Saat ia sedang mengajar anak-anak kecil warga desa, setiap pagi Bunda Densy selalu mendengar keriuhan di luar. Suara ramai itu ternyata berasal dari tepi pantai. Di sana ia mengamati, setiap pagi selalu ada sampan berderet-deret dengan anak-anak kecil bermain-main di atasnya. Sebagian anak-anak itu tampak membantu orangtuanya menjual ikan.
Karena usia anak-anak itu adalah usia sekolah, Bunda Densy tak bisa menahan keheranannya. Ia bertanya pada Pak Kades (Kepala Desa) Pena'ah, "Mengapa anak-anak kecil itu tak sekolah?"
"Oh... karena mereka anak-anak Orang Suku Laut," jawab Pak Kades singkat.
Jawaban itu membuatnya semakin bingung.
"Memangnya kenapa kalau mereka anak-anak Orang Suku Laut? Apakah itu membuat mereka tak berhak sekolah?"
Setelah Bunda Densy tahu bahwa anak-anak Suku Laut itu berada di bawah wilayah sang kepala desa, maka ia pun mencoba mendesak Pak Kades, "Pak, saya ingin anak-anak kecil itu juga bisa bersekolah di sini. Mereka kan termasuk warga Bapak."
Pak Kades tampak terkejut. Ia tak bisa memutuskan begitu saja.
"Coba Ibu rundingkan dulu dengan para wali murid lainnya, apakah mereka bersedia anak Orang Suku Laut ikut bersekolah di sini."
Perundingan dengan para wali murid ternyata berjalan alot. Sebagian besar berkeberatan anak-anak mereka bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Orang Suku Laut. Alasan-alasan yang diajukan pun tak masuk akal, seperti: penampilan fisik Orang Suku Laut yang berkulit hitam itu tak sepadan dengan mereka, kebiasaan Orang Suku Laut yang jarang mandi membuat bau amis ikan melekat di tubuhnya, atau Orang Suku Laut itu secara alami masih kental dengan mistis dan mejik yang menakutkan.