari balik pintu.
Begitu mengenal sosok Bunda Densy yang wajahnya akrab di perkampungan Suku Laut, para warga mulai berani melangkah keluar rumah meski ragu-ragu melihat rombongan berjaket biru di belakangnya. Itu adalah rombongan dokter dari DoctorSHARE, sebuah yayasan sosial yang didirikan oleh dr. Lie A. Dharmawan untuk melayani masyarakat kecil di berbagai wilayah terpencil yang tak memiliki akses kesehatan.
Karena dokter Lie punya keprihatinan besar pada Orang Suku Laut - yakni masyarakat asli Kepulauan Riau yang beratus-ratus tahun hidup menyatu dengan laut, bahkan sebagiannya masih hidup di atas sampan-sampan kajang - siang itu kami berada di sana untuk melakukan pelayanan medis. Kami di sana bersama Bunda Densy, ketua Yayasan Kajang, sebuah lembaga nirlaba yang dibentuk pada tahun 2018 dengan tujuan membela hak-hak Orang Suku Laut yang mulai terdesak.
Aku memperhatikan semuanya. Kebanyakan anak-anak Orang Suku Laut terlihat cakap dalam penampilan eksotisnya yang khas. Dengan warna kulit hitam legam terpanggang sinar matahari, dengan rambut yang berujung kemerah-merahan tanpa high-light kimiawi, dengan sorot mata yang bening dan tajam, gurat wajah mereka terlihat serius. Mereka jarang tersenyum, namun begitu senyum mereka merekah, oh, seperti melihat matahari terbit di cakrawala.
Dan senyum anak-anak kecil itu ternyata merekah lebar begitu mendengar panggilan Bunda Densy. Dengan ramainya anak-anak kecil itu berebutan duduk di dekatnya.
"Coba lihat kukunya?" Bunda Densy meminta mereka mengangsurkan tangan yang mungil-mungil untuk diperiksa kukunya. "Hiiii... kenapa pada panjang-panjang kukunya? Tak pernah gunting kuku ya? Hiii... banyak kumannya itu. Ayo kita potong kuku."
Tapi tiba-tiba aku tersadar. Realitas hidup mereka sebenarnya tak seindah tawa itu. Masyarakat Orang Suku Laut, yang di masa Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang adalah pelaut-pelaut yang disegani, kini terdesak dan terpinggirkan. Tak mampu mengikuti perubahan zaman dan iklim, hampir seluruh orang dewasanya buta aksara hingga kini. Tak hanya itu, anak-anaknya pun kebanyakan putus sekolah di Sekolah Dasar, atau bahkan tak pernah sekolah sama sekali.
Baca juga "Kelana Laut yang Gamang, Akahkah Kalian Bertahan?"
Saat ia sedang mengajar anak-anak kecil warga desa, setiap pagi Bunda Densy selalu mendengar keriuhan di luar. Suara ramai itu ternyata berasal dari tepi pantai. Di sana ia mengamati, setiap pagi selalu ada sampan berderet-deret dengan anak-anak kecil bermain-main di atasnya. Sebagian anak-anak itu tampak membantu orangtuanya menjual ikan.
Karena usia anak-anak itu adalah usia sekolah, Bunda Densy tak bisa menahan keheranannya. Ia bertanya pada Pak Kades (Kepala Desa) Pena'ah, "Mengapa anak-anak kecil itu tak sekolah?"
"Oh... karena mereka anak-anak Orang Suku Laut," jawab Pak Kades singkat.
Jawaban itu membuatnya semakin bingung.
"Memangnya kenapa kalau mereka anak-anak Orang Suku Laut? Apakah itu membuat mereka tak berhak sekolah?"
Setelah Bunda Densy tahu bahwa anak-anak Suku Laut itu berada di bawah wilayah sang kepala desa, maka ia pun mencoba mendesak Pak Kades, "Pak, saya ingin anak-anak kecil itu juga bisa bersekolah di sini. Mereka kan termasuk warga Bapak."
Pak Kades tampak terkejut. Ia tak bisa memutuskan begitu saja.
"Coba Ibu rundingkan dulu dengan para wali murid lainnya, apakah mereka bersedia anak Orang Suku Laut ikut bersekolah di sini."
Perundingan dengan para wali murid ternyata berjalan alot. Sebagian besar berkeberatan anak-anak mereka bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Orang Suku Laut. Alasan-alasan yang diajukan pun tak masuk akal, seperti: penampilan fisik Orang Suku Laut yang berkulit hitam itu tak sepadan dengan mereka, kebiasaan Orang Suku Laut yang jarang mandi membuat bau amis ikan melekat di tubuhnya, atau Orang Suku Laut itu secara alami masih kental dengan mistis dan mejik yang menakutkan.
Karena jalan tampak buntu, akhirnya Bunda Densy mengajukan opsi terakhir, "Baiklah, kalau kalian tidak ingin menerima anak-anak Suku Laut itu bersekolah di sini, saya pun tak akan mengajar di PAUD ini lagi."
Rupanya itulah jalan yang ditunjukkan Sang Semesta. Karena warga desa masih membutuhkan Bunda Densy untuk mengajar di PAUD mereka, maka demi mempertahankan sang guru, untuk pertama kalinya anak-anak Orang Suku Laut pun diperkenankan bersekolah bersama anak-anak mereka. Dan, ternyata anak-anak kecil itu pun bisa bersekolah dan bergaul dengan akrab.
Pekerjaan rumah pertama bisa diselesaikan dengan baik. Lalu, apa pekerjaan rumah kedua?
"Anak-anaknya saja tidak sekolah, maka sudah pasti para orangtuanya juga buta huruf. Saya amati pada saat menjual ikan pada tauke, Orang Suku Laut itu ikut memelototi timbangan. Tapi apakah mereka mengerti bagaimana membaca jarum dan angkanya? Ketika saya tanyakan, mereka menggelengkan kepala. Mereka tak bisa baca timbangan. Ikan-ikan mereka dihargai murah sekali dan diklaim rusak karena tombak. Tetapi saat dijual ke pihak ketiga oleh tauke, harganya bisa berlipat tinggi," kisah Bunda Densy lebih lanjut. "Waktu itu saya hanya mengajar di pagi hari, sehingga punya waktu luang di siang hari. Saya katakan pada Pak Kades bahwa saya ingin mengajar orang-orang tua Suku Laut dalam program pemberantasan buta aksara."
Lagi-lagi, Pak Kades terkejut. "Siapa yang akan mengajar?" tanyanya.
"Saya," jawab Bunda Densy. "Saya sendiri yang akan mengajar. Tentu saja dengan syarat saya dijemput dan diantar dengan perahu menuju perkampungan mereka."
Sejak saat itulah keterlibatan Bunda Densy makin mendalam dengan Orang Suku Laut. Program pemberantasan buta aksara tak semudah bayangannya. "Bayangkan betapa kakunya tangan mereka! Seumur hidup hanya memegang serampang (tombak penangkap ikan), kini mereka harus belajar menulis. Tangan mereka itu sudah sekeras kaki meja," cerita Bunda Densy. "Saya harus memeluk dari belakang untuk bisa memegang tangannya dan melemaskan jari-jarinya, serta mencontohkan bagaimana caranya menulis di kertas HVS. Untuk bisa lancar mencoret-coret di atas kertas saja mereka memerlukan waktu sebulan!"
Jiwa gerilyanya pun langsung bergolak. Ia berusaha menikahkan secara resmi pasangan-pasangan itu sesuai dengan agama yang mereka anut, agar mereka beserta anak-anaknya diakui negara. Tetapi, apa yang terjadi?
"Ya ampun, saya dipingpong ke sana-sini selama satu tahun! Saya disuruh ke sana ke sini tanpa hasil. Semua proses dipersulit sampai-sampai akhirnya dengan terpaksa saya menghadang seorang pejabat di tengah jalan," ungkapnya. "Saya tanyakan pada pejabat itu: kalau Bapak tidak mau meresmikan pasangan-pasangan itu sesuai agama, maukah Bapak menanggung dosanya?"
Bingo. Pertanyaan itu ternyata membuka jalan lebar. Akhirnya pada tahun 2015, setahun setelah ia memulai perjuangannya, dilakukanlah pernikahan masal bagi pasangan-pasangan Suku Laut. Ada 14 pasang 'pengantin' yang saat itu diresmikan sebagai suami-isteri di KUA Senayang. Namun yang tak kalah penting adalah anak-anak mereka akhirnya mendapatkan akte kelahiran dari negara, tercatat sebagai warganegara dan pewaris sah negeri ini.
Berjuta 'jangan-jangan' inilah yang menyebabkan Bunda Densy tak pernah bisa melepaskan wajah-wajah polos Orang Suku Laut ke luar dari benaknya. Sejak saat itu, bersama dengan teman-temannya, para mahasiswa, dan siapa pun yang bersedia -- ia mendirikan Komunitas Peduli Orang Suku Laut, yang kemudian menjadi cikal bakal Yayasan Kajang saat ini. Nama Kajang sendiri diambil dari atap berbentuk segitiga yang menaungi sampan Orang Suku Laut. Dulu, hidup mereka sepenuhnya ada di dalam sampan kajang itu.
Dengan sumber daya terbatas, Yayasan Kajang kemudian berusaha mendampingi, mendukung, dan mengatasi berbagai persoalan masyarakat Orang Suku Laut di Kabupaten Lingga. Masalah yang diyakini paling esensial adalah dikeluarkannya data Orang Suku Laut dari Kelompok Adat Terpencil (KAT), sehingga saat ini Orang Suku Laut sering tak diikutkan dalam program-program Pemerintah, baik di tingkat provinsi atau di tingkat desa. Padahal, kenyataan kehidupan mereka saat ini masih sangat memprihatinkan.
Kupandangi anak-anak kecil yang berkerumun gembira di sampingnya. "Jangan putus sekolah ya, Nak," bisikku perlahan. "Kalian harus bangga sebagai anak-anak sampan. Nenek moyang kalian adalah pelaut-pelaut ulung penjaga negeri ini. Anak-anak sampan pun adalah pewaris sah negeri ini."
***
Sumber dari Yayasan Kajang dan dari berbagai sumber lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H